About Me

My photo
Riwan Sutandi dari manna bengkulu selatan Pendidikan Sejarah UNNES(Universitas Negeri Semarang) 2012, Rombel 2 PRADA.

Blog Archive


Monday 21 December 2015

Soekarno Dan Revolusi Yang Belum Selesai

Soekarno Dan Revolusi Yang Belum Selesai


 “Soekarno dan Revolusi yang Belum Selesai”
A.    Latar Belakang Masalah
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama. Dia merupakan pahlawan bangsa dan sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno adalah presiden yang berani melawan musuh yang dianggap bisa mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Ia merupakan sosok yang sangat fenomenal sehingga mampu untuk mengkonsolidasi bermacam-macam suku bangsa untuk bersatu melawan penjajah dan mendirikan sebuah negara yang berdaulat. Ia merupakan keturunan orang jawa namun mempunyai pengaruh dan mampu menyatukan seluruh suku yang memiliki ciri khas yang beraneka ragam dan berbagai macam latar belakang agama dari Sabang sampai merauke.
Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno ini lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodihardjo.[1] Saat kecil, Soekarno hanya tinggal beberapa tahun bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat ia tinggal di Surabaya. Ia melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat disurabaya Soekarno tinggal dirumah teman ayahnya, Tjokroaminoto pimpinan SI. Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Di Surabaya Ini Soekarno banyak berkenalan dengan pemimpin Politik awal, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus Salim, Sneevlit, Semaun, Muso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara.[2] Perluasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Soekarno yang telah berhasil memberinya tema dasar pemikiran perjuangan kemerdekaan bangsa yaitu anti imperalisme, anti elitism, dan anti kolonialisme.[3] Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.
Pada 4 Juli 1927 Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tujuan dibentuknya PNI adalah memperoleh kemerdekaan kepulauan Indonesia yang akan di capai secara nonkoopratif dan dengan oraganisasi massa. Akibatnya, Belanda, memasukkannya Soekarno ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Dia dikategorikan sebagai tahanan yang berbahaya. Bung Karno muda begitu bersemangat memperjuangkan kemerdekaan. Namun sejak dipenjara komunikasi Bung Karno dengan rekan-rekan seperjuangannya nyaris putus. Delapan bulan kemudian ia baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan.
Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah melalui perjuangan yang amat panjang, dan harus mengalami beberapa kali dipenjara dan diasingkan, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Sebelum Indonesia merdeka, Soekarno sebagai kolaborator Jepang. Sikap Soekarno mulai bekerjasama dengan jepang, banyak yang menilai sikap Soekarno mulai melunak. Pada awal pendudukan Belanda Soekarno nonkoporatif dengan Belanda. Soekarno mempunyai alasan tersendiri  tentang sikapnya. Tujuan Soekarno untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Setelah merdeka Soekarno pula yang merumuskan Pancasila menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah Indonesia merdeka, Soekarno menjadi presiden pertama dan wakilnya adalah Bung Hatta. Soekarno adalah presiden yang mampu menyatukan nusantara. Bahkan ia bisa menghimpun bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.             Nama Soekarno di dunia lebih populer daripada Indonesia itu sendiri, karena soekarno berhasil menjadi simbol perjuangan melepaskan kolonialisme dan imperialism negara-negara dunia ke tiga.
Upaya Soekarno dalam menyejahterakan Indonesia ke depan, dianggap sebagai sejarah yang paling berpengaruh dalam Indonesia modern saat ini. Sukarno meyakini mobilisasi massa sebagai kunci perubahan masyarakat Indonesia dan sekaligus dapat melapangkan jalan bagi transformasi menurut cita-cita sosialisme. Massa aksi sebagai alat pembangkit kaum tani dan buruh dari jeratan kekuasaan kolonialisme merupakan dasar ide Revolusi Soekarno.[4] Adanya saling ketergantungan dan kepentingan yang sama antara Soekarno dengan PKI, mempererat kedua belah pihak untuk bekerjasama. Munculnya Demokrasi Terpimpin telah memberikan kesadaran yang kuat bagi PKI untuk membuat kedudukan dan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga politik di Indonesia.[5] Kedekatan Soekarno dengan PKI menyebabkan Perpolitikan dunia internasional juga mulai membidik Indonesia secara Khusus Soekarno dalam target operasinya.
Setelah Soekarno jatuh dari jabatan sebagai presiden Republik Indonesia, alur dan tujuan Negara mulai berbelok dari anti kapitalisme menjadi pro kapitalisme. Dengan munculnya Presiden Soeharto sebagai pengganti Soekarno, cita-cita politik Soekrano tidak diteruskan, sehingga pembangunan politik yang dilakukan oleh Soeharto dimuai dari awal yakni pro barat dan itu kita rasakan sampai sekarang. Oleh sebab itu, sangat menarik juga ketika kita menganalisis apa yang dilakukan oleh Soekarno dan upaya desoekarnoisasi yang dilakukan oleh Soeharto.
Berdasarkan latar belakang diatas, untuk menguraikan tentang soekarno dan revolusi yang belum selesai kami penulis merumuskan tiga rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana strategi Soekarno dalam mempersatukan Indonesia  dan membentuk NKRI?
2.      Bagaimna upaya Soekarno dalam memperjuangkan anti-kolonialisme dan Imperalisme di Indonesia?
3.      Bagaimana nasib revolusi Indonesia setelah Soekarno tumbang?

B.     Asumsi
1.      Strategi Soekarno Dalam Mempersatukan Indonesia dan Membentuk NKRI

a.              Membentuk suatu front persatuan organisasi-organisasi kaum nasionalis yang diberi nama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada Desember 1927 di Bandung.
Berdirinya  PPPKI ditandai dengan adanya Kemorosotan Sarekat Islam disertai dengan kehancuran PKI membuat Sukarno mulai menapakkan kakinya setapak demi setapak memperkenalkan suatu gerakan baru yang didasarkan nasionalisme. Bentuk gerakannya lebih padat dengan mementingkan kemerdekaan nasional serta mengesampingkan masalah-masalah sosial terlebih dahulu. Pemikiran ini pernah dikembangkan Douwes Dekker melalui organisasi politiknya, Indische Partij, pada 1920-an yang pada akhirnya menjadi akar pemikiran nasionalisme sekuler sebagai jawaban atas kleluasaan kolonial Belanda.
Walaupun Sukarno telah mendirikan PNI 4 Juli 1927 ia sama sekali tidak bermaksud mengurangi hasratnya untuk mengadakan penyatuan. Sukarno melihat perlunya usaha penyatuan semua partai politik ke dalam satu front bersama untuk melawan kekuasaan kolonial sebab Sukarno melihat bahwa gerakan nasionalis telah diperlemah dengan banyaknya jumlah partai, yang masing-masing lebih mementingkan partainya sendiri bahkan dapat dikatakan kurang mempunyai perhatian terhadap pergerakan sebagai suatu keseluruhan. Hal ini memudahkan penguasa kolonial dalam meredam perlawanan gerakan nasionalisme Indonesia.
Sukarno menyadari bahwa senjata devide et impera merupakan bagian kekuatan dari kekuasaan kolonial dan fragmentasi gerakan, serta perjuangan kepentingan dalam lingkungan kelompok alite. Hal ini lebih memudahkan penguasa kolonial Belanda untuk menggunakan senjata tersebut guna menghancurkan gerakan nasionalisme Indoensia. Oleh sebab itu, Soekarno menganggap perlu untuk mengadakan kontak dengan Sarekat Islam sebagai organisasi massa berpengaruh untuk bekerja sama. Dalam kongres SI Pekalongan pada 1927, Sukarno sebagai undangan menyampaikan gagasannya tentang bagaimana mencapai kesatuan dan menegaskan betapa pentingnya keberadaan partai tunggal yang ideal dengan tetap memeprtahankan perbedaan masing-masing kelompok. Tenyata usaha Sukarno tidak sia-sia.
Semangat persatuan dan kesatuan nasional Indonesia yang menjiwai PNI atau Partai Nasional Indonesia dan yang dipancarkan oleh pemimpin-pemimpinnya, terutama Bung Karno yang terkenal sangat gandrung akan persatuan dan kesatuan nasional seluruh rakyat Indonesia sangat besar sekali pengaruhnya di dalam pergerakan kebangsaan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Usaha-usaha persatuan dan kesatuan gerak yang digiatkan oleh PNI atau Partai Nasional Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno yang sangat akan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia berhasil secara gemilang dengan terbentuknya PPPKI atau Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. (Sagimun, 1989 : 102-103).
Front persatuan organisasi—organisasi kaum nasionalis yang terdiri dari PNI,SI, Budi Utomo Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Kelompok Studi di Surabaya yang ddirikan pada Desember 1927 di Bandung itu diberi nama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). dengan terbentuknya wadah tersebut impian Sukarno untuk membentuk blok kulit sawo matang melawan blok kulit putih Eropa di tanah jajahan ini telah terlaksana. Walupun PPPKI merupakan federasi berbagai golongan yang ada tanpa tuntutan ideologi, kecuali menerima gagasan berjuang untuk mencapai kemerdekaan politik Indonesia.(Kasenda, 2014 : 36)
Pencapaian pemufakatan dalam permusyawarahan dipakai Sukarno dalam melaksanakan semboyannya kembali pada milik sendiri. Di dalam mufakat, masing-masing kelompok harus memberi dan menerima. Sukarno menegaskan bahwa didalam PPPKI tidak boleh ada kelompok yang menolak atau mengabaikan pendapat dari kelompok yang lemah. Dalam hal ini Sukarno bermaksud merangkul semua kelompok, khususnya golongan kecil dan lemah. Ia sendiri tampaknya berhasil mengatasi perbedaan dan kontradiksi yang ada. Terbentuknya PPPKI merupakan sintesis Sukarno dalam usahanya menggalang kesatuan.
Dengan adanya PPPKI berarti Sukarno telah menciptakan suatu pertentangan yang tajam antara penguasa kolonial dan bangsanya, sekaligus mengonsolidasikan kekuatan nasional. Sepertii kata Sukarno,, “... Makin terang tampaknya garis antara kaum kita dan kaum pertuanan, makin tajam terlihat guratan antarra sini dan sana...” secara tidak langsung Sukarno memberikan suntikan keberanian dan kesadaran kepada bangsanya. Ia bermaksud menunjukan kepada pihak penjajah bahwa bangsanya telah sadar akan kekuatan yang mereka miliki. Meskipun Sukarno memimpin PNI ke arah radikal dan antikerja sama dengan Belanda, ia juga dapat bersikap toleran terhadapgolongan moderat yang memikirkan bahwa kesepakatan yang pantas akan diperoleh melalui kooperasi dengan Belanda. Usaha-usaha Sukarno yang dilakukan selama ini membuahkan hasil yang amat luar biasa.
Kahadiran PPPKI merupakan suatu peristiwa penting yang menunjukkan kemajuan yang diperoleh di wilayah tanah jajahan. Namun yang jelas, PPPKI berfungsi sebagai sarana penyaluran permusuhan terhadap musuh diluar barisan kaum kulit putih berwarna, yaitu penguasa kolonial Hindia Belanda. PPPKI dapat dikatakan sebagai ikatan bersama yang kuat antara organisai-organisasi nasionalis dan musuh yang sama, yaitu kekuasaan kolonial Hindia Belanda. PPPKI juga dapat di anggap sebagai manifestasi dukungan dari berbagai unsur yang terdapat dalam wadah itu untu bersatu agar dapat menghidupkan kembali gairah juang dan memaksa Belanda menarik diri.(Kasenda, 2014: 37))
PPPKI mempunyai daya tarik tersendiri. Dimana penggagas dari PPPKI ini yaitu Soerkarno, yang pada saat itu sosok Soekarno sendiri sangaat berpengaruh pada jaman pergerakaan ini, selain itu dengan adanya PPPKI ini organisasi-organisasi politik, yang pada saat itu sosok Soekarno sendiri sangaat berpengaruh pada jaman pergerakaan ini, selain itu dengan adanya PPPKI ini organisasi-organisasi politik di Indonesia berharap kekuatan politik mereka semakin kuat dan semakin mempunyai pengaruh bagi pemerintahan saat itu. PSI Yogyakarta dalam tahun 1928 menaruh perhatian terhadap ideologi nasionalis sekuler, sedangkan BU menjadi kurang konservatif. Meskipun mereka berada dalam partai politik yang berbeda-beda dan bersaing pada waktu itu, tetapi keyakinan politik mereka tidaklah jauh berbeda.
Kongres PPPKI Pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 30 Agustus sampai 2 September 1928. Wakil-wakil partai politik menyatakan harapannya bahwa kongres itu merupakan permulaan era baru bagi gerakan kebangsaan. Rapat kerja selanjutnya membahas masalah pendidikan nasional, bank nasional dan cara-cara memperkuat kerjasama, komisi-komisi itu terdiri dari Tjokroaminoto (PSI), Ir. Soekarno (PNI), Otto Soebrata (Pasundan) dan Thamrin (Kaum Betawi), menyiapkan program aksi jangka pendek. Pada akhir tahun 1929 proses keruntuhan PPPKI dipercepat oleh “menyelundupnya” provokator ke dalam organisasi politik. Dalam Kongres PPPKI Kedua di Solo (25-27 Desember 1929) benih perpecahan semakin terang karena istilah “kebangsaan” dipersoalkan lagi.
Kongres Indonesia Raya diadakan pada awal tahun 1932. Dalam kongres ini diharapkan kepada partai-partai yang waktu itu berselisih (Pendidikan Nasional Indonesia dengan Partindo, Umat islam dengan PBI, Istri Sedar dengan PPII) menghentikan perselisihan-perselisihan itu. Ini sungguh menghasilkan kurang hebatnya pertentangan-pertentangan itu, lebih-lebih antara pendidikan Nasional Indonesia dan Partindo.
Pada bulan maret 1932, PPPKI mengadakan konferensi di Surabaya. Pada konferensi ini mengambil keputusan akan memindahkan Majelis Pertimbangan dari Surabaya ke Jakarta, tempat kedudukan kebanyakan pengurus besar partai yang tergabung di dalam PPPKI itu. Berhubung dengan hal itu pengurus harian yang terdiri atas Dr. Sutomo dan Mr. Latuharhary diganti dengan Thamrin dan Otto Iskandar Dinata. Konferensi yang diadakan bulan November 1932 menerima rancangan Ir. Soekarno tentang memperbaiki organisasi PPPKI. Perbaikan ini akan menjadikan PPPKI itu lebih layak untuk jadi suatu badan yang meliputi seluruh pergerakan kebangsaan. Pada akhir tahun 1933 tergabunglah dalam PPPKI seperti Budi Utomo, Pasundan, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Timors Verbonds, Partai Serikat Selebes, Partai Indonesia dan Persatuan Bangsa Indonesia. PNI baru (Moh Hatta) tidak jadi anggota “Persatuan” itu dan ia bersikap “Kritis” terhadap “Persatuan” itu. Drs. Moh Hatta menamai “Persatuan” itu “Persatean”, juga golongan-golongan agama (Islam dan Kristen) tidak tergabung dalam “Persatuan” itu.
Kongres Indonesia Raya ke II yang akan diadakan dalam bulan Desember 1933, tidak dapat dilangsungkan. Ini adalah akibat larangan dari pemerintah beberapa hari sebelum kongres itu dimulai, sebab Partindo (anggota PPPKI) akan ikut pada kongres itu dank arena itu maka larangan bersidang dianggap berlaku juga bagi seluruhnya.
Dengan adanya Partindo dalam PPPKI itu berupa suatu rintangan bagi federasi itu untuk beraksi, maka pada tanggal 9 februari 1935 partai itu keluarlah dari PPPKI. Jadi ketika itu federasi ini terdiri hanyalah dari partai-partai yang bersikap kooperasi saja dan nyatalah, bahwa ia tidak dapat lagi dinamakan suatu perikatan daripada pergerakan politik kebangsaan dari segala warna. Lagi pula dalam pergerakan pergerakan itu selamanya sayap kirilah, terutama diri Ir Soekarno (yang mendirikan dan memperbaiki PPPKI itu) yang menjadi pendorong PPPKI, itu supaya beraksi. Menilik bagaimana keadaan PPPKI itu lama-kelamaan, maka tidaklah mengherankan kita bahwa federasi itu tidak melakukan aksi lagi.(Pringgodigdo, 1994 :159-163)
PPPKI belum sempat menjadi federasi kekuatan partai politik ketika tiba-tiba pemerintah melakukan intervensi terhadap partai-partai non-kooperasi pada bulan Agustus 1933. organisasi ini sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menuelenggarakan rapat protes terhadap beberapa hal seperti pasal-pasal tertentu dalam KUHP dan mendukung penghapusan Undang-Undang Sekolah Liar. Akan tetapi perlu diingatkan bahwa PPPKI dapat berkembang dan mampu menyatukan kekuatan politik pada tahun-tahun sebelumnya adalah berkat PSII dan PNI Baru. PPPKI tidak banyak berperan dalam panggung politik seperti yang diharapkan semula.
Perbedaan-perbedaan tujuan, ideologi, dan kepribadian yang nyata masih tetap memecah belah gerakan-gerakan tersebut, dan persatuan yang dicapai oleh PPPKI tidaklah begitu mendalam. Persatuan, walaupun tidak kokoh yang diperlihatkan oleh PPPKI ini memperkuat ide bahwa nasionalisme yang tidak mempunyai kaitan kedaerahan atau agama merupakan dasar yang memungkinkan bagi dilakukannya aksi bersama. Beberapa faktor keruntuhan organisasi PPPKI diantaranya adalah masing-masing anggota lebih mementingkan loyalitas pada masing-masing kelompoknya, kurangnya kontrol pusat terhadap aktivitas lokal, perbedaan gaya perjungan diantara organisasi-organisasi anggota PPPKI tersebut.
Tidak semua hal bisa mencapai kesepakatan dalam PPPKI, seperti dua hal utama; pertama berkaitan dengan masalah nonkooperasi dan kooperasi. Kedua, Nasionalisme Sekuler dan Nasionalisme Islam. Sebagai front persatuan yang sifatnya terlampau luas di antara mereka organisasi ini hanyalah impian belaka. Apalagi setiap anggota partai lebih suka memikirkan kegiatan-kegiatan partainya sendiri daripada pembentukan federasi. Dapat dikatan kedua hal itu senantiasa menjadi masalah dalam gerakan nasional. (Kasenda, 2014: 38) Faktor-faktor penyebab diatas itulah yang membuat PPPKI tidak berjalan dengan lancar ditambah lagi dengan Ir, Soekarno yang terjerat hukum. PPPKI kehilangan semangat dan PPPKI tidak dapat dipertahankan lagi dan organisasi-organisasi yang bergabung pun merencanakan dan membuat gabungan baru dengan format yang baru.

