Soekarno
Dan Revolusi Yang Belum Selesai
“Soekarno dan
Revolusi yang Belum
Selesai”
A.
Latar
Belakang Masalah
Soekarno adalah
Presiden Indonesia pertama. Dia merupakan pahlawan bangsa dan sang proklamator
kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno adalah presiden yang berani melawan
musuh yang dianggap bisa mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Ia merupakan
sosok yang sangat fenomenal sehingga mampu untuk mengkonsolidasi bermacam-macam
suku bangsa untuk bersatu melawan penjajah dan mendirikan sebuah negara yang
berdaulat. Ia merupakan keturunan orang jawa namun mempunyai pengaruh dan mampu
menyatukan seluruh suku yang memiliki ciri khas yang beraneka ragam dan
berbagai macam latar belakang agama dari Sabang sampai merauke.
Soekarno yang biasa
dipanggil Bung Karno ini lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dengan nama Koesno
Sosrodihardjo.[1] Saat
kecil, Soekarno hanya tinggal beberapa tahun bersama orang tuanya di Blitar.
Semasa SD hingga tamat ia tinggal di Surabaya. Ia melanjutkan sekolah di HBS
(Hoogere Burger School). Saat
disurabaya Soekarno tinggal dirumah teman ayahnya, Tjokroaminoto pimpinan SI. Saat
belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Di Surabaya Ini Soekarno banyak berkenalan dengan
pemimpin Politik awal, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus Salim, Sneevlit,
Semaun, Muso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara.[2]
Perluasan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki Soekarno yang telah berhasil memberinya tema dasar
pemikiran perjuangan kemerdekaan bangsa yaitu anti imperalisme, anti elitism,
dan anti kolonialisme.[3]
Selepas
lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische
Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil
meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.
Pada 4 Juli 1927
Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Tujuan
dibentuknya PNI adalah memperoleh kemerdekaan kepulauan Indonesia yang akan di
capai secara nonkoopratif dan dengan oraganisasi massa. Akibatnya,
Belanda, memasukkannya
Soekarno
ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Dia dikategorikan sebagai
tahanan yang berbahaya. Bung Karno muda begitu bersemangat memperjuangkan
kemerdekaan. Namun sejak dipenjara komunikasi Bung Karno dengan rekan-rekan
seperjuangannya nyaris putus. Delapan bulan kemudian ia baru disidangkan. Dalam
pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan
Belanda. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930,
PNI pun dibubarkan.
Setelah bebas pada
tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya.
Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun
1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah melalui perjuangan
yang amat panjang, dan harus mengalami beberapa kali dipenjara dan diasingkan,
akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia pada tahun 1945. Sebelum Indonesia merdeka, Soekarno sebagai kolaborator Jepang.
Sikap Soekarno mulai bekerjasama dengan jepang, banyak yang menilai sikap
Soekarno mulai melunak. Pada awal pendudukan Belanda Soekarno nonkoporatif
dengan Belanda. Soekarno mempunyai alasan tersendiri tentang sikapnya. Tujuan Soekarno untuk
memerdekakan bangsa Indonesia. Setelah merdeka Soekarno
pula yang merumuskan Pancasila menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah Indonesia
merdeka, Soekarno menjadi presiden pertama dan wakilnya adalah Bung Hatta.
Soekarno adalah presiden yang mampu menyatukan nusantara. Bahkan ia bisa
menghimpun bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam konferensi Asia Afrika di
Bandung pada tahun 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok. Nama Soekarno di dunia lebih populer
daripada Indonesia itu sendiri, karena soekarno berhasil menjadi simbol
perjuangan melepaskan kolonialisme dan imperialism negara-negara dunia ke tiga.
Upaya Soekarno dalam menyejahterakan
Indonesia ke depan, dianggap sebagai sejarah yang paling berpengaruh dalam
Indonesia modern saat ini. Sukarno meyakini mobilisasi massa sebagai kunci perubahan masyarakat
Indonesia dan sekaligus dapat melapangkan jalan bagi transformasi menurut
cita-cita sosialisme. Massa aksi sebagai alat pembangkit kaum tani dan buruh
dari jeratan kekuasaan kolonialisme merupakan dasar ide Revolusi Soekarno.[4]
Adanya saling ketergantungan dan kepentingan yang sama antara Soekarno dengan
PKI, mempererat kedua belah pihak untuk bekerjasama. Munculnya Demokrasi
Terpimpin telah memberikan kesadaran yang kuat bagi PKI untuk membuat kedudukan
dan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga politik di
Indonesia.[5]
Kedekatan Soekarno dengan PKI menyebabkan Perpolitikan
dunia internasional juga mulai membidik Indonesia secara Khusus Soekarno dalam target
operasinya.
Setelah Soekarno jatuh dari jabatan sebagai presiden
Republik Indonesia, alur dan tujuan Negara mulai berbelok dari anti kapitalisme
menjadi pro kapitalisme. Dengan munculnya Presiden Soeharto sebagai pengganti
Soekarno, cita-cita politik Soekrano tidak diteruskan, sehingga pembangunan
politik yang dilakukan oleh Soeharto dimuai dari awal yakni pro barat dan itu
kita rasakan sampai sekarang. Oleh sebab itu, sangat menarik juga ketika kita
menganalisis apa yang dilakukan oleh Soekarno dan upaya desoekarnoisasi yang
dilakukan oleh Soeharto.
Berdasarkan latar
belakang diatas, untuk menguraikan tentang soekarno dan revolusi yang belum
selesai kami penulis merumuskan tiga rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana
strategi Soekarno dalam mempersatukan Indonesia
dan membentuk NKRI?
2. Bagaimna
upaya Soekarno dalam memperjuangkan anti-kolonialisme dan Imperalisme di
Indonesia?
3. Bagaimana
nasib revolusi Indonesia setelah Soekarno tumbang?
B.
Asumsi
1.
Strategi Soekarno Dalam Mempersatukan Indonesia dan Membentuk NKRI
a.
Membentuk
suatu front persatuan organisasi-organisasi kaum nasionalis yang diberi nama
PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada
Desember 1927 di Bandung.
Berdirinya PPPKI ditandai dengan adanya Kemorosotan
Sarekat Islam disertai dengan kehancuran PKI membuat Sukarno mulai menapakkan
kakinya setapak demi setapak memperkenalkan suatu gerakan baru yang didasarkan
nasionalisme. Bentuk gerakannya lebih padat dengan mementingkan kemerdekaan
nasional serta mengesampingkan masalah-masalah sosial terlebih dahulu.
Pemikiran ini pernah dikembangkan Douwes Dekker melalui organisasi politiknya, Indische Partij, pada 1920-an yang pada
akhirnya menjadi akar pemikiran nasionalisme sekuler sebagai jawaban atas
kleluasaan kolonial Belanda.
Walaupun
Sukarno telah mendirikan PNI 4 Juli 1927 ia sama sekali tidak bermaksud
mengurangi hasratnya untuk mengadakan penyatuan. Sukarno melihat perlunya usaha
penyatuan semua partai politik ke dalam satu front bersama untuk melawan
kekuasaan kolonial sebab Sukarno melihat bahwa gerakan nasionalis telah
diperlemah dengan banyaknya jumlah partai, yang masing-masing lebih
mementingkan partainya sendiri bahkan dapat dikatakan kurang mempunyai
perhatian terhadap pergerakan sebagai suatu keseluruhan. Hal ini memudahkan
penguasa kolonial dalam meredam perlawanan gerakan nasionalisme Indonesia.
Sukarno
menyadari bahwa senjata devide et impera
merupakan bagian kekuatan dari kekuasaan kolonial dan fragmentasi gerakan,
serta perjuangan kepentingan dalam lingkungan kelompok alite. Hal ini lebih
memudahkan penguasa kolonial Belanda untuk menggunakan senjata tersebut guna
menghancurkan gerakan nasionalisme Indoensia. Oleh sebab itu, Soekarno
menganggap perlu untuk mengadakan kontak dengan Sarekat Islam sebagai
organisasi massa berpengaruh untuk bekerja sama. Dalam kongres SI Pekalongan
pada 1927, Sukarno sebagai undangan menyampaikan gagasannya tentang bagaimana
mencapai kesatuan dan menegaskan betapa pentingnya keberadaan partai tunggal
yang ideal dengan tetap memeprtahankan perbedaan masing-masing kelompok.
Tenyata usaha Sukarno tidak sia-sia.
Semangat
persatuan dan kesatuan nasional Indonesia yang menjiwai PNI atau Partai
Nasional Indonesia dan yang dipancarkan oleh pemimpin-pemimpinnya, terutama
Bung Karno yang terkenal sangat gandrung akan persatuan dan kesatuan nasional
seluruh rakyat Indonesia sangat besar sekali pengaruhnya di dalam pergerakan
kebangsaan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Usaha-usaha
persatuan dan kesatuan gerak yang digiatkan oleh PNI atau Partai Nasional
Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno yang sangat akan persatuan dan kesatuan
nasional Indonesia berhasil secara gemilang dengan terbentuknya PPPKI atau
Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. (Sagimun, 1989 :
102-103).
Front
persatuan organisasi—organisasi kaum nasionalis yang terdiri dari PNI,SI, Budi
Utomo Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Kelompok Studi di Surabaya
yang ddirikan pada Desember 1927 di Bandung itu diberi nama PPPKI (Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). dengan terbentuknya
wadah tersebut impian Sukarno untuk membentuk blok kulit sawo matang melawan
blok kulit putih Eropa di tanah jajahan ini telah terlaksana. Walupun PPPKI
merupakan federasi berbagai golongan yang ada tanpa tuntutan ideologi, kecuali
menerima gagasan berjuang untuk mencapai kemerdekaan politik
Indonesia.(Kasenda, 2014 : 36)
Pencapaian
pemufakatan dalam permusyawarahan dipakai Sukarno dalam melaksanakan
semboyannya kembali pada milik sendiri. Di dalam mufakat, masing-masing
kelompok harus memberi dan menerima. Sukarno menegaskan bahwa didalam PPPKI
tidak boleh ada kelompok yang menolak atau mengabaikan pendapat dari kelompok
yang lemah. Dalam hal ini Sukarno bermaksud merangkul semua kelompok, khususnya
golongan kecil dan lemah. Ia sendiri tampaknya berhasil mengatasi perbedaan dan
kontradiksi yang ada. Terbentuknya PPPKI merupakan sintesis Sukarno dalam
usahanya menggalang kesatuan.