b.      Perjuangan secara diplomasi.
Kemerdekaan yang diikrarkan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan merupakan pemberian hadahdari penjajah akan tetapi merupakan perjuangan berat yang telah dilalui dalam kurun waktu yang cukup lama dan proklamasi kemerdekaan yang telah berhasil diikrarkan tersebut juga bukanlah akhir dari kemerdekaan yang telah didapatkan, tetapi merupakan awal perjuangan dalam tantangan yang baru untuk membangun tatanan berbangsa dan bernegara.dalam mempertahankan kermerdekaan, negara yang baru berdiri terus mengupayakan kedaulatannya  dengan perjuangan fisik dan non-fisik. Begitu juga dengan Indonesia pada masa mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan yang dilakukan secara non-fisik dilakukan agar meminimalisir jatuhnya korban jiwa, dan juga meminimalisir biaya perang yang dilakukan dengan perjuangan fisik.
Ø  Perundingan Linggarjati
Pemerintahan yang pertama dibentuk oleh Soekarno-Hatta adalah pemerintahan dengan sistem Kabinet – Presidensial. Sistem ini mempunyai kelemahan, indonesia dianggap sebagai fasis buatan Jepang oleh Belanda sehingga sulit mendapatkan pengakuan kedaulatan dari pihak sekutu dan Belanda. Selain itu presiden Soekarno memiliki citra yang kurang baik di luar negeri karena dicap sebagai kolaborator Jepang.
Untuk mengatasi hal tersebu, maka dikeluarkanlah Maklumat Negara RI No.X tahun 1945. Maklumat itu berisi tentang perubahan KNIP menjadi badal legislatif dan mempunyai wewenang untuk menetapkan garis besar haluan negara. Untuk melaksanakan maklumat tersebut sangat dibutuhkan pemimpin yang berjiwa Revolusioner. (Soebadio, 1987: 63-64), dan untuk itu ditunjuklah Sjahrir tokoh yang bersih dari pengaruh Jepang dan juga populer dikalangan pemuda Indonesia. Dua hari kemudian pemerintah mengeluarkan maklumat 3 November yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membentuk partai-partai politik. Dengan harapan segenap aliran dalam masyarakat agar bisa mengikuti aturan pemerintahan yang baru. Dengan berdirinya partai – partai politik tersebut diikuti dengan berubahnya sistem pemerintahan dari presidensil menjadi parlementer. Pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensial di bawah pimpinan Presiden Soekarno diganti dengan kabinet minsterial di bawah Perdana Menteri Sutan Sjahrir (Kabinet Sjahrir I). Dan kabinet ini segera mengadakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda.
Pemerintahan Inggris yang ingin secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia mengirim Sir Archibald Clark Kerr sebagai duta istimewa ke Indonesia1. Sedangkan pemerintahan Belanda mengirim Dr. H.J.van Mook. Perundingan dimulai pada 10 Februari 1946. Pada awal perundingan van Mook menyampaikan pidato yang terdiri dari beberapa pasal dan juga mengulang dari pada pidato ratu Belanda, yang berisi :
1.Indonesia kan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Nederland.
2.Masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri diurus oleh pemerintahan Belanda.
3.Sebelum dibentuknya persemakmuran akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
4.Indonesia akan dimasukan dalam anggota PBB. (Regerings Voorlicthing Dienst, Indonesia’s Toekomst, Batavia, 1946, hlm 13-15.)
Perundingan yang terjadi pada 14-25 April 1946 di Hoogwe Veluwe gagal karena Indonesia menginginkan Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya Indonesia hanya mengakui Jawa dan Madura saja
Perundignan dilanjutkan pada 10 November 1946 yang diadakan di Linggarjati, Cirebon yang kemudian dikenal dengan perundingan Linggarjati. Hasil perundingan di umumkan pada 15 November 1946 dan tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri dari 17 pasal. Naskah ini kemudian disetujui oleh kedua pihak dan kemudian disampaikan pada pemerintah masing – masing. Dari hasil perjanjian tersebut muncul berbagai pro – kontra di dalam masyarakat ataupun didalam pemerintahan sebab timbulnya pro – kontra tersebut karena adanya penafsiran dari masing – masing inividu atau kelompok tersebut. Meskipun sudah dijelaskan oleh pemerintahan.
Pada akhirnya perjanjian Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn  dan sutan Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 orang menjadi 514 orang, (Ricklef, 2008: 472), karena sebagian besar anggora KNIP yang lama menolak dari pada isi perjanjian tersebut.
Kesapakatan pembentukan RIS yang membuat Indonesia harus menjadi negara bagian dari kerjaan Belanda, tetapmembawa angin segar bagi Indoensia yang menginginkan kedaulatan. Dan dari perundingan Linggarjati tersebut Indonesia berhasil menghindari eperangan dan pertumpahan darah. Perjanjian Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini didasari keyakinan bahwa bagaimanapun jalan damai untuk mencapai sebuah tujuan adalah hal terbaik dan paling aman karena adanya kelemahan di bidang Militer (Moedjianto, 1998:183).
Sekali pun persetujuan Linggarjati telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, hubungan Indoensia – Belanda tidak bertambah baik. Adanya perbedaan pengertian mengenai beberapa pasal yang terdapat dalam hasil perundingan tersebut. Mejadi pangkal perselisihan dan pada puncaknya pihak Belanda dengan secara gambalng melanggar hasil perundingan tersebut dengan melanggar gencatan senjata yang telah diumumkan pada 12 Februari 1947, seminggu sebelum hasi perundingan Linggarjati ditandatangani. Pada 27 Mei 1947 komisi jendral menyampaikan nota kepada pemerintahan RI melalui misi Idenburgh.
Ø  Perjanjian Renville
Perjanjian Renville berlangsung di kapal angkatan laut Amerika Serikat USS Renville. Untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dan sengketa Indonesia dengan Belanda. PBB (perserikatan bangsa-bangsa) membentuk Komite Tiga Negara (KTN) yang anggotanya dipilih Indonesia dan Belanda. Dimana pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi Agresi Militer Belanda pertama yang dilakukan sampai tanggal 4 Agustus 1947. Dimana Belanda menyerang Indonesia dengan persenjataan.
Anggota KTN adalah Australia yang dipilih Indonesia, Belgia yang dipilih Belanda dan Amerika Serikat yang dipilih Australia dan Belgia sebagai penengah. Dalam perjanjian ini Indonesia diwakili Amir Syarifuddin dan Belanda diwakili R.Abdulkadir Wijoyoatmojo dan sepertinya si R.Abdul Kadir M. ini orang Indonesia yang memihak Belanda kawan.
Isi perjanjian Renville adalah:
1.Belanda hanya mengakui Wilayah RI atas Jateng,Jogjakarta, Jatim, sebagian kecil Jabar dan Sumatera.
2.Tentara Republik Indonesia (TRI) ditarik mundur dari daerah kedudukan Belanda.
Akibat dari perjanjian Renville sebenarnya semakin merugikan Indonesia karena wilahnya semakin sempit. Setelah perjanjian ini tejadi peristiwa penting antara lain pemberontakan PKI di Madiun dan pemindahan ibukota RI ke Jogjakarta karena Jakarta diduduki Belanda.
 Bahkan pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda mengumumkan bahwa tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville lalu melakukan serangan besar-besaran ke wilayah RI yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda II.
Perundingan Roem-Royen.
Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan Permusyawaratan Federal(BFO) yang dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai mandat politik., untuk tetap menjalakan pemerintahan.
Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari segala agresi Belanda. Yang menarik disini adalah bagaimana dunia internasional mulai memperhatikan Indonesia yang mendapat tekanan dari Belanda, hal ini memang tidak terlepas dari politik diplomasi yang memang diarahkan untuk mendapatkan simpati dunia Internasional, seperti dengan memberi bantuan 50. 000 ton beras ke India, sehingga masalah intern dalam negeri pun tidak luput dari perhatian PBB.
Akhirnya konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan diplomasi. Dimana isi dari perjanjian Roem – Royen ini adalah dilakukannya gencatan senjata, dan menghentikan perang gerilya yang jika dilihat dari sisi positifnya adalah Indonesia dapat meminimalisir jatuhnya korban lebih banyak, dan membuka jalur diplomasi lainnya, yakni KMB sebagai ujung dari perjuangan diplomasi Indonesi. Dan atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka pada tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota Komisi Amerika.
Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari 1949 dan persetujuannya tanggal 23 Maret 1949. Guna menjamin terlaksananya penghentian Agresi Militer Belanda II maka PBB menganti KTN dengan membentuk UNCI (United Nations Comission for Indonesia) yaitu komisi PBB untuk Indonesia.
Komisi ini selanjutnya mempertemukan Indonesia dan Belanda ke meja perundingan pada tanggal 14 April 1949. Dimana Delegasi RI dipimpin oleh Mr. Moh. Roem (ketua), Mr. Ali sastro Amijoyo (wakil) sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J. H Van Royen. Perundingan diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran, anggota komisi dari Amerika Serikat.
Perundingan ini mengalami hambatan sehingga baru pada awal Mei 1949 terjadi kesepakatan. Isi Perjanjian Roem-Royen (Roem-Royen Statement) sebagai berikut:
a. Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan pemerintah RI untuk:
1)Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
2)Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3)Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
b. Pernyataan Delegasi Belanda yang dibacakan oleh Dr. H.J. Van Royen yaitu:
1) Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi karisidenan Yogyakarta.
2) Pemerintah Belanda membebaskan tak bersyarat pemimpin-pemimpin dan tahanan politik yang tertangkap sejak 19 Desember 1948.
3) Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat
4) KMB di Den Haag akan diadakan selekasnya sesudah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Sejak bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan Indonesia di Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24-29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta. TNI akhirnya memasuki kota Yogyakarta. Pada 6 Juni 1949, presiden, wakil presiden, serta para pemimpin lainnya kembali ke Yogyakarta.
Sebagai tindak lanjut perjanjian Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan antara RI, BFO, dan Belanda yang hasilnya sebagai berikut.
a. Tanggal 24 Juni 1949, keresidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda. Pada tanggal 1 Juli 1949, pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah tentara Republik menguasai sepenuhnya.
b. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI ke Yogayakarta
c. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan di Den Haag
Konfrensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.
Realisasi dari perjanjian Roem-Royen adalah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi tersebut berlangsung selama 23 Agustus sampai 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan UNCI.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak. Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen. Sebagai penengah adalah wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle Cochran.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala Negara Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat. Pelaksanaan KMB terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23 Oktober 1949 Badan Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai pembicaraan dalam sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Sri Sultan Hamengkubuono IX. Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri Mohammad Hatta pada Sidang Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil KMB dengan 226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko. PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah undang-undang. Maklumat KNIP diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember 1949, berisi tentang negara Repbulik Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas seluruh wilayah; dan bahwa alat perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk menegakkan kedaulatannya.
Dua undang-undang yang disetujui KNIP adalah Undang-Undang No. 10 yang berisi mengenai Induk Persetujuan KMB dan masalah kedaulatan dari Belanda kepada RIS. SEdangkan Undang-Undang No. 11 berisi mengenai draf final Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Persetujuan KNIP atas hasil KMB melancarkan jalan bagi terbentuknya Republik Indonesia Serikat, sebagaimana diharuskan oleh KMB. Pada tanggal 14 Desember 1949 delegasi RI dan delegasi negara-negara bagian, yang tergabung dalam BFO menandatangani Piagam Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dengan piagam ini resmilah pula negara-negara tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.
        Pada tanggal 15 Desember 1949, Dewan Pemilih Presiden RIS dibentuk. Dewan ini diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Pada tanggal 16 Desember dewan ini memilih calon tunggal Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS. Pelantikan dilaksanakan di Siti Hinggil, Kraton Kesultanan Yogyakarta para tanggal 17 Desember 1949. Selanjutnya Presiden Soekarno secara resmi menunjuk Drs. Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 20 Desember Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dilantik. Karena Presiden RI, Soekarno dan WAkil PResiden, Mohammad Hatta menduduki jabatan barunya dalam RIS, maka untuk melaksanakan fungsinya di Negara Republik Indonesia, ditunjuk Mr. Assaat sebagai pejabat (Acting) Presiden RI yang tetap berkedudukan di Yogyakarta. Republik Indonesia dalam status sebagai negara bagian RIS dikenal juga sebagai RI Yogyakarta dengan dr. Abdul Halim sebagai Perdana Menteri.
Dengan telah selesainya pembentukan RIS dan kabinetnya, maka "penyerahan kedaulatan" dari tangan Belanda kepada RIS sebagaimana diatur dalam KMB dapat dilaksanakan. Pemerintah RIS menunjuk Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk memimpin delegasi RI ke negeri Belanda untuk menerima naskah penyerahan kedaulatan langsung dari Ratu Yuliana. Sedangkan di Jakarta wakil RIS, Sei Sultan Hamengkubuwono IX menerimanya dari Wakil Mahkota Belanda A.H.J Lovink. Upacara dilaksanakan di dua tempat secara bersamaaan pada tanggal 27 Desember 1949.
Salah satu dampak dari KMB ialah yang menguntungkan bagi Indonesia adalah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia dan lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai akibat dari prsetujuan KMB (Algandri, Hamid, 1991: 68). Akan tetapi negara-negara bagian hasil olahan Belanda yang dibuat untuk memecah belah Bangsa Indonesia terbukti tidak mendapatka dukungan dari rakyat. Hal ini yang membuat RIS tidak bertahan lama akan tetapi rakyat membiarkan hal tersebut karena takut terhadap tentanra Belanda.
Dari sekian banyak jalur Diplomasi yang dilakukan dengan diadakannya perundingan adalah bagian dari bagiamana NKRI tetap bersatu dari pihak-pihak asing yang ingin memecah belah. Meskipun didalam tubuh pemerintahanya sendiri terdapat banyak kepentingan dari berbagai golongan.
c.       Gagasan pancasila
Pidato soekarno pada 1 juni 1945 menggaris lima prinsip dasar pancasila yang dirasa akan membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar filsafat suatu indonesia yang merdeka. Gagasan-gagasan yang diutarakan soekarno dalam pidato ini penting karena menyajikan filsafat sosial yang matang dari para pemimpin nasionalis indonesia paling berpengaruh yang kemudian menjadi pemimpin politik republik indonesia yang paling penting. Gagasan-gagasan itu sangat berarti dalam mempengaruhi jalan pemikiran sosial orang indonesia selama perjuangan revolusioner, suatu pengaruh yang sampai sekarang masih punya makna sangat penting. Banyak dari penagruh ini dikarenakan soekarno dengan jelas mengungkapkan ide-ide dominan, namun belum lengkap, yang ada dalam pikiran orang indonesia terpelajar karena dia mengutarakannya dengan bahasa dan simbolisme yang secara dominan bermakna dan tetap penuh arti bagi rakyat jelata yang tidak berpendidikan. Mungkin tidak ada penampilan prinsip yang dapat dijadikan contoh sintesis demokrasi barat, gagasan islam modernis, marxist, serta gagasan demokrasi dan komunalistik yang berasal dari desa yang membentuk dasar umum pemikiran sosial dari suatu bagian golongan elite politik yang begitu besar sesudah perang.[i]
Sesuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Begitu penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak disangsikan. Dengan demikian rakyat rela untuk menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang nyata; untuk selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan melaksanakan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai dasar negara dan ideologi nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik serta cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung konsep dasar penghormatan terhadap harkat martabat manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengandung konsep kesatuan dan keutuhan bangsa dan wilayah negara dengan berbagai kemajemukan. Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-kilan mengandung konsep dasar menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, yang dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sedang sila kelima me-wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung konsep dasar bahwa kesejahteraan dinikmati dan dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat di seluruh wilayah Indonesia, tanpa mengabaikan kesejahteraan perorangan atau golongan. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup bangsa merupakan common denominator (kesamaan pijakan) bagi kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang pluralistik.
Pancasila secara sistematik, pertama kali, disampaikan oleh Ir. Soekarno di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdeka-an Indonesia – BPUPKI (Dokuritsu Zumbi Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945, untuk menjawab pertanyaan Ketua Badan mengenai dasar negara yang akan didirikan. Bung Karno menyatakan bahwa pemikiran mengenai Pancasila ini telah jauh hari difikirkan. Terdapat lima prinsip yang diusulkan oleh Bung Karno sebagai dasar negara yang disebut Pancasila, yakni:
1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau perike-manusiaan,
3. Mufakat atau demokrasi,
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Bung Karno selanjutnya mengatakan, bila dari para anggota BPUPKI ada yang berkeberatan dengan jumlah yang lima dapat diperas menjadi tiga, disebutnya Trisila, yakni socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke-Tuhan-an. Bila tiga prinsip ini dinilai masih terlalu banyak dapat diperas menjadi Ekasila yakni Gotong Royong.
Pada bulan Juni 1945 terjadi sidang Chuo Sangi-In (Dewan Penasehat Pusat) yang dihadiri oleh 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Kecil terdiri atas sembilan orang yakni Moh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, Maramis, Kiai Abd. Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H.Wahid Hasyim, Haji Agoes Salim, diketuai Ir. Soekarno untuk merumuskan Pembukaan UUD. Dalam Pembukaan tersebut dirumuskan usulan dasar negara yang merupakan perkembangan dari pidato yang disampaikan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan yang disusun oleh Panitia Sembilan ini biasa disebut Piagam Jakarta, atau Jakarta Charter. Adapun rumusan dasar negara adalah sebagai berikut:
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan-kan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan ini telah disepakati dalam Sidang BPUPKI kedua yang berlangsung antara tanggal 10 – 17 Juli 1945. Namun dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tersebut mengalami perubahan atas dasar pertimbangan, bahwa penduduk Indonesia bagian timur sebagian besar beragama Kristen-Katholiek, sehingga rumusan Jakarta Charter dinilai diskriminatif. Rumusan dasar negara yang disepakati akhirnya berubah menjadi sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, dan dengan mewujudkan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Namun pada waktu UUD tersebut disebar luaskan melalui Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februasi 1946, terjadi perubahan rumusan sila keempat, yang semula ”permusyawaratan-perwakilan” berubah menjadi ”permusyawaratan/ perwakilan.”
Rumusan dasar negara ini yang kemudian ditetapkan oleh berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI sebagai PANCASILA. Salah satu di antaranya ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966.
Rumusan Pancasila dasar negara juga tercantum dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia dengan rumusan sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. Peri-kemanusiaan,
3. Kebangsaan,
4. Kerakyatan, dan
5. Keadilan sosial.
Dari rumusan tersebut di atas, nampak bahwa rumusan Pancasila mengalami perkembangan dan sejak terjadinya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, rumusan resmi Pancasila adalah seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam rangka memahami dan mendalami hakikat Pancasila, kita perlu faham mengenai konsep dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Setiap faham filsafat pasti berisi konsep, prinsip dan nilai untuk dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap fenomena alam dan fenomena kehidupan serta sebagai acuan apabila faham filsafat tersebut ingin diterapkan dalam kehidupan yang nyata. Demikian pula halnya dengan Pancasila.
Konsep adalah gagasan umum, hasil konstruksi nalar dari olah fikir manusia dan generalisasi secara teoritik, merupakan faham universal. Konsep berfungsi sebagai dalil, suatu gagasan yang memberikan makna terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga ditemukan hakikatnya. Konsep dipergunakan untuk memberikan arti terhadap segala fenomena, sekaligus sebagai acuan kritik untuk memberikan makna terhadap fenomena yang dihadapi.
Bagi rakyat yang menempati kepulauan Nusantara, sejak zaman purba, sebelum masuknya agama-agama, telah memiliki suatu belief system tentang makna kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Bila Aristoteles memandang kehidupan manusia adalah dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon), rakyat yang menempati bumi Nusantara ini, khususnya orang Jawa, memandang bahwa kehidupan manusia adalah menyatu dengan alam semesta. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”manunggaling kawulo Gusti.” Hubungan antara manusia sebagai individu dengan alam semesta tertata dan terikat dalam keselarasan dan keserasian atau harmoni. Masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya, dan masing-masing makhluk saling melayani sehingga terjadi keteraturan dan ketertiban. Yang ingin diwujudkan adalah ketenteraman dan kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”memayu hayuning bawono.”[6]

