Dengan
adanya PPPKI berarti Sukarno telah menciptakan suatu pertentangan yang tajam
antara penguasa kolonial dan bangsanya, sekaligus mengonsolidasikan kekuatan
nasional. Sepertii kata Sukarno,, “... Makin terang tampaknya garis antara kaum
kita dan kaum pertuanan, makin tajam terlihat guratan antarra sini dan sana...”
secara tidak langsung Sukarno memberikan suntikan keberanian dan kesadaran
kepada bangsanya. Ia bermaksud menunjukan kepada pihak penjajah bahwa bangsanya
telah sadar akan kekuatan yang mereka miliki. Meskipun Sukarno memimpin PNI ke
arah radikal dan antikerja sama dengan Belanda, ia juga dapat bersikap toleran
terhadapgolongan moderat yang memikirkan bahwa kesepakatan yang pantas akan
diperoleh melalui kooperasi dengan Belanda. Usaha-usaha Sukarno yang dilakukan
selama ini membuahkan hasil yang amat luar biasa.
Kahadiran
PPPKI merupakan suatu peristiwa penting yang menunjukkan kemajuan yang
diperoleh di wilayah tanah jajahan. Namun yang jelas, PPPKI berfungsi sebagai
sarana penyaluran permusuhan terhadap musuh diluar barisan kaum kulit putih
berwarna, yaitu penguasa kolonial Hindia Belanda. PPPKI dapat dikatakan sebagai
ikatan bersama yang kuat antara organisai-organisasi nasionalis dan musuh yang
sama, yaitu kekuasaan kolonial Hindia Belanda. PPPKI juga dapat di anggap
sebagai manifestasi dukungan dari berbagai unsur yang terdapat dalam wadah itu
untu bersatu agar dapat menghidupkan kembali gairah juang dan memaksa Belanda
menarik diri.(Kasenda, 2014: 37))
PPPKI
mempunyai daya tarik tersendiri. Dimana penggagas dari PPPKI ini yaitu
Soerkarno, yang pada saat itu sosok Soekarno sendiri sangaat berpengaruh pada
jaman pergerakaan ini, selain itu dengan adanya PPPKI ini organisasi-organisasi
politik, yang pada saat itu sosok Soekarno sendiri sangaat berpengaruh pada
jaman pergerakaan ini, selain itu dengan adanya PPPKI ini organisasi-organisasi
politik di Indonesia berharap kekuatan politik mereka semakin kuat dan semakin
mempunyai pengaruh bagi pemerintahan saat itu. PSI Yogyakarta dalam tahun 1928
menaruh perhatian terhadap ideologi nasionalis sekuler, sedangkan BU menjadi
kurang konservatif. Meskipun mereka berada dalam partai politik yang
berbeda-beda dan bersaing pada waktu itu, tetapi keyakinan politik mereka
tidaklah jauh berbeda.
Kongres
PPPKI Pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 30 Agustus sampai 2
September 1928. Wakil-wakil partai politik menyatakan harapannya bahwa kongres
itu merupakan permulaan era baru bagi gerakan kebangsaan. Rapat kerja
selanjutnya membahas masalah pendidikan nasional, bank nasional dan cara-cara
memperkuat kerjasama, komisi-komisi itu terdiri dari Tjokroaminoto (PSI), Ir.
Soekarno (PNI), Otto Soebrata (Pasundan) dan Thamrin (Kaum Betawi), menyiapkan
program aksi jangka pendek. Pada akhir tahun 1929 proses keruntuhan PPPKI
dipercepat oleh “menyelundupnya” provokator ke dalam organisasi politik. Dalam
Kongres PPPKI Kedua di Solo (25-27 Desember 1929) benih perpecahan semakin
terang karena istilah “kebangsaan” dipersoalkan lagi.
Kongres
Indonesia Raya diadakan pada awal tahun 1932. Dalam kongres ini diharapkan
kepada partai-partai yang waktu itu berselisih (Pendidikan Nasional Indonesia
dengan Partindo, Umat islam dengan PBI, Istri Sedar dengan PPII) menghentikan
perselisihan-perselisihan itu. Ini sungguh menghasilkan kurang hebatnya
pertentangan-pertentangan itu, lebih-lebih antara pendidikan Nasional Indonesia
dan Partindo.
Pada bulan
maret 1932, PPPKI mengadakan konferensi di Surabaya. Pada konferensi ini
mengambil keputusan akan memindahkan Majelis Pertimbangan dari Surabaya ke
Jakarta, tempat kedudukan kebanyakan pengurus besar partai yang tergabung di
dalam PPPKI itu. Berhubung dengan hal itu pengurus harian yang terdiri atas Dr.
Sutomo dan Mr. Latuharhary diganti dengan Thamrin dan Otto Iskandar Dinata.
Konferensi yang diadakan bulan November 1932 menerima rancangan Ir. Soekarno
tentang memperbaiki organisasi PPPKI. Perbaikan ini akan menjadikan PPPKI itu
lebih layak untuk jadi suatu badan yang meliputi seluruh pergerakan kebangsaan.
Pada akhir tahun 1933 tergabunglah dalam PPPKI seperti Budi Utomo, Pasundan,
Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Timors Verbonds, Partai Serikat Selebes,
Partai Indonesia dan Persatuan Bangsa Indonesia. PNI baru (Moh Hatta) tidak
jadi anggota “Persatuan” itu dan ia bersikap “Kritis” terhadap “Persatuan” itu.
Drs. Moh Hatta menamai “Persatuan” itu “Persatean”, juga golongan-golongan
agama (Islam dan Kristen) tidak tergabung dalam “Persatuan” itu.
Kongres
Indonesia Raya ke II yang akan diadakan dalam bulan Desember 1933, tidak dapat
dilangsungkan. Ini adalah akibat larangan dari pemerintah beberapa hari sebelum
kongres itu dimulai, sebab Partindo (anggota PPPKI) akan ikut pada kongres itu
dank arena itu maka larangan bersidang dianggap berlaku juga bagi seluruhnya.
Dengan
adanya Partindo dalam PPPKI itu berupa suatu rintangan bagi federasi itu untuk
beraksi, maka pada tanggal 9 februari 1935 partai itu keluarlah dari PPPKI.
Jadi ketika itu federasi ini terdiri hanyalah dari partai-partai yang bersikap
kooperasi saja dan nyatalah, bahwa ia tidak dapat lagi dinamakan suatu
perikatan daripada pergerakan politik kebangsaan dari segala warna. Lagi pula
dalam pergerakan pergerakan itu selamanya sayap kirilah, terutama diri Ir
Soekarno (yang mendirikan dan memperbaiki PPPKI itu) yang menjadi pendorong
PPPKI, itu supaya beraksi. Menilik bagaimana keadaan PPPKI itu lama-kelamaan,
maka tidaklah mengherankan kita bahwa federasi itu tidak melakukan aksi
lagi.(Pringgodigdo, 1994 :159-163)
PPPKI belum
sempat menjadi federasi kekuatan partai politik ketika tiba-tiba pemerintah
melakukan intervensi terhadap partai-partai non-kooperasi pada bulan Agustus
1933. organisasi ini sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menuelenggarakan
rapat protes terhadap beberapa hal seperti pasal-pasal tertentu dalam KUHP dan
mendukung penghapusan Undang-Undang Sekolah Liar. Akan tetapi perlu diingatkan
bahwa PPPKI dapat berkembang dan mampu menyatukan kekuatan politik pada
tahun-tahun sebelumnya adalah berkat PSII dan PNI Baru. PPPKI tidak banyak
berperan dalam panggung politik seperti yang diharapkan semula.
Perbedaan-perbedaan
tujuan, ideologi, dan kepribadian yang nyata masih tetap memecah belah
gerakan-gerakan tersebut, dan persatuan yang dicapai oleh PPPKI tidaklah begitu
mendalam. Persatuan, walaupun tidak kokoh yang diperlihatkan oleh PPPKI ini
memperkuat ide bahwa nasionalisme yang tidak mempunyai kaitan kedaerahan atau
agama merupakan dasar yang memungkinkan bagi dilakukannya aksi bersama.
Beberapa faktor keruntuhan organisasi PPPKI diantaranya adalah masing-masing
anggota lebih mementingkan loyalitas pada masing-masing kelompoknya, kurangnya
kontrol pusat terhadap aktivitas lokal, perbedaan gaya perjungan diantara
organisasi-organisasi anggota PPPKI tersebut.
Tidak semua
hal bisa mencapai kesepakatan dalam PPPKI, seperti dua hal utama; pertama
berkaitan dengan masalah nonkooperasi dan kooperasi. Kedua, Nasionalisme
Sekuler dan Nasionalisme Islam. Sebagai front persatuan yang sifatnya terlampau
luas di antara mereka organisasi ini hanyalah impian belaka. Apalagi setiap
anggota partai lebih suka memikirkan kegiatan-kegiatan partainya sendiri
daripada pembentukan federasi. Dapat dikatan kedua hal itu senantiasa menjadi
masalah dalam gerakan nasional. (Kasenda, 2014: 38) Faktor-faktor penyebab
diatas itulah yang membuat PPPKI tidak berjalan dengan lancar ditambah lagi
dengan Ir, Soekarno yang terjerat hukum. PPPKI kehilangan semangat dan PPPKI
tidak dapat dipertahankan lagi dan organisasi-organisasi yang bergabung pun
merencanakan dan membuat gabungan baru dengan format yang baru.
b. Perjuangan secara diplomasi.
Kemerdekaan yang diikrarkan bangsa
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan merupakan pemberian hadahdari
penjajah akan tetapi merupakan perjuangan berat yang telah dilalui dalam kurun
waktu yang cukup lama dan proklamasi kemerdekaan yang telah berhasil diikrarkan
tersebut juga bukanlah akhir dari kemerdekaan yang telah didapatkan, tetapi
merupakan awal perjuangan dalam tantangan yang baru untuk membangun tatanan
berbangsa dan bernegara.dalam mempertahankan kermerdekaan, negara yang baru
berdiri terus mengupayakan kedaulatannya
dengan perjuangan fisik dan non-fisik. Begitu juga dengan Indonesia pada
masa mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan yang dilakukan secara non-fisik
dilakukan agar meminimalisir jatuhnya korban jiwa, dan juga meminimalisir biaya
perang yang dilakukan dengan perjuangan fisik.
Ø
Perundingan Linggarjati
Pemerintahan yang pertama dibentuk
oleh Soekarno-Hatta adalah pemerintahan dengan sistem Kabinet – Presidensial.
Sistem ini mempunyai kelemahan, indonesia dianggap sebagai fasis buatan Jepang
oleh Belanda sehingga sulit mendapatkan pengakuan kedaulatan dari pihak sekutu
dan Belanda. Selain itu presiden Soekarno memiliki citra yang kurang baik di
luar negeri karena dicap sebagai kolaborator Jepang.