2.      Upaya Soekarno Dalam Memperjuangkan Anti-Kolonialisme Dan Imperalisme Di Indonesia
a.      Menyatukan ketiga aliran yang berpengaruh luas di Masyarakat di antaranya aliran Nasionalisme, Islamisme dan Maexisme
Pola pemikiran Soekarno dalam memperjuangkan nasib bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh factor-faktor  yang berada di luar dirinya dan factor-faktor intelektual yang dimilikinya. Faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya adalah kenyataan dari bangsa Indonesia yang berada dalam kondisi terbelakang karena adanya praktek kolonialisme dan imperialisme Belanda, telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bangsa Indonesia karena telah terjadi penindasan hak asasi terutama dirasakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Faktor-faktor yang berasal dari intelektual yang dimilikinya adalah dari pengamatan yang dilakukan Soekarno terhadap masyarakat Indonesia ditemukan akar-akar ideologi bangsa yang tumbuh di dalam masyarakat. Soekarno yang sudah dipengaruhi budaya Jawa berusaha untuk menerima dan mengubah unsur-unsur yang diterimanya menjadi suatu  sintesa baru yang disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia diantaranya tercermin di dalam konsepsinya tentang Nasakom(nasionalisme agama, dan komusisme).Pemikiran politik Soekarno semua berangkat dari satu central Point  yang sama yaitu kebencian terhadap kapitalisme dan imperalisme dan kolonialisme. Kebencian ini menjadi corak tersendiri yang membentuk struktur pemikiran yang cenderung ber toleransi kapada semua musuh-musuh kapitalisme, imperalisme dan kolonialisme.
Memang tidak dapat disangkal bahwa Soekarno seorang nasionalisme tulen, atau dapat dikatakan pula Soekarno adalah seorang nasionalisme radikal. Segala pemikiran politiknya ditujukan demi persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Soekarno adalah tokoh nasionalis yang belum ada tandingannya di Indonesia.  Citra Soekarno di antara ideolog Indonesia cukup tinggi, citranya di kalangan tokoh nasionalis radikal pada masa itu sangat memuncak sekali. Memang nyatanya kebanyakan pemikir nasionalisme radikal pada masa itu tidak lebih dari pada pembawa gagasan Soekarno saja, tidak saja karena kekuasaan Soekarno sangat besar, tetapi mereka tidak sememukau Soekarno dalam mengemukakan pendapatnya.
Di antara pemikir-pemikir modern di Indonesia, Soekarno adalah yang terbesar. Hal ini bukan karena kualitas pemikiran-pemikiran yang orisinil dan brilian, tetapi juga karena pemikiran-pemikirannya itu mampu menjangkau ke jauh ke dalam lapisan masyarakat. Sebagai seorang cendekiawan yang mempunyai kemampuan besar di dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya yang jernih, Soekarno juga seorang orator atau seorang yang ahli pidato yang mempunyai kemampuan tinggi dan karismatik yang mampu menyampaikan pemikiran-pemikirannya dengan gaya yang amat menarik dan mudah dimengerti oleh khalayak ramai.
Pemikiran-pemikiran Soekarno biasanya berkaitan erat dengan realita-realita hidup dalam masyarakat Indonesia, oleh karena itu pemikiran-pemikirannya tampak mengandung relevansi yang kuat dan dalam. Pemikiran Soekarno dapat dikatakan selalu terarah kepada keperluan untuk mencari pandangan hidup atau ideology bersama yang bisa dipakai sebagai tali pengikat masyarakat Indonesia yang majemuk ke dalam satu bangsa yang benar-benar bersatu. Melalui pengamatan yang dalam, Soekarno selalu berusaha mencari akar-akar dari ideologi bangsa Indonesia yang ingin dibangunnya. Dari permulaan perkembangan pemikirannya, Soekarno selalu mencari dan kemudian menemukan serta melihat beberapa fenomena atau masalah yang telah menjadi sasaran dari pemikirannya. Salah satu fenomena atau masalah tersebut adalah dinamika yang terkandung di dalam berbagai aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat.
Pada permulaan tahun 1960-an, Soekarno memperkenalkan akronim baru “Nasakom” sebagai lembaga persatuan antara nasionalisme, agama, dan komunisme . Nasakom merupakan hasil buah pikiran Soekarno yang dijadikannya sebagai gagasan pemersatu bangsa Indonesia dengan tujuan melanjutkan revolusi yang belum selesai dengan pedoman pada Pancasila.[7] Nasakom merupakan dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme meskipun sebelumnya pada tahun 1620-an soekarno menyebutnya dengan dengan persatuan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang digunakan melawan kolonialisme dan Imperalisme di Indonesia. Menghidupkan kembali kepentingan kaum nasionalis islam dan marxis yang dapat di cocokan dan disatukan menjadi satu.[8]
Gagasan Nasakom dan proses penyisipan misi Nasakom dilakukan pada masa demokrasi Terpimpin yang terkandung dalam pidato yang selanjutnya dikenal dengan manipol USDEK[9]. Ketika munculnya Periode Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno muncul sebagai tokoh pemimpin yang merupakan pusat kekuasaan untuk mencerminkan “terpimpin” dalam penamaan Demokrasi Terpimpin tersebut.  Demokrasi Terpimpin ialah suatu demokrasi yang dipimpin, presiden Soekarno. Pada masa demokrasi terpimpin ini sukarno bersikap diktator dan semakin ber api-api.[10] Soekarno sebagai pusat kekuasaan yang harus di ikuti oleh rakyat. Oleh sebab itu semua gagasan yang ia keluarkan presiden Soekarno harus diikuti dan dijadikan ideology bersama termasuk Ideologi Nasakom.
Dalam tulisan Soekarno “Suluh Indonesia Muda” tahun 1926, “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” telah mengungkapkan dasar pemikiranya. Nasionalismenya adalah nasionalisme yang hidup berdampingan dengan Islam dan Marxisme. Keinginan Soekarno menyatukan antara ketiga Ideologi karena sebagai kekuatan besar menghadapi kolonialisme.[11] Penyatuan ini didasari dengan adanya kesamaan antara ketiga ideology tersebut yaitu sama-sama dibawah tekananan kolonial.
Ketika merumuskan “Nasionalis islam dan marxsis” yang padangan dasarnya dimaksutkan sebagai suatu strategi menghadapi kekuasaan kolonialisme  Belanda. Strategi yang waajar  dan sederhna jika kaum komunis dan golongan islam bisa menyusun barisan kekuatan dan bekerja sama di bawah panji-panji nasionalisme. Dari pemikiran usaha kerjasama ini ia tersentuh oleh harapan bisa di satukan berbagai aliran keyakinan yang berbeda-beda sehingga tercipta satu keterpaduan yang dapat di terima dengan jalan saling memberi karena tidak ada lagi pilihan (dari ketiga ideology saling melengkapi).
Nasionalisme yang berperikemanusiaan berarti nasionalisme yang memberi tempat terhadap aliran-aliran lainya. Islam, meskipun tidak mengenal batas-batas Negara karena prinsipnya yang utama adalah persaudaraan antar manusia, tetapi Islam tidak menentang Nasionalisme. Marxisme adalah aliran yang menentang penindasanyang juga menjadi sifat dari Islam. Jadi meskipun nasionalisme yang bersifat cinta tanah air dan bangsa, Islam mendasarkan diri pada keyakinan agama atau bersifat spiritual sedang marxisme yang mendasarkan diri pada materialsme atau kebendaan (Nazaruddin. 1988:48).
Lebih jauh lagi dalam bukunya Naazaruddin (1988:48-50) menjelaskan penyatuan ideology tidak perlu mengharuskan orang berpindah pandangan atau pemikiran yang Isalam tetap memegang Islam demikianjuga yang nasioanlisme dan Marxisme. Mereka tetap pada pandangannya sendiri-sendiri. Kegigihan Soekarno untuk membentuk kerjasama tersebut terungkap dalam kata-katanya sebagai berikut:
Nasinalisme dan Islam
“…….bahwa pergerakan nasionalisme dan Islam diIndonesia ini – iya diseluruh Asia – ada asalnya ……. dua-duanya bersal dari melawan Barat atau lebih tegas, melawan Kapitalisme  dan Imperalisme barat…..”
Nasionalisme dan Marxisme
“Nasionalisme yang segera berdekatan dan bekerja  bersama-sama dengan kaum marxsime – Nasionalisme yang semacam itu menujukan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentanng berputarnya roda politik dunia dan riwayat……. Ia lupa bahwa musuh bangsanya yang marxisme itu, sama artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah adanya musuh.”

Islam dan Nasionalisme
“ Islam sejatinya tidak mengandung asas anti-nasionalis ; Islam sejatinya tidaklah bertabias sosialis ……….. Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencinta dan bekerja untuk rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat masuk darul-Islam?
Islamisme yang memusuhi pergerakan Nasional bukanlah Islamisme yang sejati; islamisme yang demikian adalah islamisme yang kolot, islamisme yang tidak mengerti aliaran zaman… ”
Disini soekarno menegaskan , meskipun islam tidak mengenal batas-batas geopolitik, karena mendasarkan diri pada persahabatan umat anusia, tidaklah pada tempatnya kalau islam menentang gerakan nasioanalisme. Nasionalisme hanyalah ungkapa rasa cinta terhadap tenah air dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan Islam
Islamisme dan Marxisme
“ Kalau Islam tidak boelh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula!, meer waarde, sepanjang faham marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham islam.
Jadi dalam hal ini Soekarno ingin menekankan bahwa nilai lebih yang tidak dikehendaki dalam marxisme adalah pula hal yang dilarang dalam Islam. Dalam Islam orang dilarang memungut bunga atau riba. Soekarno pula menyadari terdaptnnya perbedaan pandangan atau asas antara Islam dan Marxisme tetapi justru hal tersebut apa bila dapat dipersatukan akan mempunyai arti sangat besar.
Marxisme ,Islamisme dan Nasionalisme
“ Adapun teori marxisme telah berubah pola…… marx dan Engels bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan untuk segala zaman.”
Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab maka kaum marxisme yang “muda” baik” sabar” maupun yang  “ keras”, terutama di Asia mau menyokong pergerakan nasioanal yang sungguh-sungguh.
Itulah sebabnya maka gerakan maxisme di Indonesia ini harus pula menyongkong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalis dan Islamis yang mengambil otonom itu sebgai maksudnya pula.
Dari cuplikan pendapat-pendapat tentang Nasioanlisme Islamisme dan Mrxisme terlihat bahwa Soekarno berusaha mencari titik-titik yang dapat dipertemukan, walaupun bila ditinjau dengan lebih dalam titik temu tersebut tidak didasari dengan alasan yang kuat, hanya berusaha menyatukan dalam satu “commond denominator”[12] dan menjadi satu kekuatan.
Pada mulanya nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno adalah anti kolonialisme dan imperialisme saja, kemudian berkembang menjadi bersifat anti unsur-unsur liberal barat. Bagi Soekarno nasionalisme yang berkembang di barat berbeda yang berkembang di Asia umumnya dan di Indonesia khususnya.  Nasionalisme yang ada di barat mempunyai ciri-ciri komersialisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme, maka nasionalisme di timur (Asia) khususnya di Indonesia bersifat anti kolonialisme dan imperialisme.
Basis bersatunya kalangan marxis non-sektarian, nasionalis kiri progresif dan muslim akan menjadi lawan imperalisme dan eksploitasi ekonomi sebagaimna tergambar jelas pada eksploitasi kerja (riba dalam konsep islam).  Perlawanan harus berjalan terhadap “eksploitasi bangsa oleh bangsa dan eksploitasi manusia oleh manusia”.[13] Untuk melawan elemen-elemen dalam masyarakat Indonesia yang bersekutu dengan kepentingan (imperalis) barat adalah dengan memperkuat kelas-kelas rakayat.[14] Mobilasi massa sebagai kunci perubahan masyarakat Indonesia sekaligus dapat melapangkan jalan bagi tranformasi menurut cita-cita sosilaisme. Gerakan massa  sebagai alat pembangkit kaum tani dan buruh dari jeratan kekusaan kolonial. Mobilisasi kekuatan-kekuatan rakyat ini memainkan peranannya dalam memperjuangkan berbagai permintaan ekonomi dan politik, dari kenaikan upah dan pengawasan harga hingga pembagian tanah serta nasionalisasi perusahan-perusahan asing. Dengan adanya konsepsi-konsepsi yang digagas oleh Soekarno Indonesia menujukan kekuatanya tidak hanya tingkat nasional namun hingga Internasional. Percaturan dunia Indonesia mulai menujukan peranan dalam kacah Internasional serta reaksi Indonesia terhadap Isu-isu global.
Soekarno tidak hanya berkisar pada masalah politik saja melainkan juga meliputi bidang perekonomian. Prmikirsn Soekarno dalam bidang ekonomi di mulai untuk pertama kalinya  pada tahun 1932-an. Alam pemikiranya di bidanang ekonomi dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sosialis Eropa. Tulisan-tulisannya seperti Demokrasi Politik, Demokrasi Ekonomi, Kapitalisme Bangsa Sendiri?,  Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi atau Mencapai Indonesia Merdeka. [15]











b.      Dengan mengggunakan ideologi Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan Soekarno.
Ir. Soekarno merupakan intelektual indonesia, yang sepanjang hidupnya selalu berusaha merealisasikan obsesinya untuk mewujudkan sebuah negara Indonesia yang bercirikan sosialis. Sedari muda, Soekarno sudah aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berbau politik, dimulai dengan membuat kelompok studi hingga mendirikan partai politik.
Soekarno memiliki sikap tegas terhadap pemerintahan kolonial belanda yang telah menjajah Indonesia selama lebih dari tiga setengah abad. Ketegasan soekarno tidak lain adalah untuk tidak mau bekerjasama dengan pihak kolonial belanda.
Pemiliran politik soekarno semuanya berangkat dari satu central point yang sama, yaitu kebenciannya kepada kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Kebencian ini kemudian menjadi corak tersendiri yang membentuk struktur pemikiranya yang cenderung bertoleransi kepada semua musuh-musuh kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Kemudian dalam rangka memerangi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme beliau mencoba memadukan tiga arah pikiran idiologis utama yang berkembang pada waktu itu yaitu islam, nasionalis, dan komunisme yang kemudian disebut dengan Nasakom.
Kemudian munculah istilah marhaenisme. Istilah ini muncul pada masa partindo. Dimana dalam suatu konferensinya tahun 1933 di kota mataram, Partindo telah mengambil keputusan tentang marhaen dan marhaenisme yang salah satu isinya sebegai berikut:
1.      marhaenisme, yaitu sosio nasionalisme dan sosio demokrasi,
2.      marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3.      Marhaenisme adalah azaz yang menhendaki sususnan untuk mencapai susunan masyarakat dan sususnan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
4.      Marhaenisme adalah cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang refolusioner.
5.      Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan azaz yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme
6.      Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan marhaenisme.
Bagi marhaenisme, internasionalisme harus dibarengi oleh nasionalisme atau patriotisme dan disebut sosio nasionalisme. Sosio demokrasi meliputi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik hanya akan melahirkan political power centris yang menyuburkan lairan yang berpedoman pada adagium " The survival of the fittest ", dalil sosial Darwinisme.