Untuk mengatasi hal tersebu, maka
dikeluarkanlah Maklumat Negara RI No.X tahun 1945. Maklumat itu berisi tentang
perubahan KNIP menjadi badal legislatif dan mempunyai wewenang untuk menetapkan
garis besar haluan negara. Untuk melaksanakan maklumat tersebut sangat
dibutuhkan pemimpin yang berjiwa Revolusioner. (Soebadio, 1987: 63-64), dan
untuk itu ditunjuklah Sjahrir tokoh yang bersih dari pengaruh Jepang dan juga
populer dikalangan pemuda Indonesia. Dua hari kemudian pemerintah mengeluarkan maklumat
3 November yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membentuk
partai-partai politik. Dengan harapan segenap aliran dalam masyarakat agar bisa
mengikuti aturan pemerintahan yang baru. Dengan berdirinya partai – partai
politik tersebut diikuti dengan berubahnya sistem pemerintahan dari presidensil
menjadi parlementer. Pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensial di
bawah pimpinan Presiden Soekarno diganti dengan kabinet minsterial di bawah
Perdana Menteri Sutan Sjahrir (Kabinet Sjahrir I). Dan kabinet ini segera
mengadakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda.
Pemerintahan Inggris yang ingin
secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia
mengirim Sir Archibald Clark Kerr sebagai duta istimewa ke Indonesia1. Sedangkan
pemerintahan Belanda mengirim Dr. H.J.van Mook. Perundingan dimulai pada 10
Februari 1946. Pada awal perundingan van Mook menyampaikan pidato yang terdiri
dari beberapa pasal dan juga mengulang dari pada pidato ratu Belanda, yang
berisi :
1.Indonesia
kan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi yang memiliki
pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Nederland.
2.Masalah
dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri diurus oleh
pemerintahan Belanda.
3.Sebelum
dibentuknya persemakmuran akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
4.Indonesia
akan dimasukan dalam anggota PBB. (Regerings Voorlicthing Dienst, Indonesia’s
Toekomst, Batavia, 1946, hlm 13-15.)
Perundingan yang terjadi pada 14-25
April 1946 di Hoogwe Veluwe gagal karena Indonesia menginginkan Belanda
mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya
Indonesia hanya mengakui Jawa dan Madura saja
Perundignan dilanjutkan pada 10
November 1946 yang diadakan di Linggarjati, Cirebon yang kemudian dikenal
dengan perundingan Linggarjati. Hasil perundingan di umumkan pada 15 November
1946 dan tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri dari 17 pasal. Naskah
ini kemudian disetujui oleh kedua pihak dan kemudian disampaikan pada pemerintah
masing – masing. Dari hasil perjanjian tersebut muncul berbagai pro – kontra di
dalam masyarakat ataupun didalam pemerintahan sebab timbulnya pro – kontra
tersebut karena adanya penafsiran dari masing – masing inividu atau kelompok
tersebut. Meskipun sudah dijelaskan oleh pemerintahan.
Pada akhirnya perjanjian Linggarjati
kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan
sutan Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada 15 November 1946. KNIP
sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947,
setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 orang menjadi 514 orang,
(Ricklef, 2008: 472), karena sebagian besar anggora KNIP yang lama menolak dari
pada isi perjanjian tersebut.
Kesapakatan pembentukan RIS yang
membuat Indonesia harus menjadi negara bagian dari kerjaan Belanda,
tetapmembawa angin segar bagi Indoensia yang menginginkan kedaulatan. Dan dari
perundingan Linggarjati tersebut Indonesia berhasil menghindari eperangan dan
pertumpahan darah. Perjanjian Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini didasari
keyakinan bahwa bagaimanapun jalan damai untuk mencapai sebuah tujuan adalah
hal terbaik dan paling aman karena adanya kelemahan di bidang Militer
(Moedjianto, 1998:183).
Sekali pun persetujuan Linggarjati
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, hubungan Indoensia – Belanda tidak
bertambah baik. Adanya perbedaan pengertian mengenai beberapa pasal yang
terdapat dalam hasil perundingan tersebut. Mejadi pangkal perselisihan dan pada
puncaknya pihak Belanda dengan secara gambalng melanggar hasil perundingan
tersebut dengan melanggar gencatan senjata yang telah diumumkan pada 12
Februari 1947, seminggu sebelum hasi perundingan Linggarjati ditandatangani.
Pada 27 Mei 1947 komisi jendral menyampaikan nota kepada pemerintahan RI
melalui misi Idenburgh.
Ø
Perjanjian Renville
Perjanjian Renville berlangsung di
kapal angkatan laut Amerika Serikat USS Renville. Untuk mengawasi pelaksanaan
gencatan senjata dan sengketa Indonesia dengan Belanda. PBB (perserikatan
bangsa-bangsa) membentuk Komite Tiga Negara (KTN) yang anggotanya dipilih
Indonesia dan Belanda. Dimana pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi Agresi
Militer Belanda pertama yang dilakukan sampai tanggal 4 Agustus 1947. Dimana
Belanda menyerang Indonesia dengan persenjataan.
Anggota KTN adalah Australia yang
dipilih Indonesia, Belgia yang dipilih Belanda dan Amerika Serikat yang dipilih
Australia dan Belgia sebagai penengah. Dalam perjanjian ini Indonesia diwakili
Amir Syarifuddin dan Belanda diwakili R.Abdulkadir Wijoyoatmojo dan sepertinya
si R.Abdul Kadir M. ini orang Indonesia yang memihak Belanda kawan.
Isi perjanjian Renville adalah:
1.Belanda
hanya mengakui Wilayah RI atas Jateng,Jogjakarta, Jatim, sebagian kecil Jabar
dan Sumatera.
2.Tentara
Republik Indonesia (TRI) ditarik mundur dari daerah kedudukan Belanda.
Akibat dari perjanjian Renville
sebenarnya semakin merugikan Indonesia karena wilahnya semakin sempit. Setelah
perjanjian ini tejadi peristiwa penting antara lain pemberontakan PKI di Madiun
dan pemindahan ibukota RI ke Jogjakarta karena Jakarta diduduki Belanda.
Bahkan pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda
mengumumkan bahwa tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville lalu melakukan
serangan besar-besaran ke wilayah RI yang disebut sebagai Agresi Militer
Belanda II.
Perundingan Roem-Royen.
Belanda mengadakan konferensi
pembentukan Badan Permusyawaratan Federal(BFO) yang dilaksanakan pada tanggal
27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948,
Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta dan
menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya. Namun sebelum itu
Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang
mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) sebagai mandat politik., untuk tetap menjalakan pemerintahan.
Dengan begitu Indonesia menunjukkan
kegigihan mempertahankan wilayahnya dari segala agresi Belanda. Yang menarik
disini adalah bagaimana dunia internasional mulai memperhatikan Indonesia yang
mendapat tekanan dari Belanda, hal ini memang tidak terlepas dari politik
diplomasi yang memang diarahkan untuk mendapatkan simpati dunia Internasional,
seperti dengan memberi bantuan 50. 000 ton beras ke India, sehingga masalah
intern dalam negeri pun tidak luput dari perhatian PBB.
Akhirnya konflik bersenjata harus
segera diakhiri dengan jalan diplomasi. Dimana isi dari perjanjian Roem – Royen
ini adalah dilakukannya gencatan senjata, dan menghentikan perang gerilya yang
jika dilihat dari sisi positifnya adalah Indonesia dapat meminimalisir jatuhnya
korban lebih banyak, dan membuka jalur diplomasi lainnya, yakni KMB sebagai
ujung dari perjuangan diplomasi Indonesi. Dan atas inisiatif Komisi PBB untuk
Indonesia, maka pada tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan di Jakarta di
bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota Komisi Amerika.
Perjanjian Roem Royen adalah sebuah
perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 7
Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan
resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari 1949 dan persetujuannya
tanggal 23 Maret 1949. Guna menjamin terlaksananya penghentian Agresi Militer
Belanda II maka PBB menganti KTN dengan membentuk UNCI (United Nations
Comission for Indonesia) yaitu komisi PBB untuk Indonesia.
Komisi ini selanjutnya mempertemukan
Indonesia dan Belanda ke meja perundingan pada tanggal 14 April 1949. Dimana
Delegasi RI dipimpin oleh Mr. Moh. Roem (ketua), Mr. Ali sastro Amijoyo (wakil)
sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J. H Van Royen. Perundingan
diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran, anggota komisi
dari Amerika Serikat.
Perundingan ini mengalami hambatan
sehingga baru pada awal Mei 1949 terjadi kesepakatan. Isi Perjanjian Roem-Royen
(Roem-Royen Statement) sebagai berikut:
a. Delegasi Indonesia menyatakan
kesediaan pemerintah RI untuk:
1)Pemerintah
Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
2)Bekerjasama
dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3)Turut
serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan
tidak bersyarat.
b. Pernyataan Delegasi Belanda yang
dibacakan oleh Dr. H.J. Van Royen yaitu:
1)
Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan
jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi karisidenan Yogyakarta.
2)
Pemerintah Belanda membebaskan tak bersyarat pemimpin-pemimpin dan tahanan
politik yang tertangkap sejak 19 Desember 1948.
3) Pemerintah
Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat
4) KMB di
Den Haag akan diadakan selekasnya sesudah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Sejak bulan Juni 1949, berlangsung
persiapan pemulihan pemerintahan Indonesia di Yogyakarta. Persiapan itu
berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24-29 Juni 1949, tentara
Belanda ditarik dari Yogyakarta. TNI akhirnya memasuki kota Yogyakarta. Pada 6
Juni 1949, presiden, wakil presiden, serta para pemimpin lainnya kembali ke
Yogyakarta.
Sebagai tindak lanjut perjanjian
Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan antara RI, BFO, dan
Belanda yang hasilnya sebagai berikut.
a. Tanggal
24 Juni 1949, keresidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda. Pada
tanggal 1 Juli 1949, pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah tentara
Republik menguasai sepenuhnya.
b. Mengenai
penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI ke
Yogayakarta
c. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan
diadakan di Den Haag
Konfrensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar
dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan
kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan
untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan
Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi
Meja Bundar.
Realisasi dari perjanjian Roem-Royen
adalah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Konferensi tersebut berlangsung selama 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan UNCI.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak.
Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen. Sebagai penengah adalah
wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle Cochran.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar
(KMB) adalah:
Serah terima kedaulatan dari
pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua
bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi
daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara
terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai
hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian
dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu
tahun.
Dibentuknya sebuah persekutuan
Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala Negara Pengambil
alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat. Pelaksanaan KMB
terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23 Oktober 1949 Badan
Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai pembicaraan dalam
sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Sri Sultan
Hamengkubuono IX. Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri Mohammad Hatta
pada Sidang Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil
KMB dengan 226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko. PErsetujuan KNIP
itu diberikan dalam dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah
undang-undang. Maklumat KNIP diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember
1949, berisi tentang negara Repbulik Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas
seluruh wilayah; dan bahwa alat perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk
menegakkan kedaulatannya.
Dua undang-undang yang disetujui
KNIP adalah Undang-Undang No. 10 yang berisi mengenai Induk Persetujuan KMB dan
masalah kedaulatan dari Belanda kepada RIS. SEdangkan Undang-Undang No. 11
berisi mengenai draf final Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Persetujuan
KNIP atas hasil KMB melancarkan jalan bagi terbentuknya Republik Indonesia Serikat,
sebagaimana diharuskan oleh KMB. Pada tanggal 14 Desember 1949 delegasi RI dan
delegasi negara-negara bagian, yang tergabung dalam BFO menandatangani Piagam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dengan piagam ini resmilah pula
negara-negara tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 15 Desember 1949, Dewan
Pemilih Presiden RIS dibentuk. Dewan ini diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Pada
tanggal 16 Desember dewan ini memilih calon tunggal Ir. Soekarno sebagai
Presiden RIS. Pelantikan dilaksanakan di Siti Hinggil, Kraton Kesultanan
Yogyakarta para tanggal 17 Desember 1949. Selanjutnya Presiden Soekarno secara
resmi menunjuk Drs. Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 20
Desember Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta
dilantik. Karena Presiden RI, Soekarno dan WAkil PResiden, Mohammad Hatta
menduduki jabatan barunya dalam RIS, maka untuk melaksanakan fungsinya di
Negara Republik Indonesia, ditunjuk Mr. Assaat sebagai pejabat (Acting)
Presiden RI yang tetap berkedudukan di Yogyakarta. Republik Indonesia dalam
status sebagai negara bagian RIS dikenal juga sebagai RI Yogyakarta dengan dr.
Abdul Halim sebagai Perdana Menteri.
Dengan telah selesainya pembentukan
RIS dan kabinetnya, maka "penyerahan kedaulatan" dari tangan Belanda
kepada RIS sebagaimana diatur dalam KMB dapat dilaksanakan. Pemerintah RIS
menunjuk Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk memimpin delegasi RI ke negeri
Belanda untuk menerima naskah penyerahan kedaulatan langsung dari Ratu Yuliana.
Sedangkan di Jakarta wakil RIS, Sei Sultan Hamengkubuwono IX menerimanya dari
Wakil Mahkota Belanda A.H.J Lovink. Upacara dilaksanakan di dua tempat secara
bersamaaan pada tanggal 27 Desember 1949.
Salah satu dampak dari KMB ialah
yang menguntungkan bagi Indonesia adalah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
Indonesia dan lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai akibat dari
prsetujuan KMB (Algandri, Hamid, 1991: 68). Akan tetapi negara-negara bagian
hasil olahan Belanda yang dibuat untuk memecah belah Bangsa Indonesia terbukti
tidak mendapatka dukungan dari rakyat. Hal ini yang membuat RIS tidak bertahan
lama akan tetapi rakyat membiarkan hal tersebut karena takut terhadap tentanra
Belanda.
Dari sekian banyak jalur Diplomasi
yang dilakukan dengan diadakannya perundingan adalah bagian dari bagiamana NKRI
tetap bersatu dari pihak-pihak asing yang ingin memecah belah. Meskipun didalam
tubuh pemerintahanya sendiri terdapat banyak kepentingan dari berbagai
golongan.
c. Gagasan pancasila
Pidato
soekarno pada 1 juni 1945 menggaris lima prinsip dasar pancasila yang dirasa
akan membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar filsafat suatu indonesia yang
merdeka. Gagasan-gagasan yang diutarakan soekarno dalam pidato ini penting
karena menyajikan filsafat sosial yang matang dari para pemimpin nasionalis
indonesia paling berpengaruh yang kemudian menjadi pemimpin politik republik
indonesia yang paling penting. Gagasan-gagasan itu sangat berarti dalam
mempengaruhi jalan pemikiran sosial orang indonesia selama perjuangan
revolusioner, suatu pengaruh yang sampai sekarang masih punya makna sangat
penting. Banyak dari penagruh ini dikarenakan soekarno dengan jelas
mengungkapkan ide-ide dominan, namun belum lengkap, yang ada dalam pikiran
orang indonesia terpelajar karena dia mengutarakannya dengan bahasa dan
simbolisme yang secara dominan bermakna dan tetap penuh arti bagi rakyat jelata
yang tidak berpendidikan. Mungkin tidak ada penampilan prinsip yang dapat
dijadikan contoh sintesis demokrasi barat, gagasan islam modernis, marxist,
serta gagasan demokrasi dan komunalistik yang berasal dari desa yang membentuk
dasar umum pemikiran sosial dari suatu bagian golongan elite politik yang
begitu besar sesudah perang.[i]
Sesuai
dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk
mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Para founding fathers
menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan bermasyarakat,
ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Begitu
penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan
nilai yang terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak
disangsikan. Dengan demikian rakyat rela untuk menerima, meyakini dan
menerapkan dalam kehidupan yang nyata; untuk selanjutnya dijaga kokoh dan
kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Untuk
menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para
penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan
melaksanakan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Pancasila
dinilai memenuhi syarat sebagai dasar negara dan ideologi nasional bagi
negara-bangsa Indonesia yang pluralistik serta cukup luas dan besar ini.
Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan
negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa,
mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang
dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia. Demikian juga dengan sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung konsep dasar penghormatan
terhadap harkat martabat manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan kodrat,
harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan
beradab. Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengandung konsep kesatuan dan
keutuhan bangsa dan wilayah negara dengan berbagai kemajemukan. Sila keempat
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwa-kilan mengandung konsep dasar menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, yang dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sedang sila kelima
me-wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung konsep
dasar bahwa kesejahteraan dinikmati dan dirasakan secara merata oleh seluruh
rakyat di seluruh wilayah Indonesia, tanpa mengabaikan kesejahteraan perorangan
atau golongan. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara, ideologi
nasional, pandangan hidup bangsa merupakan common denominator (kesamaan
pijakan) bagi kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang pluralistik.
Pancasila
secara sistematik, pertama kali, disampaikan oleh Ir. Soekarno di depan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdeka-an Indonesia – BPUPKI (Dokuritsu
Zumbi Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945, untuk menjawab pertanyaan Ketua
Badan mengenai dasar negara yang akan didirikan. Bung Karno menyatakan bahwa
pemikiran mengenai Pancasila ini telah jauh hari difikirkan. Terdapat lima
prinsip yang diusulkan oleh Bung Karno sebagai dasar negara yang disebut
Pancasila, yakni:
1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau perike-manusiaan,
3. Mufakat atau demokrasi,
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Bung Karno selanjutnya mengatakan, bila dari para
anggota BPUPKI ada yang berkeberatan dengan jumlah yang lima dapat diperas
menjadi tiga, disebutnya Trisila, yakni socio-nationalisme, socio-demokratie,
dan ke-Tuhan-an. Bila tiga prinsip ini dinilai masih terlalu banyak dapat
diperas menjadi Ekasila yakni Gotong Royong.
Pada
bulan Juni 1945 terjadi sidang Chuo Sangi-In (Dewan Penasehat Pusat) yang
dihadiri oleh 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Kecil terdiri atas sembilan
orang yakni Moh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, Maramis, Kiai Abd. Kahar
Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H.Wahid Hasyim, Haji Agoes Salim, diketuai
Ir. Soekarno untuk merumuskan Pembukaan UUD. Dalam Pembukaan tersebut
dirumuskan usulan dasar negara yang merupakan perkembangan dari pidato yang
disampaikan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan yang disusun
oleh Panitia Sembilan ini biasa disebut Piagam Jakarta, atau Jakarta Charter.
Adapun rumusan dasar negara adalah sebagai berikut:
Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalan-kan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan
ini telah disepakati dalam Sidang BPUPKI kedua yang berlangsung antara tanggal
10 – 17 Juli 1945. Namun dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tersebut mengalami perubahan atas
dasar pertimbangan, bahwa penduduk Indonesia bagian timur sebagian besar
beragama Kristen-Katholiek, sehingga rumusan Jakarta Charter dinilai
diskriminatif. Rumusan dasar negara yang disepakati akhirnya berubah menjadi
sebagai berikut:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.
Persatuan Indonesia,
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan, dan dengan mewujudkan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun pada waktu UUD tersebut disebar luaskan
melalui Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februasi 1946,
terjadi perubahan rumusan sila keempat, yang semula
”permusyawaratan-perwakilan” berubah menjadi ”permusyawaratan/ perwakilan.”
Rumusan dasar negara ini yang kemudian
ditetapkan oleh berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI sebagai PANCASILA. Salah
satu di antaranya ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966.
Rumusan Pancasila dasar negara juga tercantum dalam
Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara Negara Republik Indonesia dengan rumusan sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. Peri-kemanusiaan,
3. Kebangsaan,
4. Kerakyatan, dan
5. Keadilan sosial.
Dari rumusan tersebut di atas, nampak bahwa rumusan
Pancasila mengalami perkembangan dan sejak terjadinya dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959, rumusan resmi Pancasila adalah seperti yang tertera dalam
Pembukaan UUD 1945.
Dalam rangka memahami dan mendalami hakikat
Pancasila, kita perlu faham mengenai konsep dan prinsip yang terkandung dalam
Pancasila. Setiap faham filsafat pasti berisi konsep, prinsip dan nilai untuk
dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap fenomena alam dan fenomena
kehidupan serta sebagai acuan apabila faham filsafat tersebut ingin diterapkan
dalam kehidupan yang nyata. Demikian pula halnya dengan Pancasila.
Konsep adalah gagasan umum, hasil konstruksi nalar
dari olah fikir manusia dan generalisasi secara teoritik, merupakan faham
universal. Konsep berfungsi sebagai dalil, suatu gagasan yang memberikan makna
terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga ditemukan hakikatnya. Konsep
dipergunakan untuk memberikan arti terhadap segala fenomena, sekaligus sebagai
acuan kritik untuk memberikan makna terhadap fenomena yang dihadapi.
Bagi rakyat yang menempati kepulauan Nusantara,
sejak zaman purba, sebelum masuknya agama-agama, telah memiliki suatu belief
system tentang makna kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam semesta.
Bila Aristoteles memandang kehidupan manusia adalah dalam kaitannya dengan
masyarakat, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon),
rakyat yang menempati bumi Nusantara ini, khususnya orang Jawa, memandang bahwa
kehidupan manusia adalah menyatu dengan alam semesta. Orang Jawa menyebutnya
sebagai ”manunggaling kawulo Gusti.” Hubungan antara manusia sebagai individu dengan
alam semesta tertata dan terikat dalam keselarasan dan keserasian atau harmoni.
Masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya, dan masing-masing makhluk
saling melayani sehingga terjadi keteraturan dan ketertiban. Yang ingin
diwujudkan adalah ketenteraman dan kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya
sebagai ”memayu hayuning bawono.”[6]
2.
Upaya Soekarno Dalam Memperjuangkan
Anti-Kolonialisme Dan Imperalisme Di Indonesia
a.