Demokrasi politik yang seperti ini berwatak liberalisme dan menjurus kepada free fight competition dan bertentangan dengan marhaenisme yang sosialistis. Dengan demikian demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sejajar dengan marhaenisme. Apabila marhaenisme dikembangkan maka akan melahirkan :

1. Sosio nasionalisme menjadi nasionalisme, perikemanusiaan.
2. Sosio demokrasi menjadi demokrasi, kedaulatan politik dankeadilan sosial.
Bung Karno dalam menjelaskan marhaenisme tidak pernah keluar dari benang merah yang telah digariskan sejak tahun 1927 tentang marhaenisme, diantaranya :

1. Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh, tani, pengusaha kecil, pegawai kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil lainnya. Soekarno sering menyebutkan marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh imperialisme.
2 Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung, di dataran rendah, di kota, di desa dan dimana saja. Marhaen itu ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan ada juga yang menganut animisme. Marhaen Indonesia ada yang kyai, pastor, pendeta, biksu, mpu atau dukun di kalangan PSII, Budi Utomo, TNI, KORPRI dan dimana saja.
3. Kaum marhaen sesuai dengan kodratnya berupaya melepaskan belenggu kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib.
4. Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan penindasan, penghisapan, pemerasan, penganiayaan dan berupaya mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan nasional, melalui demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
5. Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana kemerdekaan itu hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur, dan jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa.

Istilah ideologi pertama kai diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1754-1836) yang mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang idea.
Sebagai sebuah dasar gerakan politik, yang memuat konsep masyarakat yang dikehendaki maka marhaenisme sudah memenuhi syarat untuk disamakan dengan sebuah idiologi. Sebagai sebuah idiologi tentunya marhaenisme tidak akan terlepas begitu saja dari kecenderungan-kecenderungan yang dialami oleh setiap idiologi. Bahwa suatu saat marhaenisme akan menghasilkan suatu kesadran palsu. Namun sebagai sebuah odiologi progresif, marhaenisme sebenarnya merupakam suatu counter idiologi terhadap ideologi reaksioner yang dipresentasikan oleh imperialisme belanda di indonesia.
Cita –cita marhaenisme bukan sekedar untuk mengusir penjajah beland, tetapi lebih penting lagi adalah mengenyahkan idiologi kapitalisme di muka bumi. Cita-cita ini didasarkan pada kepercayaan marhaenisme bahwa kapitalisme adalah penyebar kesengsaraan, kemiskinan, peperangan dan rusaknya susuna dunia (Soekarno,1964, hal. 181)’.
Penolakan terhadap idiologi kapitalisme merupakan kecenderungan wajar dari hampir semua negara baru. Menurut Lyman Tower Sargent (1986) kapitalisme yang mereka tolak adalah kapitalisme laissez-faire yang menyebabkan munculnya istilah sosialisme nagi setiap sistem ekonomi yang bukan kapitalis,
Sebagai sebuah idiologi yang sosialis, marhaenisme pun disyaratkan untuk menjadi pembebas dan penebus segala kesengsaraan rakyat indonesia yang diakibatkan oleh imperialisme belanda. Karenanya marhaenisme secara material harus mampu menjebatani kesenjangan yang terjadi antara realitas sosial dengan kesadaran aktual massa serta menjelaskan kondisi sosial masyarakat secara historis. Sebab jika tidak maka marhaenisme akan terjebak menjadi sangat idiologis menjadi suatu jalinan pemahaman yang tidak ilmiah, sekedar sebagai kesadaran palsu, dan juga tidak tertutup kemungkinan menjadi klaim-klaim pembenar kekuasaan secara tidak wajar.
Marhaenisme dikembangkan oleh Soekarno sebagai alternatif terhadap konsep ploretarnya analisa Marxis. Dalam tulisannya yang berjudul ‘marhaen dan ploretar’ yang dimuat dalam fikiran rakyat 1933 Soekarno menemukakan mengenai dasar-dasar pokok marhaen dan marhaenisme. Di situ Soekarno berusaha menghubungkan antara marhaenisme dengan marxisme. Ia antara lain menulis [16]
      “marhaenisme adalah asas yang mengendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala hal nya menyelamatkan marhaen. Marhaenisme juga cara perjuangan untuk mencapai susuanan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus cara perjuangan yang refolusioner. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme”.
Dari tulisan itu tampak bahwa tujuan marhaenisme adalah untuk mengankat derajat manusia indonesia.
Marhaenisme itu sendiri menegaskan bahwa sama dengan pancasila, karena marhaenisme itu meliputi ketuhanan Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Di samping itu di tegaskan pula bahwa PNI adalah partai yang terutama didirikan oleh Soekarno dan marhaenisme adalah ajaranya.
Karena marhenisme sama dengan pancasila, sama dengan prinsip-prinsip ketuhanan Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi, maka PNI pada saat itu menolak usaha-usaha yang ingin memperdamakan marhaeniseme dengan marxisme. Sejak itulah istilah ‘marhaenisme adalah pancasila’ dan ‘marhaenisme ajaran Bung Karno’ semakin ditonjolkan oleh PNI.
Kemudian Soekarno menawarkan gagasan ideologi yang berisi 5 prinsip dasar. Dalam pidatonya dihadapan BPUPKI tanggal 1 juni 1945. 5 prinsip dasar tersebut yaitu:
1.      Kebangsaan indonesia
2.      Internasionalisme (peri kemanusian)
3.      Mufakat (demokrasi)
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Menyusun indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa.
Kelima prinsip itulah yang dinamkan sebagai pancasila. Namun dalam kesempatan tersebut Sokarno tidak menawarkan harga mati. Konsep ini masih terbuka dalam arti masih bisa dirubah.
Dapat diartikan pula bahwa marxist Soekarno adalah marxist yang berpancasila, yaitu marxisme yang berKetuhanan Yang Maha Esa, berlawanan dengan marxisme-Leninis yang ateis sebab meletakkan ekonomi di atas segala-galanya untuk segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, sehingga unsur agama dan Ketuhanan menjadi hilang perananya. Uraian Soekarno tentang masyarakat sosialis Indonesia sebagai masyarakat yang berpancasila, juga tulisanya mengenai siapa itu proletar dan siapa itu marhaen, serta pendapatnya mengenai filsafat historis materilisme dan liberlisme dapat menjelaskan siapa dan bagaimana Soekarno itu.
c.       Gerakan Berdikari Soekarno
Konsep berdikari pertama kali diucapkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1964, di mana pada saat itu Bung Karno mengemukakan konsep Trisakti, yaitu: berdaulat dalam bidang polititk, berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Menurut Bung Karno ketiga prinsip tersebut tidak dapat dipiahkan satu sama lain. Sebuah negara tidak akan mampu berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan jika tidak berkedaulatan dalam politik. Demikian pula sebaliknya, tanpa berdikari dalm ekonomi mustahil sebuah negara dapat mewujudkan kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Konsep berdikari dijabarkan lebih jauh oleh Presiden Soekarno dalam pidato Tahun Berdikari, 17 Agustus 1965. Pidato ini dibuka dengan paparan situasi politik nasional pada saat itu, mulai dari pemberontakan diberbagai daerah hingga konfrontasi dengan Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Kemudian Bung Karno memberikan ulasannya tentang situasi politik internasional, mulai dari perang dingin, kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Konsep berdikari tidak dapat dipisahkan dari situasi politik saat itu, dimana kondisi politik nasional dan internasional pada saat itu memberikan tekanan yang sanagt kuat terhadap perekonomian Indonesia yang masih berusia sangat muda. Hal tersebut tentu saja dapat mengancam keberlangsungan eksistensi negara Indonesia. Untuk itu, menurut Bung Karno, diperlukan usaha “memperkuat ketahanan revolusi”. Dan berdikaripun sejatinya diciptakan untuk memperkuat ketahanan revolusi Indonesia.
Dalam pidato Tahun Berdikari Bung Karno, 17 Agustus 1965, menyebutkan bahwa berdikari pada prinsipnya merupakan usaha menjadikan kekuatan sendiri sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Pemeritah dan rakyat harus mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia dengan beragam penemuan. Diharapkan nilai ekspor akan semakin besar, serta koperasi dan perusahaan negara mampu menjadi moto penggerak dalam proses ini. Konsep ekonomi berdikari Soekarno pada waktu itu dapat disebut juga sebagai Ekonomi Terpimpin.
Sejarah perekonomian Indonesia pada tahun 60-an atau pasca rangkaian pemberontakan daerah di akhir tahun 50-an masuk ke dalam krisis ekonomi yang hebat. Pemberontakan-pemberontakan diberbagai daerah telah menghabiskan uang negara untuk menghentikannya. Di tambah lagi produksi dalam negeri merosot tajam setelah aksi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yang kemudian tidak diurus dengan baik. Terlebih lagi mata uang yang mencair akibat inflasi yang begitu tinggi, sumber daya alam yang kurang terurus pula karena tidak adanya satu dasar kebijakan yang pasti tentang penanaman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, perkembangan ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan sangat terkait pada struktur ekonomi warisan kolonial Hindia Belanda (HB) dan pada sekitar abad 19 dibukanya modal swasta Belanda dan Eropa Barat lainnya.
Masuknya modal swasta ke Indonesia telah mengakibatkan “ekonomi ganda”, dimana sektor asing adalah sektor yang paling padat modal yang menghasilkan produk-produk pertanian untuk ekspor, dan sektor pribumi yang mengusahakan tanaman pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena permintaan ekspor yang meningkat pasti membutuhkan tenaga kerja yang murah dan lahan yang luas. Terlebih lagi dengan beroperasinya modal swasta asing melahirkan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk keperluan bisnis. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa sistem liberal yang kapitalistik semakin menjelama di Indonesia. Maka dari itu, untuk keluar dari krisis tersebut Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan Deklarasi Ekonomi (DEKON) sebagai langkah kebijakan ekonomi jangka pendek. Kebijakan tersebut di ambil oleh Presiden Soekarno untuk mengatasi ekonomi dengan arah dan tujuan untuk Berdikari.
Selain membuat Dekralasi Ekonomi (DEKON), pada saat itu setelah perjanjian KMB pemerintah Indonesia yang di pegang oleh Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai pemenang pemilu 1955 merencakan pembangunan untuk 5 tahun ke depan yang lebih di kenal dengan Rencana Lima Tahun (RIT) 1956-1960. Salah satu programnya yaitu program pergantian ekonomi kolonial menjadi menjadi ekonomi nasional. Rencana Lima Tahun ini mengisyaratkan dua hal, yaitu:
1.      Perlunya suatu sistem perencanaan yang terpusat dan perlunya pemerintahan memainkan peran yang lebih besar dalam melaksanakannya.
2.      Perlunya untuk membentuk perusahaan negara yang nantinya mampu untuk membentuk golongan pengusaha Pribumi yang mampu untuk mengimbangi para pengusaha keturunan Tionghoa dan donimasi modal asing.
RLT menekankan pada perbaikan posisi neraca alat-alat pembayaran luar negeri pendapatan alat-alat luar negeri dalam waktu yang singkat. Karena pendapatan dari ekspor akan digunakan untuk usaha-usaha industrialisasi dan pembangunan untuk memperbesar pendapatan nasional perkapita. Perencanaan ekonomi sejak tahun 1950 sampai 1957 lebih banyak terarah pada pengaturan perdagangan luar negeri, pengaturan ekspor dan impor untuk mendapatkan devisa. Hai ini terlihat dari dua program utama pada periode ini, yaitu diberlakukannya sistem Bukti Ekspor dan lisensi impor (program Benteng). Namun, pada praktiknya RTL ini mengalami permasalahan, yaitu masalah rasial keturunan Tionghoa dengan “Gerakan anti-Cina” yang mendapat dukungan dari pedagang-pedagang eceran Pribumi yang kedudukan ekonominya lebih lemah dari pedangan Tionghoa  dan perdagangan gelap di daerah.
Perencanaan-perencanaan yang dirumuskan memperlihatkan satu keinginan untuk menciptakan ekonomi nasional yang tangguh dan stabil, tetapi sebagai suatu negara yang baru merdeka, Indonesia tidak mampu untuk keluar dari struktur ekonomi yang ada. Hal ini disebabkan kelangkaan modal dan perubahan-perubahan politik yang terjadi di luar dugaan. Sementara itu, perbedaan dalam haluan politik untuk menciptakan ekonomi nasional masih terperangkap sebagai program singkat dari satu kesatuan politik yang berkuasa pada saat itu. Dengan kata lain, program ekonomi dibuat hanya berdasarkan keadaan darurat sehingga pelaksanaannya terarah pada persoalan-persoalan yang sifatnya mendadak.
Hal tersebut lah yang muncul sebuah pandangan politik dan ekonomi yang merasa tidak puas terhadap pola perencanaan tetenan ekonomi yang ada. Mereka mengatakan bahwa perekonomian dan politik yang dijalankan Indonesia sejak tahun 1950 tidak dilandasi oleh semangat yang revolusioner. Karena itu, harus dikembalikan lagi ke dasar pemikiran pendirian Republik Indonesia pada 1945, yaitu semangat yang menggelora dalam melakukan tindakan-tindakan yang revolusioner. Dengan demikian, Soekarno mulai menyuarakan pentingnya melanjutkan revolusi dengan demokrasi dan ekonomi terpimpin sebagai pegangan dalam menjalankan kepemerintahan.
Tindakan Soekarno adalah kembali ke UUD 1945 dan semangat revolusi. Sebagai satu bagian adalah Ekonomi Terpimpin (ET) atau yang dapat disebut juga sebagai Ekonomi Berdikari dapat berjalan dengan baik apabila dijalankan bersamaan dengan mekanisme Manipol/USDEK, diharapkan kebijakan ekonomi yang dilakukan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan perekonomian yang ada di Indonesia.
Ekonomi Terpimpin dengan membentuk perusahaan-perusahaan negara yang terbagi dalam empat jenis, yaitu: pertama, perusahaan yang mengelola kekayaan bumi dan air; kedua, perusahaan yang meliputi produksi penting bagi negara yang meliputi produksi penting bagi negara dan meliputi haat hidup orang banyak; ketiga, perusahaan yang vital menurut kebijaksanaan pemerintah; keempat, perusahaan swasta dengan prinsip modal 50% swasta dan 50% pemerintah dan hak untuk mengontrol manajemennya di tangan pemerintah. Semua bentuk perusahaan tersebut akan dipimpin secara bersama antara pimpinan perusahaan dan pimpinan pribumi.[17]
Ekonomi terpimpin dalam masyarakat sosialis Indonesia ini mengacu pada “Pasal 33 UUD 1945”  Soekarno  mengatakan bahwa Ekonomi terpimpin menghendaki kegotong royongan dibidang ekonomi. Menurut Soekarno sistem ekonomi itu mengandung tiga unsur yakni kepentingan bersama yang ditetapkan bersama, usaha bersama yang dilaksanakan bersama, dan pemimpin bersama yang dimufakati bersama.[18] 
Sosialisme Indonesia mengejar terwujudnya suatu tata perekonomian yang disusun sebagi usaha bersama. Berpedoman bahwa kemakmuran masyarakatlah yang harus senantiasa diutamakan dan bukan kemakmuran perseorangan. Sosialisme yang bertujuan sebagai usaha dalam lapangan ekonomi dan keuangan serta melenyapkan penjajahan dalam bentuk apapun.
Sosialisme Indonesia adalah gotong royong berdasarkan pancasila. Ditambah lagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sumber daya alamnya, sehingga dapat dimanfaatkan dengan sebaik baiknya.[19]
Menghadapi persoalan ekonomi Indonesia yang semakin tidak menentu, serta polarisasi politik yang semakin yang semakin menakam antara pusat dan daerah maka pada 1957, diadakan Musyawarah Nasional (MUNAS). Munas ini melahirkan ide untuk mengadakan pembicaraan pembicaraan lebih luas untuk meninjau perkembangan ekonomi Indonesia.
Selain itu pada periode 1959-1965 mencakup beberapa bidang, diantaranya dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila yang disusun berdasarkan serangkaian Rencana Pembangunan Nasional jangka panjang (RPJP). Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan pertama (RPNSB)  Pada tanggal 15 Agustus 1959 dibentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas). Di bawah pimpinan Mr. Muh. Yamin sebagai wakil menteri pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Adapun tugas BAPPENAS menurut Penpres dalam Mustopadidjaja (2012:84), tersebut adalah :
1.      Menyusun rencanan pembangunan nasional jangka panjang, termasuk rencanan pembangunan daerah dan pembangunan masyrakat desa
2.      Menyusun rencanan pembangunan tahunan
3.      Mengkoordinasi semua usaha persiapan perencanaan dan persiapan pelaksanaan pembangunan
4.      Menilai dan mengawasi pelaksanaan rencanan pembangunan
5.      Melakukan usaha – usaha penelitian dan penyelidikan untuk keperluan perencanaan pembangunan
6.      Menyempurnakan pola Perencanaan Semesta Berencana pertama
Selain ittu di bentuk pula Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang merupakan langkah yang diambil presiden Soekarno untuk perbaikan ekonomi di Indonesia secara menyeluruh. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Dekon ini mempunyai program dengan bekerja membuat berbagai kebijakan diantaranya adalah
  1. Diciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa Imperialisme dan Feodalisme.
  2. Ekonomi sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia. Dimana tiap orang dijamin mendapat pekerjaan, sandangpangan, perumahan serta kehidupan kultural dan spiritual yang layak.
Dan untuk memenuhi hasrat rakyat Indonesia melaksanakan prinsip “berdiri diatas kaki sendiri”, maka di dikeluarkanlah Penpres pada tanggal 24 April mengenai penempatan semua perusahaan asing di Indonesia yang tidak bersifat domestik di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia. Belum puas dengan membentuk berbagai badan menangani kemelut perekonomian ini, maka Soekarno telah membentuk pula sebuah badan lain bernama Dewan Pangan Nasional.
Pada akhirnya Ekonomi Tertinggi yang dijalankan untuk mencapai masyarakat sosialis ala Indonesia sampai pada tahun 1963 belum memperlihatkan jalan terang. Hal tersebut juga dipertegas oleh Soekarno pada tahun 1964 bahwa untuk menciptakan masyarakat sosialis diperlukan kerja keras untuk memajukan revolusi nasional demokratis. Sosialisme ala Indonesia sangat bergantung pada kemajuan jalannya revolusi nasional tersebut. Keadaan tersebut diperparah setelah Soekarno tumbang dan kemudian diganti dengan Soeharto atau yang dapat disebut juga sebagai rezim Orde Baru tahun 1990-an. Dalam menghadapi gejala krisis ekonomi menempuh jalan berkompromi dengan kebijakan ekonomi yang jauh lebih liberal dan membuat Indonesia semakin terperosok dalam krisis ekonomi. Indonesia pada tahun 1990-an benar-benar menjelma menjadi negara dengan pintu terbuka bagi dominasi modal asing melalui serangkaian kebijakan liberalism perbankan dan investasi dan upah buruh yang murah.