Menyatukan ketiga aliran yang berpengaruh luas di Masyarakat di antaranya aliran
Nasionalisme, Islamisme dan Maexisme
Pola pemikiran Soekarno
dalam memperjuangkan nasib bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor yang berada di luar
dirinya dan factor-faktor intelektual yang dimilikinya. Faktor-faktor yang
berasal dari luar dirinya adalah kenyataan dari bangsa Indonesia yang berada
dalam kondisi terbelakang karena adanya praktek kolonialisme dan imperialisme
Belanda, telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bangsa Indonesia karena
telah terjadi penindasan hak asasi terutama dirasakan dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Faktor-faktor yang berasal dari intelektual yang
dimilikinya adalah dari pengamatan yang dilakukan Soekarno terhadap masyarakat
Indonesia ditemukan akar-akar ideologi bangsa yang tumbuh di dalam masyarakat.
Soekarno yang sudah dipengaruhi budaya Jawa berusaha untuk menerima dan
mengubah unsur-unsur yang diterimanya menjadi suatu sintesa baru yang disesuaikan dengan
kebudayaan bangsa Indonesia diantaranya tercermin di dalam konsepsinya tentang
Nasakom(nasionalisme agama, dan komusisme).Pemikiran politik Soekarno semua
berangkat dari satu central Point yang
sama yaitu kebencian terhadap kapitalisme dan imperalisme dan kolonialisme.
Kebencian ini menjadi corak tersendiri yang membentuk struktur pemikiran yang
cenderung ber toleransi kapada semua musuh-musuh kapitalisme, imperalisme dan
kolonialisme.
Memang tidak dapat
disangkal bahwa Soekarno seorang nasionalisme tulen, atau dapat dikatakan pula
Soekarno adalah seorang nasionalisme radikal. Segala pemikiran politiknya
ditujukan demi persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Soekarno
adalah tokoh nasionalis yang belum ada tandingannya di Indonesia. Citra Soekarno di antara ideolog Indonesia
cukup tinggi, citranya di kalangan tokoh nasionalis radikal pada masa itu
sangat memuncak sekali. Memang nyatanya kebanyakan pemikir nasionalisme radikal
pada masa itu tidak lebih dari pada pembawa gagasan Soekarno saja, tidak saja
karena kekuasaan Soekarno sangat besar, tetapi mereka tidak sememukau Soekarno
dalam mengemukakan pendapatnya.
Di antara pemikir-pemikir modern di Indonesia,
Soekarno adalah yang terbesar. Hal ini bukan karena kualitas
pemikiran-pemikiran yang orisinil dan brilian, tetapi juga karena
pemikiran-pemikirannya itu mampu menjangkau ke jauh ke dalam lapisan
masyarakat. Sebagai seorang cendekiawan yang mempunyai kemampuan besar di dalam
menuangkan pemikiran-pemikirannya yang jernih, Soekarno juga seorang orator
atau seorang yang ahli pidato yang mempunyai kemampuan tinggi dan karismatik
yang mampu menyampaikan pemikiran-pemikirannya dengan gaya yang amat menarik
dan mudah dimengerti oleh khalayak ramai.
Pemikiran-pemikiran
Soekarno biasanya berkaitan erat dengan realita-realita hidup dalam masyarakat
Indonesia, oleh karena itu pemikiran-pemikirannya tampak mengandung relevansi
yang kuat dan dalam. Pemikiran Soekarno dapat dikatakan selalu terarah kepada
keperluan untuk mencari pandangan hidup atau ideology bersama yang bisa dipakai
sebagai tali pengikat masyarakat Indonesia yang majemuk ke dalam satu bangsa
yang benar-benar bersatu. Melalui pengamatan yang dalam, Soekarno selalu
berusaha mencari akar-akar dari ideologi bangsa Indonesia yang ingin
dibangunnya. Dari permulaan perkembangan pemikirannya, Soekarno selalu mencari
dan kemudian menemukan serta melihat beberapa fenomena atau masalah yang telah
menjadi sasaran dari pemikirannya. Salah satu fenomena atau masalah tersebut
adalah dinamika yang terkandung di dalam berbagai aliran pemikiran yang hidup
dalam masyarakat.
Pada permulaan tahun
1960-an, Soekarno memperkenalkan akronim baru “Nasakom” sebagai lembaga
persatuan antara nasionalisme, agama, dan komunisme . Nasakom merupakan hasil
buah pikiran Soekarno yang dijadikannya sebagai gagasan pemersatu bangsa
Indonesia dengan tujuan melanjutkan revolusi yang belum selesai dengan pedoman
pada Pancasila.[7] Nasakom
merupakan dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme meskipun sebelumnya pada tahun
1620-an soekarno menyebutnya dengan dengan persatuan antara Nasionalisme, Islam
dan Marxisme yang digunakan melawan kolonialisme dan Imperalisme di Indonesia.
Menghidupkan kembali kepentingan kaum nasionalis islam dan marxis yang dapat di
cocokan dan disatukan menjadi satu.[8]
Gagasan Nasakom dan
proses penyisipan misi Nasakom dilakukan pada masa demokrasi Terpimpin yang
terkandung dalam pidato yang selanjutnya dikenal dengan manipol USDEK[9].
Ketika munculnya Periode Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno muncul sebagai
tokoh pemimpin yang merupakan pusat kekuasaan untuk mencerminkan “terpimpin”
dalam penamaan Demokrasi Terpimpin tersebut.
Demokrasi Terpimpin ialah suatu demokrasi yang dipimpin, presiden
Soekarno. Pada masa demokrasi terpimpin ini sukarno bersikap diktator dan
semakin ber api-api.[10]
Soekarno sebagai pusat kekuasaan yang harus di ikuti oleh rakyat. Oleh sebab itu semua gagasan yang ia
keluarkan presiden Soekarno harus diikuti dan dijadikan ideology bersama
termasuk Ideologi Nasakom.
Dalam tulisan Soekarno “Suluh Indonesia Muda” tahun 1926,
“Nasionalisme, Islam dan Marxisme” telah mengungkapkan dasar pemikiranya.
Nasionalismenya adalah nasionalisme yang hidup berdampingan dengan Islam dan
Marxisme. Keinginan Soekarno menyatukan antara ketiga Ideologi karena sebagai
kekuatan besar menghadapi kolonialisme.[11]
Penyatuan ini didasari dengan adanya kesamaan antara ketiga ideology tersebut
yaitu sama-sama dibawah tekananan kolonial.
Ketika merumuskan
“Nasionalis islam dan marxsis” yang padangan dasarnya dimaksutkan sebagai suatu
strategi menghadapi kekuasaan kolonialisme
Belanda. Strategi yang waajar dan
sederhna jika kaum komunis dan golongan islam bisa menyusun barisan kekuatan
dan bekerja sama di bawah panji-panji nasionalisme. Dari pemikiran usaha
kerjasama ini ia tersentuh oleh harapan bisa di satukan berbagai aliran
keyakinan yang berbeda-beda sehingga tercipta satu keterpaduan yang dapat di
terima dengan jalan saling memberi karena tidak ada lagi pilihan (dari ketiga
ideology saling melengkapi).
Nasionalisme yang
berperikemanusiaan berarti nasionalisme yang memberi tempat terhadap
aliran-aliran lainya. Islam, meskipun tidak mengenal batas-batas Negara karena
prinsipnya yang utama adalah persaudaraan antar manusia, tetapi Islam tidak
menentang Nasionalisme. Marxisme adalah aliran yang menentang penindasanyang
juga menjadi sifat dari Islam. Jadi meskipun nasionalisme yang bersifat cinta
tanah air dan bangsa, Islam mendasarkan diri pada keyakinan agama atau bersifat
spiritual sedang marxisme yang mendasarkan diri pada materialsme atau kebendaan
(Nazaruddin. 1988:48).
Lebih jauh lagi dalam
bukunya Naazaruddin (1988:48-50) menjelaskan penyatuan ideology tidak perlu
mengharuskan orang berpindah pandangan atau pemikiran yang Isalam tetap
memegang Islam demikianjuga yang nasioanlisme dan Marxisme. Mereka tetap pada
pandangannya sendiri-sendiri. Kegigihan Soekarno untuk membentuk kerjasama
tersebut terungkap dalam kata-katanya sebagai berikut:
Nasinalisme
dan Islam
“…….bahwa pergerakan
nasionalisme dan Islam diIndonesia ini – iya diseluruh Asia – ada asalnya …….
dua-duanya bersal dari melawan Barat atau lebih tegas, melawan Kapitalisme dan Imperalisme barat…..”
Nasionalisme
dan Marxisme
“Nasionalisme yang
segera berdekatan dan bekerja
bersama-sama dengan kaum marxsime – Nasionalisme yang semacam itu
menujukan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentanng berputarnya roda
politik dunia dan riwayat……. Ia lupa bahwa musuh bangsanya yang marxisme itu,
sama artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah adanya musuh.”
Islam
dan Nasionalisme
“ Islam sejatinya tidak
mengandung asas anti-nasionalis ; Islam sejatinya tidaklah bertabias sosialis
……….. Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencinta dan bekerja untuk
rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat masuk darul-Islam?
Islamisme yang memusuhi
pergerakan Nasional bukanlah Islamisme yang sejati; islamisme yang demikian
adalah islamisme yang kolot, islamisme yang tidak mengerti aliaran zaman… ”
Disini soekarno
menegaskan , meskipun islam tidak mengenal batas-batas geopolitik, karena
mendasarkan diri pada persahabatan umat anusia, tidaklah pada tempatnya kalau
islam menentang gerakan nasioanalisme. Nasionalisme hanyalah ungkapa rasa cinta
terhadap tenah air dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan Islam
Islamisme
dan Marxisme
“ Kalau Islam tidak
boelh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula!,
meer waarde, sepanjang faham marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada
riba sepanjang faham islam.
Jadi dalam hal ini
Soekarno ingin menekankan bahwa nilai lebih yang tidak dikehendaki dalam marxisme
adalah pula hal yang dilarang dalam Islam. Dalam Islam orang dilarang memungut
bunga atau riba. Soekarno pula menyadari terdaptnnya perbedaan pandangan atau
asas antara Islam dan Marxisme tetapi justru hal tersebut apa bila dapat
dipersatukan akan mempunyai arti sangat besar.
Marxisme
,Islamisme dan Nasionalisme
“ Adapun teori marxisme
telah berubah pola…… marx dan Engels bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan
aturan-aturan untuk segala zaman.”
Perubahan taktik dan
perubahan teori itulah yang menjadi sebab maka kaum marxisme yang “muda” baik”
sabar” maupun yang “ keras”, terutama di
Asia mau menyokong pergerakan nasioanal yang sungguh-sungguh.
Itulah sebabnya maka
gerakan maxisme di Indonesia ini harus pula menyongkong pergerakan-pergerakan
kita yang Nasionalis dan Islamis yang mengambil otonom itu sebgai maksudnya
pula.
Dari cuplikan
pendapat-pendapat tentang Nasioanlisme Islamisme dan Mrxisme terlihat bahwa
Soekarno berusaha mencari titik-titik yang dapat dipertemukan, walaupun bila
ditinjau dengan lebih dalam titik temu tersebut tidak didasari dengan alasan
yang kuat, hanya berusaha menyatukan dalam satu “commond denominator”[12] dan
menjadi satu kekuatan.
Pada mulanya
nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno adalah anti kolonialisme dan
imperialisme saja, kemudian berkembang menjadi bersifat anti unsur-unsur
liberal barat. Bagi Soekarno nasionalisme yang berkembang di barat berbeda yang
berkembang di Asia umumnya dan di Indonesia khususnya. Nasionalisme yang ada di barat mempunyai
ciri-ciri komersialisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme, maka
nasionalisme di timur (Asia) khususnya di Indonesia bersifat anti kolonialisme
dan imperialisme.
Basis bersatunya
kalangan marxis non-sektarian, nasionalis kiri progresif dan muslim akan
menjadi lawan imperalisme dan eksploitasi ekonomi sebagaimna tergambar jelas
pada eksploitasi kerja (riba dalam konsep islam). Perlawanan harus berjalan terhadap
“eksploitasi bangsa oleh bangsa dan eksploitasi manusia oleh manusia”.[13]
Untuk melawan elemen-elemen dalam masyarakat Indonesia yang bersekutu dengan
kepentingan (imperalis) barat adalah dengan memperkuat kelas-kelas rakayat.[14]
Mobilasi massa sebagai kunci perubahan masyarakat Indonesia sekaligus dapat
melapangkan jalan bagi tranformasi menurut cita-cita sosilaisme. Gerakan
massa sebagai alat pembangkit kaum tani
dan buruh dari jeratan kekusaan kolonial. Mobilisasi kekuatan-kekuatan rakyat
ini memainkan peranannya dalam memperjuangkan berbagai permintaan ekonomi dan politik,
dari kenaikan upah dan pengawasan harga hingga pembagian tanah serta
nasionalisasi perusahan-perusahan asing. Dengan adanya konsepsi-konsepsi yang
digagas oleh Soekarno Indonesia menujukan kekuatanya tidak hanya tingkat
nasional namun hingga Internasional. Percaturan dunia Indonesia mulai menujukan
peranan dalam kacah Internasional serta reaksi Indonesia terhadap Isu-isu
global.
Soekarno tidak hanya
berkisar pada masalah politik saja melainkan juga meliputi bidang perekonomian.
Prmikirsn Soekarno dalam bidang ekonomi di mulai untuk pertama kalinya pada tahun 1932-an. Alam pemikiranya di
bidanang ekonomi dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sosialis Eropa.
Tulisan-tulisannya seperti Demokrasi
Politik, Demokrasi Ekonomi, Kapitalisme Bangsa Sendiri?, Sekali lagi tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi
atau Mencapai Indonesia Merdeka. [15]
b.
Dengan mengggunakan ideologi Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan
Soekarno.
Ir.
Soekarno merupakan intelektual indonesia, yang sepanjang hidupnya selalu
berusaha merealisasikan obsesinya untuk mewujudkan sebuah negara Indonesia yang
bercirikan sosialis. Sedari muda, Soekarno sudah aktif dalam kegiatan-kegiatan
yang berbau politik, dimulai dengan membuat kelompok studi hingga mendirikan
partai politik.
Soekarno
memiliki sikap tegas terhadap pemerintahan kolonial belanda yang telah menjajah
Indonesia selama lebih dari tiga setengah abad. Ketegasan soekarno tidak lain
adalah untuk tidak mau bekerjasama dengan pihak kolonial belanda.
Pemiliran
politik soekarno semuanya berangkat dari satu central point yang sama, yaitu kebenciannya kepada kapitalisme,
imperialisme, dan kolonialisme. Kebencian ini kemudian menjadi corak tersendiri
yang membentuk struktur pemikiranya yang cenderung bertoleransi kepada semua
musuh-musuh kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Kemudian dalam rangka
memerangi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme beliau mencoba memadukan
tiga arah pikiran idiologis utama yang berkembang pada waktu itu yaitu islam,
nasionalis, dan komunisme yang kemudian disebut dengan Nasakom.
Kemudian
munculah istilah marhaenisme. Istilah ini muncul pada masa partindo. Dimana
dalam suatu konferensinya tahun 1933 di kota mataram, Partindo telah mengambil
keputusan tentang marhaen dan marhaenisme yang salah satu isinya sebegai
berikut:
1. marhaenisme, yaitu sosio nasionalisme dan sosio
demokrasi,
2. marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani
Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3. Marhaenisme adalah azaz yang menhendaki sususnan untuk
mencapai susunan masyarakat dan sususnan negeri yang didalam segala halnya
menyelamatkan marhaen.
4. Marhaenisme adalah cara perjuangan untuk mencapai susunan
masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus
suatu cara perjuangan yang refolusioner.
5. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan azaz yang
menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme
6. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang
menjalankan marhaenisme.
Bagi marhaenisme, internasionalisme harus dibarengi oleh nasionalisme atau
patriotisme dan disebut sosio nasionalisme. Sosio demokrasi meliputi demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik hanya akan melahirkan
political power centris yang menyuburkan lairan yang berpedoman pada adagium
" The survival of the fittest ", dalil sosial Darwinisme.
Demokrasi politik yang seperti ini berwatak liberalisme dan menjurus kepada
free fight competition dan bertentangan dengan marhaenisme yang sosialistis.
Dengan demikian demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sejajar dengan marhaenisme.
Apabila marhaenisme dikembangkan maka akan melahirkan :
1. Sosio nasionalisme
menjadi nasionalisme, perikemanusiaan.
2. Sosio demokrasi
menjadi demokrasi, kedaulatan politik dankeadilan sosial.
Bung Karno dalam menjelaskan marhaenisme tidak pernah keluar dari benang
merah yang telah digariskan sejak tahun 1927 tentang marhaenisme, diantaranya :
1. Marhaen adalah kaum
melarat Indonesia yang terdiri dari buruh, tani, pengusaha kecil, pegawai
kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil lainnya. Soekarno sering menyebutkan
marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh imperialisme.
2 Marhaen Indonesia ada
yang berdomisili di pantai, di gunung, di dataran rendah, di kota, di desa dan
dimana saja. Marhaen itu ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan
ada juga yang menganut animisme. Marhaen Indonesia ada yang kyai, pastor,
pendeta, biksu, mpu atau dukun di kalangan PSII, Budi Utomo, TNI, KORPRI dan
dimana saja.
3. Kaum marhaen sesuai
dengan kodratnya berupaya melepaskan belenggu kemiskinan dan mengharapkan
terjadinya perbaikan nasib.
4. Marhaenisme adalah
ideologi yang bertujuan menghilangkan penindasan, penghisapan, pemerasan,
penganiayaan dan berupaya mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, melalui kemerdekaan nasional, melalui demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi.
5. Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana kemerdekaan itu hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur, dan jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa.
5. Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana kemerdekaan itu hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur, dan jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa.
Istilah
ideologi pertama kai diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1754-1836) yang
mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang idea.
Sebagai
sebuah dasar gerakan politik, yang memuat konsep masyarakat yang dikehendaki
maka marhaenisme sudah memenuhi syarat untuk disamakan dengan sebuah idiologi.
Sebagai sebuah idiologi tentunya marhaenisme tidak akan terlepas begitu saja
dari kecenderungan-kecenderungan yang dialami oleh setiap idiologi. Bahwa suatu
saat marhaenisme akan menghasilkan suatu kesadran palsu. Namun sebagai sebuah
odiologi progresif, marhaenisme sebenarnya merupakam suatu counter idiologi
terhadap ideologi reaksioner yang dipresentasikan oleh imperialisme belanda di
indonesia.
Cita
–cita marhaenisme bukan sekedar untuk mengusir penjajah beland, tetapi lebih
penting lagi adalah mengenyahkan idiologi kapitalisme di muka bumi. Cita-cita
ini didasarkan pada kepercayaan marhaenisme bahwa kapitalisme adalah penyebar
kesengsaraan, kemiskinan, peperangan dan rusaknya susuna dunia (Soekarno,1964,
hal. 181)’.
Penolakan
terhadap idiologi kapitalisme merupakan kecenderungan wajar dari hampir semua
negara baru. Menurut Lyman Tower Sargent (1986) kapitalisme yang mereka tolak
adalah kapitalisme laissez-faire yang menyebabkan munculnya istilah sosialisme
nagi setiap sistem ekonomi yang bukan kapitalis,
Sebagai
sebuah idiologi yang sosialis, marhaenisme pun disyaratkan untuk menjadi
pembebas dan penebus segala kesengsaraan rakyat indonesia yang diakibatkan oleh
imperialisme belanda. Karenanya marhaenisme secara material harus mampu
menjebatani kesenjangan yang terjadi antara realitas sosial dengan kesadaran
aktual massa serta menjelaskan kondisi sosial masyarakat secara historis. Sebab
jika tidak maka marhaenisme akan terjebak menjadi sangat idiologis menjadi
suatu jalinan pemahaman yang tidak ilmiah, sekedar sebagai kesadaran palsu, dan
juga tidak tertutup kemungkinan menjadi klaim-klaim pembenar kekuasaan secara
tidak wajar.
Marhaenisme
dikembangkan oleh Soekarno sebagai alternatif terhadap konsep ploretarnya
analisa Marxis. Dalam tulisannya yang berjudul ‘marhaen dan ploretar’ yang
dimuat dalam fikiran rakyat 1933
Soekarno menemukakan mengenai dasar-dasar pokok marhaen dan marhaenisme. Di
situ Soekarno berusaha menghubungkan antara marhaenisme dengan marxisme. Ia
antara lain menulis [16]
“marhaenisme adalah asas yang mengendaki susunan masyarakat dan
susunan negeri yang di dalam segala hal nya menyelamatkan marhaen. Marhaenisme
juga cara perjuangan untuk mencapai susuanan masyarakat dan susunan negeri yang
demikian itu, yang karenanya harus cara perjuangan yang refolusioner. Jadi
marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap
kapitalisme dan imperialisme”.
Dari tulisan itu tampak
bahwa tujuan marhaenisme adalah untuk mengankat derajat manusia indonesia.
Marhaenisme itu sendiri
menegaskan bahwa sama dengan pancasila, karena marhaenisme itu meliputi
ketuhanan Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Di samping itu
di tegaskan pula bahwa PNI adalah partai yang terutama didirikan oleh Soekarno
dan marhaenisme adalah ajaranya.
Karena marhenisme sama
dengan pancasila, sama dengan prinsip-prinsip ketuhanan Yang Maha Esa,
sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi, maka PNI pada saat itu menolak
usaha-usaha yang ingin memperdamakan marhaeniseme dengan marxisme. Sejak itulah
istilah ‘marhaenisme adalah pancasila’ dan ‘marhaenisme ajaran Bung Karno’
semakin ditonjolkan oleh PNI.