3.      Nasib revolusi Indonesia setelah Soekarno tumbang
a.      Kudeta Soekarno
Sesudah Peristiwa 30 September 1965 meletus, muncullah akronim-akronim seperti “Gestapu-PKI” , “G30S/PKI” , dan lain-lain. Akronim-akronim itu dengan sengaja mengkaitkan Peristiwa 30 September dengan PKI, sesuai dengan maksud yang ingin dicapai oleh penguasa Orde Baru yaitu bahwa PKI-lah dalangnya dan PKI secara keseluruhan terlibat dalam peristiwa tersebut, serta lebih lanjut dengan tujuan memukul PKI. Tindakan demikian terhadap suatu partai politik tidak pernah terjadi sebelumnya. Tetapi Presiden Soekarno mengemukakan akronim yang lain untuk peristiwa itu, yaitu Gestok ( Gerakan Satu Oktober ) yang secara jelas tidak mengkaitkan peristiswa itu dengan PKI. Dua akronim yang secara harfiah berbeda itu pasti akan menimbulkan pertanyaan bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran, keadilan dan kejelasan, dan akan bertanya benarkah PKI menjadi dalang dan terlibat dalam peristiwa itu. James Luluhima mengatakan bahwa mulai tanggal 1 oktober 1965, Presiden Soekarno bukan lagi merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Pada hari yang sama, Soeharto juga telah memegang kendali angkatan darat dari tangan Ahmad Yani.[20] Selama dua dasawarsa masalah benar tidaknya PKI menjadi dalang ini oleh penguasa Orde Baru terus diputarbalik, dikisruhkan dan dibikin gelap. Media pers dilarang memberitakan keadaan obyektif peristiwa itu, bahkan beberapa harian yang melakukan itu segera kena bredel.Semua ini dengan maksud dan tujuan agar belang mereka yang sesunggguhnya tidak tersingkap di depan rakyat Indonesia, dan segala “dosa” dapat terus ditumpahkan kepada PKI dan golongan patriotik lainnya. Untuk menutupi siapa penjahat sesungguhnya dan apa kejahatan yang sebenarnya serta meng- hindari dari reaksi keras opini umum dunia, elite penguasa Orde Baru menggunakan jubah hukum, “ rule of law ”, menyeret beberapa tokoh PKI ke depan meja hijau. Tetapi lebih dari SATU JUTA anggota PKI, simpatisan PKI dan golongan demokrat dan patriotik lainnya, dibunuh dengan kejam tanpa proses hukum, dipenjarakan atau dibuang dalam waktu panjang tanpa diadili.
Pemimpin-pemimpin PKI yang mereka “ adili ” , menjadikan mimbar pengadilan rezim fasis sebagai ajang perjuangan berhadapan muka dengan pihak rezim fasis yang berkuasa. Dari kedudukan sebagai terdakwa mereka ubah menjadi pendakwa terhadap segala kejahatan dan kebiadaban rezim fasis Soeharto. Tetapi di pihak lain penguasa Orde Baru tidak berani membawa pemimpin-pemimpin utama PKI ke depan apa yang dinamakan Mahmillub. Mereka takut perbuatan keji dan pemutarbalik aan yang mereka lakukan terbuka di depan khalayak ramai di dalam dan di luar negeri. Oleh karena itu “ rule of law ” mereka campakkan dan pemimpin-pemimpin utama PKI yaitu: D.N.Aidit, M.H.Lukman dan Nyoto, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua CC PKI, mereka bunuh dengan kejam, tanpa melalui proses pengadilan apapun.
Kontradiksi antara rakyat Indonesia di satu pihak dengan kaum reaksioner yang didukung oleh imperialisme di pihak lain adalah suatu kontradiksi yang secara obyektif ada dalam masyarakat Indonesia yang neo-koloni dan semi-feodal. Dan adanya kontradiksi ini sedikitpun tidak ter- gantung pada kemauan siapapun atau kelompok manapun. Kontradiksi antara kekuatan rakyat yang mau mempertahankan serta mengkonsolidasi kemerdekaan nasional dan kedaulatan negara , yang mau mengisi kemerdekaan politik dengan pembangunan ekonomi nasional yang memakmurkan seluruh rakyat di satu pihak, dengan kekuatan-kekuatan yang mau memperta- hankan ketergantungan ekonomi pada imperialis, kekuatan-kekuatan kabir, komprador dan tuan tanah feodal di pihak lain. Kontradiksi itu dengan nyata dapat dilihat dari usaha kaum reaksioner dalam negeri dengan bantuan serta dukungan dari kaum imperialis, khususnya kaum imperialis Amerika Serikat, untuk menjadikan Republik Indonesia negeri yang sepenuhnya tergantung dan menjadi satelit imperialis Amerika Serikat. Usaha-usaha mereka itu terlihat dalam wujud seperti upaya kup-kup militer maupun pemberontakan-pembrontakan terhadap pemerintahan yang syah yang muncul tak henti-hentinya. Misalnya, pembrontakan-pembrontakan DI/TII (Sekarmadji Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dll.); Pembrontakan PRRI/PERMESTA ( Dewan Banteng dengan Letkol. Achmad Hussein di Sumatera Barat, Dewan Gajah dengan Letkol. Maludin Simbolon di Sumatera Utara,Dewan Garuda dengan Letkol. Barlian di Sumatera Selatan, Permesta dengan Letkol. Ventje Samual dan Saleh Lahade di Sulawesi ) di tahun-tahun 1957-1958, dan usaha Kup 17 Oktober 1952 dan usaha Kup Kolonel Zulkifli Lubis pada tanggal 16 November 1956. Presiden Soekarno sebagai seorang patriot Indonesia yang gandrung akan persatuan semua kekuatan revolusioner, berusaha keras mewujudkan “ samenbundeling van alle revolutionaire krachten ”di Indonesia melawan kaum reaksioner dalam negeri dan kaum imperialis Amerika. Beliau berusaha keras menjadikan Indonesia suatu negeri yang benar-benar menjalankan politik luar negeri “ bebas aktif ” dan anti-kolonialisme-imperialisme. Usaha Presiden Soekarno itu sudah tentu tidak disukai dan ditentang oleh kaum reaksioner Indonesia dan imperialisme Amerika Serikat, dan beliau dianggap sebagai penghalang besar bagi ambisi jahat mereka. Sukarno sebagai pemimpin negara tetap berbeda haluan dengan Soeharto sebagai pemimpin angkatan darat. Perbedaan itulah yang kemudianmenentukan segalanya bagi Bangsa Indonesia, termasuk kehidupan Soekarno. Sikap kukuhnya mempertahankan PKI denga alasan belum ada bukti yang jelas justru menjadi angin segar bagi Soeharto untuk memdesak pada kejatuhan total. [21] Mereka tidak segan-segan mengambil cara keji dengan melakukan percobaan pembunuhan terhadap beliau. Hal-hal itu dapat dilihat dari serentetan fakta-fakta berikut ini: Peristiwa Cikini (1957), Peristiwa Maukar (1960), Peristiwa Idhul adha (1962) dan Peristiwa Makasar (1962).[22]
Dari peristiwa-peristiwa yang dikemukakan di atas jelas, bahwa kaum reaksioner dalam negeri dan imperialisme berusaha keras untuk menggulingkan pemerintahan yang maju dan membunuh Presiden Soekarno, serta menegakkan pemerintahan yang sepenuhnya pro - Amerika Serikat dan mengganti Presiden Soekarno dengan seorang boneka yang sepenuhnya mengabdi mereka, tidak berhenti dari satu percobaan ke percobaan yang lain. Di samping itu, jelas pula terlihat bahwa peristiwa-peristiwa itu mempunyai ciri-ciri selalu dibenggoli oleh perwira tinggi Angkatan Darat yang pro-Barat dan yang sangat anti Komunis sebagai inti yang memainkan peranan utama di dalamnya. Setelah Konstituante hasil pemilihan umum yang pertama kali diadakan di Indonesia, yang jauh lebih umum ,bebas, rahasia dan demokratis ketimbang tiga kali pemilihan umum di bawah Rezim Soeharto, gagal melaksanakan tugasnya untuk menyusun UUD yang baru, keluarlah Dekrit Presiden kembali ke UUD ‘45. Situasi politik Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan maju, khususnya sesudah pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1959, yang berjudul “ PENEMUAN KEMBALI REVOLUSI KITA ” atau yang terkenal dengan sebutan MANIPOL . Relevan dengan gagasan sejak mudanya yang tertuang dalam tulisannya: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, Presiden Soekarno mengambil langkah mempersatukan semua kekuatan demokratik, mempersatukan kekuatan nasionalis, agama dan komunis, yaitu apa yang terkenal dengan NASAKOM , dan menjadikannya sebagai dasar dari persatuan nasional, untuk menghantam kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri. Tidak hanya itu, beliau juga berusaha memupuk kekuatan-kekuatan yang berintikan NASAKOM , melakukan retuling atas aparatur-aparatur negara yang tidak sesuai dengan jiwa MANIPOL.[23] Langkah langkah ini merupakan pukulan bagi kaum imperialis dan kaki tangannya. Politik anti-imperialis dan anti-kaum reaksioner dari Presiden Soekarno ini mendapat sokongan penuh dari kekuat- aan progresif untuk lebih lanjut mengembangkan diri. Tetapi satu kekurangan penting pada masa itu adalah, bahwa program ekonomi pemerintah Soekarno mengalami kegagalan yang cukup berat. Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan Presiden Soekarno tidak mencapai hasil yang diharapkan karena intrik dan sabotase dari kabir-kabir untuk menggagalkan program-program ekonomi tersebut. Tindakan pemerintah Soekarno yang bersifat anti-imperialis dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan-perkebunan asing juga tidak membawa perbaikan ekonomi bahkan melahirkan kabir-kabir baru di kalangan Angkatan Bersenjata yang mengangkangi perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu dengan menggunakan kesempatan baik bagi mereka dengan adanya SOB ( Staat van Oorlog en Beleg -- Keadaan Darurat Perang--). Dengan menempati kedudukan sebagai Presdir-Presdir, perwira-perwira tinggi Angkatan Darat itu tidak hanya menjadi OKB-OKB ( Orang Kaya Baru ) , tetapi juga telah menjadi satu lapisan tersendiri yang mengangkangi sektor-sektor penting ekonomi Indonesia. Dalam hubungan ini seorang sarjana Australia, Richard Robinson, dari Murdoch University mengatakan: “ Kapitalisme birokrat pada mulanya berhubungan erat dengan pertumbuhan perusahaan negara. Ketika kepen-tingan perusahaan Belanda dinasionalisasi pada tahun 1957-1958, sebagian perusahaan itu berada di bawah militer ”.
Demikian pula tindakan Presiden Soekarno yang dalam batas tertentu bersifat anti-feodal dengan mengeluarkan UUPA ( Undang-Undang Pokok Agraria ) dan UUPBH ( Undang- Undang Pokok Bagi Hasil ) tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena disabot dan dihalangi oleh tuan-tuan tanah feodal dan kaum reaksioner lainnya. Sesuai dengan program umumnya, PKI menggunakan semaksimal mungkin hak legal yang ada, dengan konsekwen menyokong setiap gagasan, politik dan tidakan maju Presiden Soekarno. Pengaruh PKI makin luas di dalam masyarakat Indonesia; kenyataan ini tidak hanya diakui oleh kawan dan sahabat tetapi juga oleh lawan dan musuh PKI. Hal ini tercermin tidak tidak saja pada organisasi PKI yang tersebar luas di seluruh negeri dan jumlah anggotanya yang besar, tetapi juga secara kongkrit dalam pemilihan umum pertama, ketika PKI telah keluar sebagai salah satu dari empat partai besar. Wakil PKI pernah duduk sebagai Wakil Ketua Konstituante. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 peranan dan posisi PKI dalam percaturan politik Indonesia meningkat dalam batas tertentu. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa anggota-anggota PKI atau tokoh-tokoh yang didukung PKI dapat menduduki posisi penting dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan, seperti selaku Wakil Ketua MPRS, Wakil Ketua DPRGR, Wakil Ketua DPA, Depernas ( Dewan Perancang Nasional ), Front Nasional, Menteri-Menteri, Duta Besar dan pejabat-pejabat tinggi di berbagai Departemen. Di daerah ada yang menjabat sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, Wakil Ketua DPRD, Kepala Daerah Tingkat II, Walikota atau Wakil Walikota dan lain-lain. Dari uraian mengenai situasi Indonesia sebelum terjadinya Peristiwa 30 September di atas akan terlihat jelas adanya sejumlah besar perwira tinggi AD yang komunisto- phobi, yang pro-Barat dan sembunyi-sembunyi menyabot dan menentang politik-politik dan gagasan maju Presiden Soekarno. Mereka itu tidak saja aktif di bidang militer, tetapi juga di bidang politik, dan di bidang ekonomi telah muncul lapisan kapitalis birokrat berbaju hijau yang mengangkangi sektor-sektor ekonomi yang penting. Melalui mereka inilah kaum reaksioner Indonesia dan imperialis AS hendak mewujudkan ambisi jahatnya yang sudah lama dicita-citakan yaitu menegak kan kekuasaan pro-Barat di Indonesia dan menggulingkan Soekarno. Untuk lebih jelasnya ada baiknya dikemukakan fakta-fakta berikut ini:
1. “ Pada bulan Januari 1965 Jendral A.Yani dan 4 jendral lainnya telah mengadakan rapat-rapat bersama secara rahasia untuk mendiskusikan situasi politik (yang dikatakan memburuk). Di kalangan AD ini dikenal sebagai “ General Yani’s Braintrust ” ( Badan Inti Politik ). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh salah seorang yang ikut menegakkan Orde Baru, katanya: “ Konon kabarnya untuk memecahkan berbagai masalah itu sejak beberapa waktu ini di kalangan Markas Besar AD dibentuk brain trust yang terdiri dari 4 orang. Di samping itu ada badan yang diwujudkan oleh para Panglima yang jumlahnya 16 orang. Sehingga ada sebut- aan 4 ditambah 16 perwira tadi merupakan semacam Great Council atau Dewan Besar pihak tentara yang kalau hendak dicari analoginya dalam kehidupan partai merupakan politik biro ”.
2. “ Pada tanggal 27 dan 28 Mei Jendral A.Yani sendiri sebagai Pangad pernah dalam rapat para Panglima Daerah AD menyatakan bahwa telah dibentuk Dewan Jendral yang tugasnya memberikan penilaian politik ”.
3. “ Pada tanggal 8 Juni 1965 di tempat kediaman Chairul Saleh dilangsungkan pertemuan antara Jendral A.Yani dan Jendral Haryono dengan tokoh-tokoh PNI. Dalam pertemuan itu diusulkan oleh Jendral A.Yani dan Jendral Haryono serta Jendral Soekendro untuk memben- tuk kerja sama antara PNI-FM dengan TNI/AD untuk melawan PKI. Usul itu ditolak dan tidak mendapat sambutan dari tokoh-tokoh PNI ”.
4. ” Dalam sidang Mahmillub terungkap fakta bahwa pada tanggal 21 September 1965 di A.H.M. ( Akademi Hukum Militer ) Jln. Dr. Abdulrachman Saleh Jakarta berlangsung rapat pleno Dewan Jendral. Rapat ini dipimpin oleh Jenral S.Parman dan Jendral Haryono serta mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jendral dan menetapkan waktu kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965 ”.
5. Setelah meletusnya Peristiwa 30 September, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965, sejumlah perwira tinggi AD berkumpul di Kostrad ( Komando Strategis Angkatan Darat ) melakukan kegiatan yang menentang Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno. Kegiatan itu antara lain yalah tidak diperbolehkannya Jendral Umar Wirahadikusuma (sekarang Wakil Presiden), yang pada waktu itu sebagai Pangdam V Jaya/Jakarta Raya, yang juga dipanggil Presiden Soekarno, Soeharto dengan galak dan angkuh mengatakan kepada kurir pribadi Presiden Soekarno dalam bahasa Belanda: “ Jendral Umar blijft hier ! ”.
6. Dalam sidang Mahmillub, alm.Jendral Soepardjo mengatakan bahwa ia mempunyai bukti tentang adanya Dewan Jendral dan agar diizinkan untuk mengambil bukti yang pada waktu itu berada di MBAD ( Markas Besar Angkatan Darat ), tetapi tidak diperbolehkan oleh pihak penguasa.
7. Suatu kenyataan bahwa, sesudah Soeharto memegang kekuasaan, segala fungsi dalam kabinet, lembaga-lembaga negara, seperti DPR, MPR, DPA, MA, BPK, Presdir-Presdir atau Dirut-Dirut Perusahaan Negara, Gubernur-Gubnernur, Duta-Duta Besar hampir semuanya di- dominasi oleh perwira-perwira tinggi ABRI, khususnya dari AD.
Dari fakta-fakta di atas dapatlah dipastikan adanya komplotan Jendral-Jendral ABRI yang telah melakukan usaha-usaha untuk menumbangkan pemerintah Presiden Soekarno. Soekarno mendadak “ambruk”. Meski brusaha memenangkan diri dengan menghimpun kekuatan dan mengumpulkan pendukung, jiwanya tak bisa stabil. Wajar saja dimana-mana orang menghujatnya. Ia dituduh sebagai dalang di balik tragadi 30 September 1965. Bahkan, Soekarno dituduh sebagai agen komunis RRT ( Republik Rakyat Tiongkok). Saat suasana sedang mendidih, pada malam 11 maret 1966 pukul 19.30 WIB, saas Soekarno sedang makan malam datanglah utusan Soeharto yakni: Andi M. Jusuf, Basuki Rachmat, Amir Machmoed ke Bogor. Mereka meminta agar Bung Karno segera menandatangani sebuah surat yang menyangkut keamanan negara, berikut Soekarno dan keluarganya.[24] Soekarno merasa bingung dengan keberadaan surat tersebut, terlebih dengan adanya ancaman jika surat tersebut tidak ditandatangani maka semua rakyat indonesia akan habis. Oleh karena dengan suasana yang tertekan dengan terpaksa Soekarno akhirnya menandatanganinya. Menurut penuturan Amir Machmud dari perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika ia membaca kembali surat itu alam perjalanan ke Jakarta. Salah seorang perwira tinggi yang membacanya kemudian berkomentar “lho ini kan perpindahan kekuasaan”. Belakangan diketahui, dengan pertimbangan situasi negara yang semakin gawat, dengan keselamatan jiwa dan keluarga itulah Soekarno memilih menandatangani surat tersebut. Surat itulah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) yang menuai banyak perdebatan.




b.      Kran Imperalisme Modern
Presiden Soekarno menjadi tokoh revolusi nasional setelah demokrasi terpimpin diterapkan di Indonesia (1959-1965). Soekarno dalam demokrasi terpimpin berhasil menciptakan budaya nasional yang progresif bahkan revolusioner. Tujuannya jelas yakni melawan dan membentengi Indonesia kembali berlaku Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) . Secara khusus menolak Indonesia terpengaruh oleh kekuasaan Kapitalistik Barat. Namun dalam usaha Soekarno tersebut banyak mendapatkan tantangan dan ancaman dari “musuh” Indonesia yakni negara-negara barat yang kapitalistik untuk menguasasi Indonesia dengan Amerika Serikat sebagai negara induk. Inilah yang sering didengung-dengungkan oleh Soekarno bahwa Revolusi Indonesia belum selesai.
Dengan kondisi demikian, maka Amerika Serikat dengan CIA, mencoba untuk mengatur strategi dalam meruntuhkan kekuasaan Soekarno. Amerika Serikat mampu memanfaatkan kondisi hubungan TNI-AD dan PKI yang semakin meruncing. Dengan memanfaatkan TNI-AD, Amerika Serikat mencoba membuat skenario yang indah dalam usaha penghancuran PKI sekaligus menurunkan Soekarno. Dengan Peristiwa G30/S, TNI-AD berhasil menyingkirkan PKI dengan percobaan kudeta. Akibatnya, PKI dijadikan sebagai kambing hitam. Hampir 4 juta orang terbunuh dalam peristiwa pembumihangusan PKI. Kelompok-kelompok yang dari dulu pernah bermasalah dengan PKI dimanfaatkan oleh TNI-AD untuk menyingkirkan PKI[25].
Peristiwa itu berakar pada radikalisasi yang semakin mendalam dari organisasi-organisasi revolusi sosial-PKI, sayap kiri PNI dan organisasi-organisasi massa yang berafiliasi  berkembang dengan cepat setelah 1962. Perjuangan untuk kekuasaan –bahkan persiapan untuk revolusi sosial itu sendiri- semakin disituasikan dalam kerangka teoritik perjuangan antara “dua aspek negara” yakni aspek yang anti dan yang pro rakyat. Kampanye untuk meretul yakni menyingkirkan pejabat-pejabat konservatif dan kapitalis birokrat (kabir) dari apparatus negara, serta juga dari organisasi massa, berkembang menjadi perjuangan yang penting. Terjadi kampanye mobilisasi menuntut digantinya gubernur dan bupati yang konservatif. Mahasiswa berdemonstrasi menuntut digantinya dosen-dosen yang konservatif. Beberapa organisasi massa, seperti persatuan wartawan Indonesia (PWI), menggantikan pemimpinnya yang konservatif. Tak mengherankan bahwa kampanye retuling[26] tercermin dengan sendirinya juga dalam militer[27].
Pada 30 september 1965, perwira pro Soekrano mulai melancarkan retuling sepihak terhadap komando tinggi ABRI. Masih belum jelas, bila memang ada, seluruh persekongkolan colonel Untung dan teman-temannya saat mereka memerintahkan penahanan tujuh jenderal penting dalam komando militer serta menyingkirkannya agar bisa diganti oleh mereka dan perwira-perwira lainnya yang pro Soekarno. Tidaklah jelas apakah mereka berencana melakukan retuling yang lebih luas terhadap apparatus negara di luar kepemimpinan tentara. Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa apa yang dilakukannya merupakan provokasi untuk membuka suatu kesempatan perwira-perwira pro barat, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, merebut inisiatif dan melakukan retuling mereka sendiri, bukan sekedar di kalangan apparatus negara, tentara, dan sipil tapi juga masyarakat secara keseluruhan[28].
Pembunuhan massal yang dilakukan oleh angkatan Darat dan milisi islam sayap kanan sekarang sudah didokumentasikan dalam beberapa buku. Kebanyakan pengamat memperkirakan bahwa 500.000-2.000.000 orang dibantai. Kebanyakan dari orang-orang tersebut adalah pemimpin-pemimpin, para aktivis dan pendukung salah satu komponen atau yang lainnya dari sayap kiri Indonesia yang menginginkan aliansi PKI-Soekarno menjadi pemimpin. Banyak yang dibunuh,  mati secara mengerikan, sebagai bagian dari kampanye teror. Mereka dipenggal kepalanya, dikeluarkan isi perutanya, diseret di belakang truk atau, kalau tidak dengan kejam dibunuh. Sebagai tambahan terhadap pembunuhan tersebut, ratusan ribu lebih dipenjara antara beberapa bulan sampai setahun, sering di rumah-rumah penyekapan yang tak diketahui, tak terdaftar. Paling tidak 12.000 orang kemudian dipenjara selama 10-12 tahun. Puluhan ribu dipecat dari pekerjaannya, terutama sebagai guru, pegawai negeri sipil, dan buruh kereta api. Itu merupakan gambaran dari sadisnya pembantaian yang dikarenakan oleh Angkatan Darat dan Orams-ormas yang membantunya[29].
Soekarno tak bisa menahan para algojo-algojo membantai bangsa yang telah diperjuangkannya sejak muda tersebut. Hatinya kacau sedih dan gundah. Cita-cita Soekarno dalam sebuah revolusi nasional berbentuk Trisakti berehenti di tengah jalan. Benar apa yang ia katakan berulang-ulang bahwa revolusi Indonesia belum selesai. Meskipun kita telah merdeka, namun tatanan negara yang kuat dan kokoh belum terwujudkan. Itu berhenti ditengah jalan ketika Soekarno tumbang oleh percobaan kudeta yang memakan anak-anaknya sendiri. Revolusi dengan garis ideologi trisakti, Nasakom, Marhaenisme dan berdikari luluh lantak digantikan dengan revolusi kapitalisme yang sebenarnya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia[30].
Soekarno pernah mengutarakan bahwa revolusi Indonesia belumlah selesai, maka ia bentuk suatu demokrasi terpimpin untuk mewujudkan revolusi tersebut. Namun nasib berkata lain, ditengah revolusi yang meningkat, Soekarno dibidik dan jatuh dari puncak kepemimpinan. Pidato Soekarno sebagai berikut:
“Saudara-saudara saya sudah tua, sudah 61 tahun. Dan saya tidak mengetahui Allah SWT akan memberi umur berapa lama lagi kepada saya. Cuma saya ketahui bahwa tiap-tiap manusia, bahkan tiap-tiap mahluk hidup di dunia ini akhirnya akan dipanggil kembali oleh Allah SWT. Entah setahun lagi, entah satu hari lagi, entah 10 tahun lagi, entah 20 tahun lagi, itu saya tidak tahu.

Tetapi saya mengetahui bahwa Revolusi Indonesia belum selesai dan bahwa selesainya Revolusi Indonesia itu masih akan makan bertahun-tahun lagi. Ini perlu dicamkan, dicamkan oleh Saudara-saudara sekalian, bahwa Revolusi Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua hari, bahwa Revolusi Indonesia itu memang belum selesai, bahwa Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh karena Revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peyeum, dulur-dulur, tetapi revolusi amat besar. Dan sudah sering saya katakan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi Pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi membentuk manusia Indonesia baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun. Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh tahun.

Revolusi nasional kita memang belum selesai. Semoga tidak seorangpun dari bangsa Indonesia melupakan hal ini! Merdeka!”[31]
Pada 17 Agustus 1957, sebelum memulai pidatonya yang berjudul “Suatu Tahun Ketentuan”, Bung Karno membacakan sebuah ikrar. Ikrar itu memuat lima point, yang kesemuanya bertekad melanjutkan cita-cita “Revolusi Agustus”. 17 Agustus memang sebuah revolusi, seperti dikatakan Soekarno, karena merupakan sebuah proses menjebol dan membangun. Yang dijebol adalah kolonialisme, sedangkan yang dibangun adalah Indonesia Merdeka[32].
Karena ia sebuah revolusi, maka Revolusi Agustus tidak berhenti di hari itu juga. Justru, 17 Agustus itu adalah pengumuman akan dimulainya revolusi. Soekarno sendiri mengatakan, saat itu barulah empat yang sudah selesai: (1) Naskah proklamasi itu sendiri, (2) Bendera kebangsaan Sang Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, (3) Falsafah negara, yaitu: Pancasila, (4) Undang-Undang Dasar yang bersendikan falsafah negara itu. Di luar yang empat itu, barulah bangsa Indonesia akan memperjuangkannya melalui sebuah revolusi. Oleh karena itu, tidak salah kemudian jikalau Soekarno mengikrarkan bahwa “Revolusi Belum Selesai”. Pada kenyatatannya, apa yang dicita-citakan Revolusi Agustus belum tercapai.
Sudah 46 tahun—sejak 1965 ketika Bung Karno dan pendukungnya dikalahkan—Revolusi Agustus terinterupsi. Pada saat bersamaan, praktek kolonialisme kembali bercokol dan mengambil posisi dominan dalam segala aspek kehidupan bangsa. Inilah nasib Revolusi Indonesia setelah Soekarno tumbang dari pucuk kepemimpinan.
Di lapangan ekonomi, posisi ekonomi Indonesia sudah kembali seperti jaman kolonial: Indonesia sebagai penyedia bahan baku, penyedia tenaga kerja murah, pasar bagi produk negeri-negeri maju, dan tempat penanaman modal asing. Itu mulai berlaku sejak jaman Orde Baru.
Situasi sekarang makin nyata: kita makin terjajah! Jika dilihat dari berbagai jenis komoditi ekspor kita, maka hampir semuanya adalah bahan mentah, seperti batubara (70%), minyak (50%), gas (60%), bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet. Hampir 70% modal yang menggali untung di Indonesia adalah modal asing. Akibatnya, modal asing pun mendominasi sejumlah sektor strategis: Minyak dan gas (80-90%), perbankan (50.6%), telekomunikasi (70%), kebun sawit (50%), pelayaran barang (94%), pendidikan (49%), dan lain-lain. Indonesia masih menjadi tempat pemasaran barang-barang hasil produksi negara maju: sebanyak 92% produk teknologi yang dipakai rakyat Indonesia adalah buatan asing, 80% pasar farmasi dikuasai asing dan 80% pasar tekstil dikuasai produk asing.
Selain itu, hampir semua bahan kebutuhan hidup rakyat dipenuhi melalui impor: Indonesia sekarang sudah masuk negara pengimpor beras terbesar; mengimpor 40 persen gula dari kebutuhan nasional; impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; mengimpor satu juta ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70 persen kebutuhan susu. Selain itu, Indonesia menjadi penyedia tenaga kerja murah, baik untuk keperluan pasar tenaga kerja di dalam negeri maupun pasar tenaga kerja internasional. Gaji buruh di Indonesia disebut-sebut salah satu yang paling rendah di Asia. Sebagai contoh: upah buruh Indonesia lebih rendah tiga hingga empat kali lipat dibandingkan Malaysia. Ini diperparah lagi dengan pemberlakuan sistim kerja kontrak dan outsourcing[33].
Bukan hanya nasib ekonomi dan pemerintahan saja yang kapitalistik dan cenderung “de-soekarnoisme”, namun dalam segi budaya dan pemlintiran sejarah itu juga masif dilakukan oleh penguasa Orde Baru. Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku “Pejuang dan Prajurit”, wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar pengibaran bendera merah putih saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Ini sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus dari buku-buku sejarah. Inilah sebagian kecil dari praktek “de-sukarnoisme” di jaman Soeharto.
Kita patut mengutuk usaha-usaha tersebut. Karena, bagaimanapun, kita tidak bisa berbicara Indonesia tanpa berbicara Bung Karno. Dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme dan mencapai Indonesia merdeka, Soekarno adalah orang yang telah mengabdikan seluruh kehidupannya untuk perjuangan tersebut. Dan tentu saja sangat aneh, jika orang yang namanya selalu dikenang sebagai proklamator dalam setiap peringatan 17 Agustus 1945, tetapi tidak mendapat tempat khusus dalam sejarah bangsa Indonesia.
Hanya saja, terlepas siapapun dan golongan politik manapun yang terlibat dalam peringatan bulan Juni sebagai bulan Bung Karno, kita berharap bahwa peringatan itu tidak hanya sekedar sebagai seremoni belaka dan berakhir tanpa ingatan sedikit pun kepada nilai-nilai kepahlawanan dan gagasan dari tokoh yang bersangkutan. Perayaan seremonial sah-sah saja. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting, yaitu bagaimana mengambil semangat Bung Karno sebagai api pembakar semangat untuk perjuangan rakyat Indonesia sekarang ini; adalah lebih penting untuk melanjutkan cita-cita perjuangan Bung Karno yang belum selesai. Itulah yang dimaksud Bung Karno dengan : “Revolusi belum selesai.”
Gerakan Kebangkitan Nasional telah melahirkan para pejuangnya yang terkemuka, salah satunya Bung Karno. Adalah penting, dan tentu saja ini menjadi kewajiban, dalam upaya membangkitkan kembali semangat itu, maka perlu dibangkitkan pula ingatan sejarah rakyat atau bangsa Indonesia mengenai sejarah perjuangan di masa lalu. Dan, dalam bagian itu, adalah penting pula untuk mengingat kembali para tokoh-tokohnya: Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, Sjahrir, dan lain-lain.
Dalam kancah perjuangan itu, Bung Karno telah melahirkan begitu banyak gagasan-gagasan politik dan strategi perjuangan. Sebut saja; Pancasila, Marhaenisme, Persatuan Nasional, Sosialisme Indonesia, dan lain-lain. Kita perlu menggali kembali gagasan-gagasan politik atau fikiran-fikiran Bung Karno tersebut, bukan untuk tujuan gagah-gagahan atau fanatisme buta, melainkan untuk mengambil hal-hal yang relevan dalam teori-teori tersebut untuk dipergunakan dalam melawan penjajahan asing atau imperialisme saat ini.
Sekarang ini, saat rakyat kita digempur habis-habisan oleh sebuah sistem penjajahan baru bernama neoliberalisme, upaya pencarian tokoh bangsa menjadi penting. Ini akan terdengar “miring” di telinga intelektual didikan barat, namun menjadi aspek sangat penting bagi ratusan juta rakyat yang sedang terjajah dan diabaikan pemimpinnya sendiri. Saat ini, dari sosok pemimpin nasional yang ada sekarang, kita hampir tidak menemukan satupun sosok yang pantas dijadikan panutan, apalagi menjadi inspirasi dalam perjuangan nasional untuk melawan penjajahan asing. Kekosongan figur bangsa ini, apalagi bagi bangsa yang sedang berjuang melawan penjajahan asing, akan menyulitkan penyatuan seluruh kekuatan nasional. Oleh karena itu, sangat pantas dan relevan pula untuk menjadi Bung Karno sebagai icon perjuangan nasional melawan hegemoni asing yang saat ini sudah menggurita menguasai berbagai bidang, misalnya ekonomi, industry, perdagangan, pendidikan, teknologi, kebudayaan dan sebagainya.

Oleh karena itu, pantaslah kiranya jika kita menaruh harapan, bahwa kemunculan kembali Bung Karno ini tidak sekedar di baliho, spanduk, dan poster-poster. Apa yang lebih penting, bahwa Soekarno kembali bersama gagasan-gagasan perjuangan, yang menurut kita masih sangat relevan untuk perjuangan rakyat Indonesia saat ini. Benar kata Soekarno bahwa “Revolusi Belum Selesai!”





