Kemudian Soekarno
menawarkan gagasan ideologi yang berisi 5 prinsip dasar. Dalam pidatonya
dihadapan BPUPKI tanggal 1 juni 1945. 5 prinsip dasar tersebut yaitu:
1. Kebangsaan indonesia
2. Internasionalisme (peri kemanusian)
3. Mufakat (demokrasi)
4. Kesejahteraan sosial
5. Menyusun indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha esa.
Kelima prinsip itulah
yang dinamkan sebagai pancasila. Namun dalam kesempatan tersebut Sokarno tidak
menawarkan harga mati. Konsep ini masih terbuka dalam arti masih bisa dirubah.
Dapat diartikan pula
bahwa marxist Soekarno adalah marxist yang berpancasila, yaitu marxisme yang
berKetuhanan Yang Maha Esa, berlawanan dengan marxisme-Leninis yang ateis sebab
meletakkan ekonomi di atas segala-galanya untuk segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini, sehingga unsur agama dan Ketuhanan menjadi hilang perananya. Uraian
Soekarno tentang masyarakat sosialis Indonesia sebagai masyarakat yang
berpancasila, juga tulisanya mengenai siapa itu proletar dan siapa itu marhaen,
serta pendapatnya mengenai filsafat historis materilisme dan liberlisme dapat
menjelaskan siapa dan bagaimana Soekarno itu.
c.
Gerakan Berdikari Soekarno
Konsep berdikari
pertama kali diucapkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1964, di mana
pada saat itu Bung Karno mengemukakan konsep Trisakti, yaitu: berdaulat dalam
bidang polititk, berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dalam bidang ekonomi,
dan berkepribadian dalam kebudayaan. Menurut Bung Karno ketiga prinsip tersebut
tidak dapat dipiahkan satu sama lain. Sebuah negara tidak akan mampu berdikari
dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan jika tidak berkedaulatan
dalam politik. Demikian pula sebaliknya, tanpa berdikari dalm ekonomi mustahil
sebuah negara dapat mewujudkan kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Konsep berdikari
dijabarkan lebih jauh oleh Presiden Soekarno dalam pidato Tahun Berdikari, 17
Agustus 1965. Pidato ini dibuka dengan paparan situasi politik nasional pada
saat itu, mulai dari pemberontakan diberbagai daerah hingga konfrontasi dengan
Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Kemudian Bung
Karno memberikan ulasannya tentang situasi politik internasional, mulai dari
perang dingin, kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Konsep berdikari
tidak dapat dipisahkan dari situasi politik saat itu, dimana kondisi politik
nasional dan internasional pada saat itu memberikan tekanan yang sanagt kuat
terhadap perekonomian Indonesia yang masih berusia sangat muda. Hal tersebut
tentu saja dapat mengancam keberlangsungan eksistensi negara Indonesia. Untuk
itu, menurut Bung Karno, diperlukan usaha “memperkuat ketahanan revolusi”. Dan
berdikaripun sejatinya diciptakan untuk memperkuat ketahanan revolusi
Indonesia.
Dalam pidato Tahun
Berdikari Bung Karno, 17 Agustus 1965, menyebutkan bahwa berdikari pada
prinsipnya merupakan usaha menjadikan kekuatan sendiri sebagai landasan utama
pembangunan ekonomi. Pemeritah dan rakyat harus mengoptimalkan potensi kekayaan
alam Indonesia dengan beragam penemuan. Diharapkan nilai ekspor akan semakin
besar, serta koperasi dan perusahaan negara mampu menjadi moto penggerak dalam
proses ini. Konsep ekonomi berdikari Soekarno pada waktu itu dapat disebut juga
sebagai Ekonomi Terpimpin.
Sejarah perekonomian
Indonesia pada tahun 60-an atau pasca rangkaian pemberontakan daerah di akhir
tahun 50-an masuk ke dalam krisis ekonomi yang hebat.
Pemberontakan-pemberontakan diberbagai daerah telah menghabiskan uang negara
untuk menghentikannya. Di tambah lagi produksi dalam negeri merosot tajam
setelah aksi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yang kemudian tidak
diurus dengan baik. Terlebih lagi mata uang yang mencair akibat inflasi yang
begitu tinggi, sumber daya alam yang kurang terurus pula karena tidak adanya
satu dasar kebijakan yang pasti tentang penanaman modal asing dalam
perekonomian Indonesia. Selain itu, perkembangan ekonomi Indonesia pasca
kemerdekaan sangat terkait pada struktur ekonomi warisan kolonial Hindia
Belanda (HB) dan pada sekitar abad 19 dibukanya modal swasta Belanda dan Eropa
Barat lainnya.
Masuknya modal swasta
ke Indonesia telah mengakibatkan “ekonomi ganda”, dimana sektor asing adalah
sektor yang paling padat modal yang menghasilkan produk-produk pertanian untuk
ekspor, dan sektor pribumi yang mengusahakan tanaman pertanian hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Karena permintaan ekspor yang meningkat pasti
membutuhkan tenaga kerja yang murah dan lahan yang luas. Terlebih lagi dengan
beroperasinya modal swasta asing melahirkan berbagai sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk keperluan bisnis. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa sistem
liberal yang kapitalistik semakin menjelama di Indonesia. Maka dari itu, untuk
keluar dari krisis tersebut Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan Deklarasi
Ekonomi (DEKON) sebagai langkah kebijakan ekonomi jangka pendek. Kebijakan
tersebut di ambil oleh Presiden Soekarno untuk mengatasi ekonomi dengan arah
dan tujuan untuk Berdikari.
Selain membuat
Dekralasi Ekonomi (DEKON), pada saat itu setelah perjanjian KMB pemerintah
Indonesia yang di pegang oleh Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai pemenang
pemilu 1955 merencakan pembangunan untuk 5 tahun ke depan yang lebih di kenal
dengan Rencana Lima Tahun (RIT) 1956-1960. Salah satu programnya yaitu program
pergantian ekonomi kolonial menjadi menjadi ekonomi nasional. Rencana Lima
Tahun ini mengisyaratkan dua hal, yaitu:
1. Perlunya
suatu sistem perencanaan yang terpusat dan perlunya pemerintahan memainkan
peran yang lebih besar dalam melaksanakannya.
2. Perlunya
untuk membentuk perusahaan negara yang nantinya mampu untuk membentuk golongan
pengusaha Pribumi yang mampu untuk mengimbangi para pengusaha keturunan
Tionghoa dan donimasi modal asing.
RLT menekankan pada
perbaikan posisi neraca alat-alat pembayaran luar negeri pendapatan alat-alat
luar negeri dalam waktu yang singkat. Karena pendapatan dari ekspor akan
digunakan untuk usaha-usaha industrialisasi dan pembangunan untuk memperbesar
pendapatan nasional perkapita. Perencanaan ekonomi sejak tahun 1950 sampai 1957
lebih banyak terarah pada pengaturan perdagangan luar negeri, pengaturan ekspor
dan impor untuk mendapatkan devisa. Hai ini terlihat dari dua program utama
pada periode ini, yaitu diberlakukannya sistem Bukti Ekspor dan lisensi impor
(program Benteng). Namun, pada praktiknya RTL ini mengalami permasalahan, yaitu
masalah rasial keturunan Tionghoa dengan “Gerakan anti-Cina” yang mendapat
dukungan dari pedagang-pedagang eceran Pribumi yang kedudukan ekonominya lebih
lemah dari pedangan Tionghoa dan
perdagangan gelap di daerah.
Perencanaan-perencanaan
yang dirumuskan memperlihatkan satu keinginan untuk menciptakan ekonomi
nasional yang tangguh dan stabil, tetapi sebagai suatu negara yang baru
merdeka, Indonesia tidak mampu untuk keluar dari struktur ekonomi yang ada. Hal
ini disebabkan kelangkaan modal dan perubahan-perubahan politik yang terjadi di
luar dugaan. Sementara itu, perbedaan dalam haluan politik untuk menciptakan
ekonomi nasional masih terperangkap sebagai program singkat dari satu kesatuan
politik yang berkuasa pada saat itu. Dengan kata lain, program ekonomi dibuat
hanya berdasarkan keadaan darurat sehingga pelaksanaannya terarah pada
persoalan-persoalan yang sifatnya mendadak.
Hal tersebut lah yang
muncul sebuah pandangan politik dan ekonomi yang merasa tidak puas terhadap
pola perencanaan tetenan ekonomi yang ada. Mereka mengatakan bahwa perekonomian
dan politik yang dijalankan Indonesia sejak tahun 1950 tidak dilandasi oleh
semangat yang revolusioner. Karena itu, harus dikembalikan lagi ke dasar
pemikiran pendirian Republik Indonesia pada 1945, yaitu semangat yang
menggelora dalam melakukan tindakan-tindakan yang revolusioner. Dengan
demikian, Soekarno mulai menyuarakan pentingnya melanjutkan revolusi dengan
demokrasi dan ekonomi terpimpin sebagai pegangan dalam menjalankan kepemerintahan.
Tindakan Soekarno
adalah kembali ke UUD 1945 dan semangat revolusi. Sebagai satu bagian adalah
Ekonomi Terpimpin (ET) atau yang dapat disebut juga sebagai Ekonomi Berdikari
dapat berjalan dengan baik apabila dijalankan bersamaan dengan mekanisme Manipol/USDEK,
diharapkan kebijakan ekonomi yang dilakukan mampu mengatasi
permasalahan-permasalahan perekonomian yang ada di Indonesia.
Ekonomi Terpimpin
dengan membentuk perusahaan-perusahaan negara yang terbagi dalam empat jenis,
yaitu: pertama, perusahaan yang mengelola kekayaan bumi dan air; kedua,
perusahaan yang meliputi produksi penting bagi negara yang meliputi produksi
penting bagi negara dan meliputi haat hidup orang banyak; ketiga, perusahaan
yang vital menurut kebijaksanaan pemerintah; keempat, perusahaan swasta dengan
prinsip modal 50% swasta dan 50% pemerintah dan hak untuk mengontrol
manajemennya di tangan pemerintah. Semua bentuk perusahaan tersebut akan
dipimpin secara bersama antara pimpinan perusahaan dan pimpinan pribumi.[17]
Ekonomi terpimpin dalam
masyarakat sosialis Indonesia ini mengacu pada “Pasal 33 UUD 1945” Soekarno
mengatakan bahwa Ekonomi terpimpin menghendaki kegotong royongan
dibidang ekonomi. Menurut Soekarno sistem ekonomi itu mengandung tiga unsur
yakni kepentingan bersama yang ditetapkan bersama, usaha bersama yang
dilaksanakan bersama, dan pemimpin bersama yang dimufakati bersama.[18]
Sosialisme Indonesia
mengejar terwujudnya suatu tata perekonomian yang disusun sebagi usaha bersama.