Daftar Pustaka:
Adam, Asvi Warman. 2006. Revolusi Belum Selesai: Kumpulam Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965, Pelengkap Nawaksara. Yogyakata: Ombak.
A.G. Pringgodigdo. 1977. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Algandri, Hamid, (1991). Suka Duka Masa Revolusi : Jakarta:UIP
Al-Rahab, Amirrudin. 2014. Ekonomi Berdikari Soekarno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Dekter, N. (1997). Sejarah Pergerakan dan Revolusi Nasional. Malang : IKIP Malang
Insan Fahmi Siregar. 2014. Partai Masyumi Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia. Semarang: Widya Karya. 
Kasenda, Peter. 2014. Soekarno Marxisme & Leninisme. Depok : Komunitas Bambu.
Kasenda, Peter, 2014. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933. Depok :Komunitas Bambu
MD, Sagimun.1989. Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda Sampai Proklamasi. Bina Aksara: Jakarta.
Moedjianto. G. (1988). Indonesia Abad ke-20 Jilid I: Dari Kbangkitan Nasional Sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.
Lane, Max . 2012.   Malapetaka di Indonesia Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri. Djaman Baroe.
Nuryanti, Reni. 2012. Tragedi Sukarno: Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Yogyakarta: Ombak
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Pinanjaya, Okta & Waskito Giri Sasongko. 2012. Muslihat Kapitalis Global.
Ricklefe, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern.  Yogyakarata : Gadjah Mada University Press.
Ricklefs, M. C. (2008).  Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Sjamsuddin, Narzarudin. 1988. Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek. Jakarta: Rajawali Press.
Sudharmono. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta : Seketariat Negara Republik Indonesia.
Sularto, St. 2001. Dialog Dengan sejarah: Soekarno Seratus tahun. Jakarta: Kompas
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S. Yogyakarta: Galang Press.
Wibowo Sigit Yulianto. Marhaenisme ‘idiologi perjuangan Soekarno’. Yogyakarta : buana pustaka
Xiang Jun, Wang. 2008. Misteri Terbunuhnya Soekarno. Yogyakarta : Pustaka Radja









Kumpulan Sinopsis Buku Tentang Soekarno
Digunakan untuk penulisan: “Soekarno dan Revolusi yang belum selesai”
Nama          :Heri Muladi
NIM            : 3101412147
Rombel       : 6B
A.    Identitas Buku
Judul Buku                              : Misteri Terbunuhnya Soekarno
Nama Pengarang                     : Wang Xiang Jun
Tahun Terbit                            : 2008
Jumlah Halaman                      : 126 Halaman
Penerbit                                   : Pustaka Radja Yogyakarta

B.     Sinopsis
Soekarno adalah herakles di tengah-tengah gemruh tepuk tangan masa. Dengan pidato-pidatonya ia dapat meruntuhkan gunung dan menimbun lembah. Tetapi terpisah dari gemuruh orang banyak ia seoranh hamlet yang disobek-sobek kebimbangan. Soekarno presiden pertama republik indonesia, 1945-1966, menganut ideologi pembangunan “berdikari”. Soekarno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.”
Kejatuhan Soekarno meskipun tidak sampai menjerumuskan bangsa dan rakyatnya, mungkin semata karena terdorong oleh suatu ambisi besar, maka kesalahan itu dibuatnya. Ambsisi besarnya itu adalah ambisi untuk menjadi pemimpin dunia. Sesungguhnya ketika menandatangani Supersemar, presiden Soekarno tidak menyadari bahwa ia telah memberi peluang yang besar kepada Soeharto untuk menyalahgunakan Surat Perintah tersebut dan merampas kekuasaan dari tangannya, tanpa disadarinya atau karena terpaksa ia telah memberikan senjata ampuh yang akhirnya digunakan untuk menjatuhkan dirinya.
Menurut asvi warman adam, soeharto tidak membawa soekarno ke pengadilan dengan strategi ganda: pertama, soeharto menjalankan siasat “ngluruk tanpa bala”, berperang tanpa tentara. Ia berhasil menyingkirkan lawan politiknya tanpa banyak membuang banyak tenaga. Rakyat dibiarkan menghujat dan menuntut Soekarno ke penagdilan. Sebab itu pemeriksaan kopkamtib terus dilaksanakan untuk (seolah-olah) mengkamodasi tuntutan masyarakat tadi. Pemeriksaan itu lebih bersifat teror mental yang melelahkan Soekarno yang sudah sakit-sakitan. Setelah Soekarno sakit makin parah, barulah soeharto menghentikan introgasi. Kalau diadili belum tentu terbukti kesalahan Soekarno, tetapi dengan pengadilan, rakyat sudah termakan opini bahwa presiden ri itu terlibat dalam percobaan kudeta G30S. Kedua, soeharto dapat nama baik ia mengamalkan dan mensosialisasikan “mikul duwur mendhem jero”. Maksudnya orangtua harus dihormati, tentunya dia berharap agar hal serupa diperlakukan masyarakat terhadap dia nanti.
Soeharto membuktikan dirinya sebagai orang jawa yang mempunyai kesabaran yang luar biasa dalam menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan dari presiden Soekarno. Sebelum ia yakin bahawa seluruh kekuatan pendukung presiden ia likuidasi, ia akan menjalankan rencananya setahap demi setahap. Startegi lain yang sukses dibesar-besarkan soeharto ialah memberitakan Soekarno sakit keras diawal agustus 1965. Soeharto sukses membangun opini seakan-akan PKI yang selama ini berhubungan mesra dengan Soekarno khawatir pimpinan nasional akan jatuh ke tangan TNI/AD, Aidit dikabarkan mendatangkan doktor dari RRC. Padahal, aku, yang ketika itu wakil perdana menteri 1 dan menteri luar negeri, tahu persis bahwa itu hanya rekayasa soeharto. Perdana menteri II dan dokternya itu tahu persis bahwa Soekarno hanya masuk angin biasa. Soeharto tampaknya ingin memancing provokasi agar PKI duluan memukul TNI/AD. Penyakit Soekarno saat itu adalah masuk angin. Ini jelas dan dokter cina itu juga mengatakan kepada Soekarno. DN Aidit juga mengetahui penyakit Soekarno ini.
Karena menderita tekanan yang luar biasa selama masa panahannya dan karena penyakit yang dideritanya kurang mendapat perawatan yang memandai,akhirnya pada tanggal 21 juni 1970,bung karno meninggal dunia di RSPAD Dengan di dampingi putera puteri dan para istrinya meskipun memiliki kekuasaan yang besar terutama pada 1960-an,soekarno tidak pernah memikirkan kekayaan. Ia mengutamakan hidup sederhana. Bahkan diantara beberapa kemeja, kaus dalam, dan piyamanya adalah pemberian teman-temannya.dalam autobiografinya yang disusun cindy adams, pengarang dari amerika serikat, ia mengatakan mungkin dirinya merupakan satu-satunya presiden di dunia yang tidak pernah memiliki rumah pribadi sampai akhir hayat. Sampai akhir hayatnya hak-hak politik bung karno dipasung. Dan beliau diasingkan sampai akhir hayatnya. Posisi beliau dalam peristiwa G30S/PKI didramatisir, namun yang didramatisir adalah kekalahan soekarno. Pepatah “mikul dhuwur mendem jero”diberlakukan kepada bung karno. Inilah bentuk dramatisir “kekalahan” bung karno. Seolah-olah soeharto dengan lapang dada dan berjiwa besar memaafkan kasusnya. Padahal semua itu sangat menyakitkan soekarno. Memang tiada kehidupan di dunia ini yang abadi. Setiap ada awal pasti ada akhirnya. Tiap-tiap yang bernyawa itu pasti akan merasakan mati. Manusia hidup tiada kekal. Bila maut telah datang menjemput, maka berakhirlah hidupnya di alam dunia yang fana ini. Masa hidup soekarno tiada terkecuali dari ketentuan hukum ilahi ini. Sesudah mengalami kejatuhannya dari singgasana kepresidenannya, dimana di masa kekuasaannya, setiap hidung pasti memujanya dan kebanyakan orang ingin menjilatnya. Dan sesudah ia jatuh, rupanya keadadn berbalik, setiap batang hidung ingin ikut mengutuk serta memakinya. Berbeda dengan eksponen yang mengkritik bung karno sekedar untuk koreksi, atas tindakan soekarno yang dipandangnya bertentangan dengan ketentuan hukum maupun UUD 1945. Muncul pula golongan yang musiman. Dalam sejarah segala bangsa dan zaman, senantiasa ada saja golongan-golongan atau tipe manusia yang demikian itu. Manakala pada masa akhir hayat soekarno mengalami nasib yang demikian, itu adalah  resiko setiap kehidupan seorang pemimpin dimana pun jua didunia. Apabila sedang jaya dipuja, manakala telah jatuh dihina. Akan tetapi masa yang demikian itu biasanya tiada lama. Pada suatu saatmasa caci makian itu akan distop.mulai berkurang dan kemudian berhenti. Sang waktu jualah yang akan mendewasakan pikiran, parasaan dan perbuatan kita.beberapa informasi mengenai soekarno ada masa orde baru dibuat membingungkan. Belum ada upaya untuk menjelaskan dugaan bahwa soekarno terlibat dalam kudeta, dan dokumen-dokemen masih tertutup dan terkunci. Selama peran soekarno dalam sejarah indonesia tidak diteliti secara lengkap, selama itu pula kehormatan yang diberikan kepadanya hanya merupakan propaganda untuk kepentingan tertentu. Hanya jika soekarno diketahui dengan semua kelebihan dan kekurangan, dengan kebijaksanaan yang baik dan buruk, maka ia dapat menjadi contoh yang penting untuk mas depan, karena kita dapat belajar dari keberhasilannya dan kesalahannya.














Nama               :Dyah Setiyorini
NIM                : 3101412054
Rombel            : 6B
A.    Identitas Buku
Penulis                         : Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (ed.)
Judul                           : Soekarno, Pemikiran Politik Kenyataan Praktek
Kota Penerbit              : Jakarta
Penerbit                       : Rajawali Press
Tahun Terbit                : 1988
Jumlah Halaman          : 248 hlm
Tebal Buku                  : xviiii x 21 cm
B.     Sinopsis
Dalam buku yang berjudul “Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek”, buku ini ditulis oleh beberapa penulis yang terdiri dari 5 penulis. Buku ini terdiri dari 6 sub tema, yaitu bab I: Soekarno, sebuah tragedy, bab II: Soekarno dan nasionalis, bab III: Soekarno dan Internasional, bab IV: Soekarno dan demokrasi, bab V: Soekarno dan marhaenisme dan bab VI: Soekarno dan masalah ekonomi
Dalam bab 1 ini dijelaskan mengenai jasa yang telah disumbangkan oleh Soekarno bagi negeri ini, terutama bakti dan pengabdiannya pada masa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan. Dijelaskan pula mengenai usaha bangsa ini untuk merdeka dan mempersatukan diri. Dalam proses persatuan Soekarno berusaha menempatkan dirinya ditengah-tengah rakyat, sebagai pemimpin bangsa. Dalam mempersatukan bangsa Soekarno dengan arif dan bijaksana tetap bersama rakyat dalam menata pasang surut dan pasang naik revolusi, ikhlas mengorbankan hak konstitusional presiden sebagai kepala pemerintahan. Soekarno menganggap bahwa cara tersebut merupakan cara terbaik dan yang dikenhendaki rakyat pada saat itu.
Dalam bab II dijelaskan mengenai konsep nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno, dimana konsep  nasionalisme di Indonesia ini berbeda dengan konsep nasionalisme barat. Nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno mencerminkan rasa antinya terhadap kolonialisme dan imperialisme. Terlihat pada partai yang didirikannya yaitu PNI yang sejak awalnya bersifat radikal yaitu dengan jelas-jelas menuntut kemerdekaan sepenuhnya dalam waktu sesingkat-singkatnya dan menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial, dan tidak mempercayai sedikitpun janji-janji bahwa Belanda akan memberikan perbaikan bagi anak negeri.
Dalam bab III dijelaskan mengenai pemikiran dan tingkah laku politik Soekarno di dunia Internasionalisme. Pemikiran Soekarno terwujud dalam sikap dan kebijakan luar negeri Indonesia. Dijelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno menjadi menarik ketika presiden pertama Indonesia mulai tampil dan mengambil peranan penentu ke dalam tangannya. Kebijaksanaan luar negeri Indonesia berusaha untuk menonjolkan peranan Indonesia keluar negeri, dengan menggunakan cara-cara yang radikal. Kemahiran Soekarno dalam menyusun strategi juga tampak dari upayanya untuk mewujudkan gagasan-gagasannya. Soekarno berusaha mendekati negara-negara baru dalam upaya menggalang kekuatan negara-negara dibawah kepemimpinannya.
Dalam bab IV dijelaskan mengenai keadaan sistem politik di awal tahun 1957, yang pada saat itu politik Indonesia berada dalam keadaan krisis. Dimana krisis tersebut melanda kabinet yang kemudian disusul pergolakan-pergolakan di daerah. Dijelaskan pula kepemimpinannya pada masa Demokrasi Terpimpin yang menjadikan dirinya mendominasi pemerintahan.
Dalam bab V dijelaskan mengenai aliran Soekarno yaitu: Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme. Dimana ketiga aliran tersebut dijadikan sebagai pemikiran bangsa Indonesia untuk dapat menjadi satu kekuatan besar untuk menentang kolonialisme. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai konsep Marhaenisme yang dikembangkan oleh Soekarno terhadap konsep proletarnya. Konsep Marhaenisme adalah untuk mengangkat derajat manusia Indonesia.
Dalam bab VI dijelaskan mengenai situasi ekonomi pada saat Demokrasi Terpimpin, dimana pada saat itu ekonomi Indonesia sedang dilanda inflasi sampai dengan 650 %.

















Nama               : Muhammad Khoirul Amri
Nim                 : 3101412099
Rombel            : 6B

A.    Identitas Buku
Judul buku      : TRAGEDI SUKARNO: DARI KUDETA SAMPAI KEMATIANNYA
Penulis             : Reni Nuryanti
Penerbit           : Ombak, Yogyakarta
Cetakan           : I, 2008
Tebal               : xv + 204 halaman
B.     Sinopsis
Tragedi Sukarno bukanlah tragedi yang menimpa dirinya sendiri dan keluarganya. Tetapi juga tragedi bangsa Indonesia dan bahkan tragedi dunia ketiga. Peralihan kekuasaan tahun 1965 sampai lima tahun kemudian, telah melahirkan peristiwa mengenaskan dalam sejarah bangsa ini yakni terbunuhnya setengah juta orang dalam suasana hiruk-pikuk politik awal Orde Baru. Tampaknya dirasa tidak cukup korban sebanyak itu, maka 10 ribu orang dikirim ke kamp kerja paksa di Pulau Buru tahun 1969. dari segi percaturan politik dunia, kubu non blok yang semula diharapkan sebagai penyeimbang antara blok Barat dan blok Timur kehilangan tokohnya yang terkemuka tahun 1970 yang bahkan beberapa tahun sebelumnya sudah tersingkir dari panggung politik. Adalah suatu tragedi bila seseorang yang menduduki jabatan presiden, yang merupakan jabatan tertinggi di suatu negara sama sekali tidak berdaya mencegah pembunuhan sesama anak bangsa dalam skala luar biasa. Ia berpidato. Masih mendingan kalau orang tertidur ketika seorang pejabat negara berbicara, tetapi sangat ironis bila pidato Presiden tidak bisa dikutip atau disiarkan media massa. Sukarno berseru, bahwa terjadi pembunuhan massal di Jawa Timur. Ia ingin pembantaian tersebut dihentikan segera. Tetapi itu tidak digubris oleh pihak keamanan yang tidak lagi di bawah kendalinya. Pers juga tidak memberitakan sepenuhnya gelombang pembunuhan tersebut. Merupakan suatu tragedi bila perlakuan terhadap mantan Presiden lebih buruk daripada pihak kolonial. Ketika Sukarno dibuang ke Ende Flores dan Bengkulu, ia tidak dilarang berhubungan dengan masyarakat setempat. Namun setelah ia tidak lagi jadi presiden, panglima daerah militer Siliwangi, HR Dharsono mengeluarkan perintah melarang rakyat Jawa Barat mengunjungi atau dikunjungi Sukarno. Bahkan ketika Sukarno memeriksakan gigi kepada dokter Oei, ia harus berkunjung ke rumah itu bagaikan memasuki cottage yang disewakan jam-jaman untuk masuk. Mobil tuan rumah dikeluarkan. Mobil yang membawa Sukarno masuk ke garasi, pintu ditutup dan Sukarno keluar dari kendaraan menuju ke ruang periksa gigi. Hal itu semata-mata dilakukan agar Sukarno tidak bertemu dengan rakyat. Ironi ini sangat menusuk hati, bila dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada Jenderal Besar Soeharto ketika ia sakit. Ia diperlakukan sebagai raja, kediamannya di Cendana disulap menjadi semacam rumah sakit mini dengan peralatan canggih. Ketika diperiksa di Rumah Sakit Pertamina, ia diperiksa oleh belasan dokter ahli. Para cecunguk Orde Baru pun berdatangan membesuknya tanpa ada rasa takut apalagi malu. Sedangkan Sukarno terbaring kesepian, tanpa obat paten, tanpa ada pejabat yang menjenguknya. Ketika akan diperiksa oleh pengadilan, Soeharto menunjukkan surat keterangan sakit. Walaupun sakit, ia masih bisa bepergian ke makam istrinya atau menyaksikan pernikahan cucunya bahkan menemui tokoh regional seperti Lee Kuan Yew atau Mahathir Mohammad. Namun tidak ada alasan sakit bagi Sukarno untuk tidak diperiksa tim Kopkamtib. Dalam kondisi susah untuk tidur, duduk dan berdiri, ia masih ditanya apakah ia terlibat dalam Gerakan 30 September. Dalam kondisi amat parah pun, penanganan terhadap Sukarno hanya dilakukan seadanya. Bahkan, yang paling telak, wartawan sama sekali tidak diizinkan untuk melihat langsung keadaan Sukarno. Maka, tidak heran, rakyat hanya menduga-duga keadaan Sukarno. Bahkan mereka hanya mampu melongokan mulut, saat mendengar berita, Sukarno meninggal dunia.
Penghormatan terakhir sebagai Presiden juga tidak diterima Sukarno. Ketika Soeharto menemui ajalnya tidak kurang dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono menjadi inspektur upacara pada pemakamannya di Solo. Ratusan wartawan meliput acara tersebut. Namun tatkala mantan presiden pertama menghembuskan nafas terakhir, Soeharto hanya melepas sampai Wisma Yaso, Jakarta. Acara pemakaman di Blitar dipimpin oleh Jenderal Panggabean.
Pada bulan Juni 1970 terjadi dua peristiwa penting. 21 Juni Sukarno wafat, tiga minggu sebelumnya tanggal 1 Juni 1970 peringatan hari lahirnya Pancasila dilarang Kopkamtib. Sejarawan Perancis, Jacques Leclerc, menyatakan bahwa Sukarno telah dibunuh dua kali. Tetapi menurut Aswi Warman Adam, Sukarno telah dibunuh berkali-kali. Namun pemikirannya tidak pernah mati. Sebagai manusia ia tidak terlepas dari kekurangan, namun kecintaannya kepada bangsa ini sulit ditandingi. Saat bangsa ini diterpa disintegrasi maka kian terasa pentingnya Pancasila yang digagas Sukarno pada 1 Juni 1945. ketika hutang membengkak, modal dan kekuatan asing semakin menyeruak ke jantung ekonomi kita, orang semakin terkenang pada Trisakti Sukarno (Bebas dalam Politik, Berdikari dalam bidang Ekonomi dan Berkepribadian dalam Budaya). Ketika Soeharto wafat, ribuan iklan duka cita menhiasi media cetak dan elektronik selama berhari-hari. Tetapi tatkala Sukarno meninggal, sedikit media yang mengabarkan berita kematiaanya.










Nama               : EXSAN ALI SETYONUGROHO
NIM                : 3101412093
Rombel            : 6B
A.    Identitas Buku
Judul               : Bung Karno Menggugat, Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S
Penulis             : Dr. Baskara T. Wardaya SJ
Penerbit           : Galang Press
Tahun Terbit    : 2006
B.     Sinopsis Buku
Dengan melalui Bung Karno sebagai fokus sekaligus benang merah, buku ini berusaha "menggugat" kembali sejumlah narasi penguasa yang telah terlanjur beredar mengenai berbagai peristiwa dan gagasan penting dalam sejarah politik sejak jaman pergerakan hinggs kemerdekaan Indonesia. Hasilnya bukan hanya paparan yang berbeda dengan paparan yang biasa kita dengar, melainkan juga rangsangan untuk mengembangkan wawasan dan berpikir lebih kreatif.
Digugat kembali, misalnya, antara pemikiran-pemikiran Bung Karno muda dan Bung Karno tua; Bung Karno dalam kaitan dengan tragedi'65; corak kepemimpinan Presiden Sukarno dibandingkan dengan model kepemimpinan Presiden Soeharto; peran asing dalam dinamika politik Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno; serta konsekuensi dari semua itu atas pemahaman sejarah Indonesia, berikut implikasinya terhadap apa yang sedang berlangsung sekarang ini. Semuanya disampaikan dalam gaya bertutur yang akademik dan ilmiah, namun sekaligus intim dan memikat. Buku ini merupakan buku yang cukup lengkap dengan menjelaskan karakteristik Soekarno muda maupun tua.



Nama                        : Budiono
NIM              : 3101412098
Rombel         : 6B
A.    Identitas Buku
Judul Buku : Malapetaka Di Indonesia Sebuah Esai Renungan Tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri
Penerjemah      : Candera Utama dan dipriksa kembali Max Lane
Penerbit           : Djamann Baroe
Tahun Terbit    : 2012
B.     Sinopsis Buku:
Paruh kedua tahun  1950 hingga 1965 merupakan periode sejarah Indonesia yang paling gelap.  Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab seputar Soekarno, PKI, dan partai-parti lainya, tentara dan  kehidupan politik Indonesia baik di tingkat elit  dan rakyat.
Buku  dengan judul : “Malapetaka Di Indonesia Sebuah Esai Renungan Tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri”.  Ini merupakan buku yang memberikan uraiaan tentang  soekarno terutamanya sejarah gerakan kiri, yang mangantarkan Soekarno turun. Buku ini membhas aspek kemanusiaan dan aspek politik.  Mmenganalisis secara kritis terhadap praksi Politik Soekarno Maupun PKI selama periode 1960-65. Gerakan sayap kiri mengalami penindasan. Bukan hanya gerakan yang mengalami benturan, namun Indonesia dipaksa dihapus masa lalu reevolusinnya.  Seorang Presiden soekarno yang di kagumi Rakyat dan kaum kiri berkembang pesat dapat dilibas total.
Pada saat kemerdekaan, Indonesia merupakan sebuah masyarakat kapitalis. System ekonomi didasarkan atas kepemilikan pribadi dari property produktif, termasuk tanah. Negara tentara dan pelayan sipil, semua berada di bawah kendali  kelas pemilik property. Para pekerja, buruh-buruh, dan kaum papa yang tersebar di seluruh negeri belum cukup terorganisasi dan belum cukup untuk menentang meraka. PKI baru berkembang baru setelah 1952, sementara Soekarno baru mulai  mengangkat kembali Profil kiri-kirinya setelah 1957.
Masyarakat Indonesia hanya termodernisasi secara seklumit, pihak Belanda tidak membangun apa pun selain ekonomi colonial. Sebagai akibatnya, banyak nilai budaya pra borjuis dan tradisional masih sanggup bertahan meskipun struktur kekuasaan despostisme lama berhasil dihancurkan. Nagara yang berkuasa ialah Negara colonial luar negeri. Borjuis domestik yang kurang berkembang, bersekala kecil berwawasan sempit, dan sangat terlokalisasi, bahkan belum menjadi borjuis nasional yang melayani pasar nasional dan belum mempunyai  perspektif nasioanal- mewarisi Negara dari tangan belanda pada 1949. Semua partai politik kecuali PKI, berada dibawah dominasi elemen-elemen yang berasal dari kelas borjuis. Disisi lain ideology boruis sangatlah lemah. Karena kekuatan politik borjuis sering mengandalkan kekrasan dan inilah yang memugkinkan tentara sejak begitu awal dalam sejarah republik bisa melakukan pembunuhan massal terhadap kaum kiri.
Perjuangan melawan kolonialisme yang sebagian besar dipimpin oleh para intelektual radikal dan berbasisi pada mobilisasi massa telah menciptakan  sebuah hegemoni baru yang mmasih berkembang yaitu tentang perjuangan, tentang keharusan berbuat secara aktif dan kendali social.
Bersamaan dengan tergulingnya  Soekarno dari tumuk kekuasaan dan dengan dihancurkanya semua kekutan kiri di Indonesia Partai komunis Indonesia PKI,  Partai Indonesia (partindo) Partai Nasional Indonesia (PNI, yang sudah membuang sayap kananya sejak tahun 1965), angkatan komusnis Muda (Akuma) dan lain-lain beserta ormas—ormasnya, peta politik dunia berubah, dan realitas politik Indonesia Berbalik arus. Dari sudut pandang politik mungkin peristiwa 1965 merupakan khusus pertama kalinya dalam sejarah modern, yakni sebuah kekuatan politik massa bias dikalahkanbegitu total.
Kekuatan aliansi Soekarnoisme radikal tahun 1957-65 merupakan kekuatan  yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak yang miskin dan bahwa aliansi anti nasakom (mayoritas angkatan bersenjata, partai sosialis  Indonesia (PSI), Mayumi, PNI kanan, NU-anti Nasakom, dan Lian-lain) adalah kekuatan yang terutama meperjuangkan kepentingan pemilik tanah dan modal. Aliansi Soekarno merah  mengutamakan semaksimal mungkin kemerdekaan gerak dari ppengaruh imperalisme  dan juga mengedepankkan kerja sama dengan kekuatan-kekuatan asing yang juga anti Imperalisme. Dengan membuat kekuatan baru NEW EMERGING FORCES. Kekuatan anti nasakom  memperjuangkan aliansi dengan pihak modal Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain. Kekuatan Soekarno merupakan kekuatan yang maju sedangkan yang lainya reaksional.
Dalam buku ini tidak hanya menjelaskan bagaimana kemunduran kekuatan gerakan kiri, namun juga memberikan analisinya tentag bagaimana peran gerakan kiri dan tentunya Soekarnoisme melawan Imperlisme asing. Gagasan Soekarno tentang berdikari dan Nasakomnya, membuat kekuatan Baru yang perlu dipertimbangkan percaturan politik Internasioanl.













Nama               : Tri Maheni
NIM                : 3101412061
Rombel            :6B
A.    Identitas Buku
Judul buku      :“MARHAENISME, Ideologi Perjuangan Soekarno”.
Penulis             : Yulianto Sigit Wibowo
Penerbit           : BUANA PUSTAKA, perum pertamina S-17
Tahun terbit     : 2005
B.     Sinopsisi Buku
Buku ini secara garis besar tentang pemikiran politik Soekarno dari satu central point yang sama, yaitu kebenciannya kepada kapitalisme, imperialism, dan kolonialisme. Dalam rangka memerangi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme, Soekarno mencoba memadukan tiga arah pikir idiologis utama yang berkembang pada wakru itu yaitu Islam, nasionalisme, dan komunis. Dan konsep tersebut dikenal dengan Nasakom.
Dalam buku ini tokoh utamanya yaitu Soekarno dan pada buku ini berisikan mulai dari riwayat hidup Soekarno, prinsip dasar pemikiran Soekarno, Pengertian dan ajaran marhaenisme.
Soekarno merupakan insipirasi yang membangkitkan semangat pahlawan terhadap segala bentuk penindasan, bukan saja bagi bangsa Indonesia, tapi juga bagi seluruh bangsa tertindas di dunia. Soekarno adalah fenimena keajaiban politik yang mengguncang dunia , dan menjadikannya tokoh internasional yang bahkan disegani adikuasa.
Melalui teori marhaenisme Soekarno memberi penyadaran kepada seluruh rakyat Indonesia akan arti penting persatuan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa perlu diatur bangsa lain. Marhaenisme sendiri meruapan pengembangan dari sosialisme ilmiah yang diajarkan oleh karl marx dan dicoba dikembangkan di Indonesia oleh Soekarno. Basis analisis Soekarno diletakan pada struktur masyarakat agraris. Kajian Soekarno adalah mayoritas kamu tani melarat, ditambah buruh dan orang melarat lainya yang kemudian dinamakan sebagai kaum marhaen.
Dengan sendirinya Soekarno dan marhaenisme merupakan spirit perlawanan bagi kaum tertindas untuk memperbaiki nasibnya. Dan dalam buku ini mengupoas secara kritis marhaenisme sebagai konsep perjuangan dari Soekarno untuk menjawab atas terjadinya tatanan sosial yang tidak adil.

















NIM                : 3101412072
Rombel            :6B

Identitas buku
Judul                           : Soekarno Muda Biografi Pemikiran 1926-1933
Penulis                         : Peter Kasenda
Penerbit                       : Komunitas Bambu
Tanggal Terbit             : Mei-2014
Jumlah Halaman          : xii+176
Buku ini menceritakan konstruksi pemikiran Sukarno ketika masih muda (1926–1933). Saat itu, Sukarno menjadi bagian penting lahirnya The Edge of Ideology di Indonesia. Ia banyak membuat tulisan yang terkait dengan pemikir-pemikir besar, seperti Marx dan Lenin. Ia bukan saja mengenalkan tetapi juga mengobarkan radikalisme terhadap imperialisme dan kapitalisme. Saat itu pula ia mulai berkonsentrasi pada tema sentral perjuangannya yaitu persatuan Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Ia percaya sisi positif ketiga ideologi itu bisa disintesakan untuk membangun suatu ideologi dari saliran pemikiran yang berbeda-beda dan akan sangat efektif untuk mencapai Indonesia Merdeka.
            Dalam buku ini juga menceritakan bagaimana cara Soekarno dalam menentang atau menumbangkan kolonialisme, kapitalisme dan juga imperialisme salah satunya dengan pembentukan kekuasaan. Selain itu Soekarno juga menyatukan semua partai politik ke dalam satu front yang sama atau membentuk blok kulit sawo matang yang pada akhirnya terbentuklah PPPKI ( Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia).
Sukarno menyatakan cara untuk mencapai Indonesia Merdeka adalah dengan menjadikan Belanda sebagai musuh bersama sebab merekalah yang melahirkan kaum tertindas yang disebut kaum Marhaen, dengan ideologinya yang dikenal sebagai "Marhaenisme". Penemuan konsep Marhaenisme oleh Sukarno merupakan jawaban atas politik kolonial Belanda. Marhaenisme menghendaki dan memperjuangkan suatu masyarakat yang didalam susunannya dapat menyelamatkan kaum Marhaen agar terbebas dari adanya sistem kapitalis. Soekarno juga melihat bahwa kaum buruh (Marhaen) mempunyai pandangan yang lebih modren dan sangat cocok untuk berjuang melawan kejayaan imperalis.
Diseminasi ide-ide ini banyak ditulis Sukarno melalui media massa, dengan memperkenalkan konsep-konsep seperti Massa-Aksi, Agitasi Massa, Non-Kooperasi atau percaya pada diri sendiri. Ia bukan saja memperkenalkan gagasannya, melainkan juga merealisasikan apa yang menjadi keyakinannya dalam praktek sehari-hari.















Nama   : Arditya R
Nim     : 3101412071
Rombel: 6B
Sinopsis “Dalih Pembunuhan Masal dan Kudeta Soeharto – John Roosa”
Dalam buku ini membahas bagaimana pembunuhan masal yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia sebagai suatu usaha kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto terhadap kepemimpinan Soekarno sebagai. Dan juga dua kekuatan besar antara PKI yang mempunyai kekuatan masa hampir 3 juta penduduk Indonesia dan tentara yang memiliki personil bersenjata yang saling merebut simpati Soekarno dan juga negara agar condong kepada salah satu mereka. Didalamnya dibahas secara gamblang tenang bagaimana kronologi terjadinya pembunuhan para jendral, di jelaskan siapa saja meraka yang terlibat dan bagaimana Soekarno menghadapi kejadian yang jelas-jelas mengancam kursi kepemimpinannya. Dan juga bagaimana respon dari para simpatisan Soekarno yang menamai mereka sebagai Soekarnois.
Identitas buku :
Jakarta Institusi Sejarah Sosial Indonesia dan Hastra Mitra, 2008
Xxiv + 392 hlm, 16cm x 23cm
ISBN: 978 – 979 17579 – 0 – 4.











[1] Sjamsuddin, Narzarudin. Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek. Rajawali Press. 1988 hal 209.
[2] M.C Ricklefe. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. 1998. hal 275.
[3] Sjamsuddin, Narzarudin. Ibit hal. 211.
[4] Max Lane.  Malapetaka di Indonesia Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri. Djaman Baroe. 2012. Hal 36.
[5] Insan Fahmi Siregar. Partai Masyumi Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia. Widya Karya.  2014. Hal 110.
[6] Kasenda, peter. Soekarno marxisme & leninisme. Komunitas bambu. 2014 hal 69-76
[7] Ricklefs, M.C.  Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998 hal 424.
[8] Kasenda, Peter. Soekarno Muda : Beografi pemikiran 1926-1933. Komunitas Bambu: Depok 2014 hal 132
[9] Manipol USDEK adalah merupakan akronim dari Manifesto politik / Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
[10] Ibit. Ricklefs, M.C.   hal 387
[11] Sjamsuddin, Nazaruddin. Soekarno  Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek. Jakarta: Rajawali Press. 1988 hal. 48
[12] commond denominator adalah titik temu dari kemajemukan dalam kontek ini mencari titik temu antara ketiga ideology (Nasionalis, Islam, dan Marxis).
[13] Max, Lane. Malapeta di Indonesia Sebuah esai renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri (bagian I merupakan terjemahan).Djaman baroe 2012 hal 40.
[14] Op cit Max lane, hal 35
[15] Ibit Nazaruddin, hal 213
[16] Dibawah bendera refolusi,jilid 1,halaman 253-256.
[17] Sudjatmiko, Budiman. 2014. Ekonomi Berdikari Soekarno. Depok: Komunitas Bambu hal. 1-80
[18] Alam, Wawan Tunggul. 2003. Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta. Jakarta: Gramedia hal.453
[19] Gunadi, Tom. 1990. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945. Bandung: Angkasa hal. 49
[20] Sularto, St. Dialog Dengan sejarah: Soekarno Seratus tahun (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 295
[21] Reni Nuryanti, Tragedi Soekarno: Dari Kudeta Sampai Kematiannya (Yogyakara:Ombak, 2012) hlm. 4
[22] Ibid., hlm. 24
[23] Ibid., hlm. 19
[24] Ibid., hlm. 33
[25] Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S.
[26] Retuling adalah kebijakan penggantian para aparatur negara yang dinilai reaksioner dan merugikan (mungkin juga anti-komunis) dengan pengganti yang lebih progressif.
[27] Lane, Max. 2014. Unfinished Nation.
[28] ________. 2012. Malapetaka di Indonesia
[29] Ibid.,
[30] Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S.
[31] Adam, Asvi Warman. 2006. Revolusi Belum Selesai: Kumpulam Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965, Pelengkap Nawaksara.
[32] Al-Rahab, Amirrudin. 2014. Ekonomi Berdikari Soekarno.
[33] Pinanjaya, Okta & Waskito Giri Sasongko. 2012. Muslihat Kapitalis Global.




4 SISWA SMPN 9 KAUR MEWAKILI KAB.KAUR DI IGORNAS TINGKAT PROVINSI BENGKULU

Siswa SMPN 9 Kaur kembali menorehkan prestasi di Kabupaten Kaur. Kegiatan IGORNAS yang akan diselenggarakan dari tanggal 22 Nove...