Berpedoman bahwa kemakmuran masyarakatlah yang harus senantiasa diutamakan dan
bukan kemakmuran perseorangan. Sosialisme yang bertujuan sebagai usaha dalam
lapangan ekonomi dan keuangan serta melenyapkan penjajahan dalam bentuk apapun.
Sosialisme Indonesia
adalah gotong royong berdasarkan pancasila. Ditambah lagi bangsa Indonesia
adalah bangsa yang kaya akan sumber daya alamnya, sehingga dapat dimanfaatkan
dengan sebaik baiknya.[19]
Menghadapi persoalan
ekonomi Indonesia yang semakin tidak menentu, serta polarisasi politik yang
semakin yang semakin menakam antara pusat dan daerah maka pada 1957, diadakan Musyawarah Nasional (MUNAS). Munas ini
melahirkan ide untuk mengadakan pembicaraan pembicaraan lebih luas untuk
meninjau perkembangan ekonomi Indonesia.
Selain itu pada periode
1959-1965 mencakup beberapa bidang, diantaranya dalam bidang ekonomi dan
politik. Dalam bidang ekonomi untuk mencapai masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pancasila yang disusun berdasarkan serangkaian Rencana Pembangunan
Nasional jangka panjang (RPJP). Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahapan pertama (RPNSB) Pada tanggal 15
Agustus 1959 dibentuk Dewan Perancang
Nasional (Depernas). Di bawah pimpinan Mr. Muh. Yamin sebagai wakil menteri
pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Adapun
tugas BAPPENAS menurut Penpres dalam Mustopadidjaja (2012:84), tersebut adalah
:
1.
Menyusun rencanan
pembangunan nasional jangka panjang, termasuk rencanan pembangunan daerah dan
pembangunan masyrakat desa
2. Menyusun
rencanan pembangunan tahunan
3. Mengkoordinasi
semua usaha persiapan perencanaan dan persiapan pelaksanaan pembangunan
4. Menilai
dan mengawasi pelaksanaan rencanan pembangunan
5. Melakukan
usaha – usaha penelitian dan penyelidikan untuk keperluan perencanaan
pembangunan
6.
Menyempurnakan pola Perencanaan Semesta
Berencana pertama
Selain ittu di bentuk
pula Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang merupakan
langkah yang diambil presiden Soekarno untuk perbaikan ekonomi di Indonesia
secara menyeluruh. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi terpimpin
Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi
adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah
diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Dekon ini mempunyai program
dengan bekerja membuat berbagai kebijakan diantaranya adalah
- Diciptakan
susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari
sisa-sisa Imperialisme dan Feodalisme.
- Ekonomi
sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia. Dimana
tiap orang dijamin mendapat pekerjaan, sandangpangan, perumahan serta
kehidupan kultural dan spiritual yang layak.
Dan untuk memenuhi
hasrat rakyat Indonesia melaksanakan prinsip “berdiri diatas kaki sendiri”,
maka di dikeluarkanlah Penpres pada
tanggal 24 April mengenai penempatan semua perusahaan asing di Indonesia yang
tidak bersifat domestik di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia.
Belum puas dengan membentuk berbagai badan menangani kemelut perekonomian ini,
maka Soekarno telah membentuk pula sebuah badan lain bernama Dewan Pangan
Nasional.
Pada akhirnya Ekonomi
Tertinggi yang dijalankan untuk mencapai masyarakat sosialis ala Indonesia
sampai pada tahun 1963 belum memperlihatkan jalan terang. Hal tersebut juga
dipertegas oleh Soekarno pada tahun 1964 bahwa untuk menciptakan masyarakat
sosialis diperlukan kerja keras untuk memajukan revolusi nasional demokratis.
Sosialisme ala Indonesia sangat bergantung pada kemajuan jalannya revolusi
nasional tersebut. Keadaan tersebut diperparah setelah Soekarno tumbang dan kemudian
diganti dengan Soeharto atau yang dapat disebut juga sebagai rezim Orde Baru
tahun 1990-an. Dalam menghadapi gejala krisis ekonomi menempuh jalan
berkompromi dengan kebijakan ekonomi yang jauh lebih liberal dan membuat
Indonesia semakin terperosok dalam krisis ekonomi. Indonesia pada tahun 1990-an
benar-benar menjelma menjadi negara dengan pintu terbuka bagi dominasi modal
asing melalui serangkaian kebijakan liberalism perbankan dan investasi dan upah
buruh yang murah.
3.
Nasib revolusi Indonesia
setelah Soekarno tumbang
a.
Kudeta Soekarno
Sesudah
Peristiwa 30 September 1965 meletus, muncullah akronim-akronim seperti “Gestapu-PKI” , “G30S/PKI” , dan lain-lain. Akronim-akronim itu dengan
sengaja mengkaitkan Peristiwa 30 September dengan PKI, sesuai dengan maksud
yang ingin dicapai oleh penguasa Orde Baru yaitu bahwa PKI-lah dalangnya dan
PKI secara keseluruhan terlibat dalam peristiwa tersebut, serta lebih lanjut
dengan tujuan memukul PKI. Tindakan demikian terhadap suatu partai politik
tidak pernah terjadi sebelumnya. Tetapi Presiden Soekarno mengemukakan akronim
yang lain untuk peristiwa itu, yaitu Gestok ( Gerakan Satu Oktober ) yang
secara jelas tidak mengkaitkan peristiswa itu dengan PKI. Dua akronim yang
secara harfiah berbeda itu pasti akan menimbulkan pertanyaan bagi siapa saja
yang menginginkan kebenaran, keadilan dan kejelasan, dan akan bertanya benarkah
PKI menjadi dalang dan terlibat dalam peristiwa itu. James Luluhima mengatakan
bahwa mulai tanggal 1 oktober 1965, Presiden Soekarno bukan lagi merupakan
satu-satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Pada hari yang sama, Soeharto
juga telah memegang kendali angkatan darat dari tangan Ahmad Yani.[20]
Selama dua dasawarsa masalah benar tidaknya PKI menjadi dalang ini oleh
penguasa Orde Baru terus diputarbalik, dikisruhkan dan dibikin gelap. Media
pers dilarang memberitakan keadaan obyektif peristiwa itu, bahkan beberapa
harian yang melakukan itu segera kena bredel.Semua ini dengan maksud dan tujuan
agar belang mereka yang sesunggguhnya tidak tersingkap di depan rakyat
Indonesia, dan segala “dosa” dapat terus ditumpahkan kepada PKI dan golongan
patriotik lainnya. Untuk menutupi siapa penjahat sesungguhnya dan apa kejahatan
yang sebenarnya serta meng- hindari dari reaksi keras opini umum dunia, elite
penguasa Orde Baru menggunakan jubah hukum, “ rule of law ”, menyeret beberapa
tokoh PKI ke depan meja hijau. Tetapi lebih dari SATU JUTA anggota PKI,
simpatisan PKI dan golongan demokrat dan patriotik lainnya, dibunuh dengan
kejam tanpa proses hukum, dipenjarakan atau dibuang dalam waktu panjang tanpa
diadili.
Pemimpin-pemimpin PKI yang mereka “
adili ” , menjadikan mimbar pengadilan rezim fasis sebagai ajang perjuangan
berhadapan muka dengan pihak rezim fasis yang berkuasa. Dari kedudukan sebagai
terdakwa mereka ubah menjadi pendakwa terhadap segala kejahatan dan kebiadaban
rezim fasis Soeharto. Tetapi di pihak lain penguasa Orde Baru tidak berani
membawa pemimpin-pemimpin utama PKI ke depan apa yang dinamakan Mahmillub.
Mereka takut perbuatan keji dan pemutarbalik aan yang mereka lakukan terbuka di
depan khalayak ramai di dalam dan di luar negeri. Oleh karena itu “ rule of law
” mereka campakkan dan pemimpin-pemimpin utama PKI yaitu: D.N.Aidit, M.H.Lukman
dan Nyoto, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua CC PKI, mereka bunuh dengan kejam, tanpa
melalui proses pengadilan apapun.
Kontradiksi antara rakyat Indonesia
di satu pihak dengan kaum reaksioner yang didukung oleh imperialisme di pihak
lain adalah suatu kontradiksi yang secara obyektif ada dalam masyarakat
Indonesia yang neo-koloni dan semi-feodal. Dan adanya kontradiksi ini
sedikitpun tidak ter- gantung pada kemauan siapapun atau kelompok manapun.
Kontradiksi antara kekuatan rakyat yang mau mempertahankan serta
mengkonsolidasi kemerdekaan nasional dan kedaulatan negara , yang mau mengisi
kemerdekaan politik dengan pembangunan ekonomi nasional yang memakmurkan
seluruh rakyat di satu pihak, dengan kekuatan-kekuatan yang mau memperta-
hankan ketergantungan ekonomi pada imperialis, kekuatan-kekuatan kabir,
komprador dan tuan tanah feodal di pihak lain. Kontradiksi itu dengan nyata
dapat dilihat dari usaha kaum reaksioner dalam negeri dengan bantuan serta
dukungan dari kaum imperialis, khususnya kaum imperialis Amerika Serikat, untuk
menjadikan Republik Indonesia negeri yang sepenuhnya tergantung dan menjadi
satelit imperialis Amerika Serikat. Usaha-usaha mereka itu terlihat dalam wujud
seperti upaya kup-kup militer maupun pemberontakan-pembrontakan terhadap
pemerintahan yang syah yang muncul tak henti-hentinya. Misalnya, pembrontakan-pembrontakan
DI/TII (Sekarmadji Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi
Selatan dll.); Pembrontakan PRRI/PERMESTA ( Dewan Banteng dengan Letkol. Achmad
Hussein di Sumatera Barat, Dewan Gajah dengan Letkol. Maludin Simbolon di
Sumatera Utara,Dewan Garuda dengan Letkol. Barlian di Sumatera Selatan,
Permesta dengan Letkol. Ventje Samual dan Saleh Lahade di Sulawesi ) di
tahun-tahun 1957-1958, dan usaha Kup 17 Oktober 1952 dan usaha Kup Kolonel
Zulkifli Lubis pada tanggal 16 November 1956. Presiden Soekarno sebagai seorang
patriot Indonesia yang gandrung akan persatuan semua kekuatan revolusioner,
berusaha keras mewujudkan “ samenbundeling van alle revolutionaire krachten ”di
Indonesia melawan kaum reaksioner dalam negeri dan kaum imperialis Amerika.
Beliau berusaha keras menjadikan Indonesia suatu negeri yang benar-benar
menjalankan politik luar negeri “ bebas aktif ” dan
anti-kolonialisme-imperialisme. Usaha Presiden Soekarno itu sudah tentu tidak
disukai dan ditentang oleh kaum reaksioner Indonesia dan imperialisme Amerika
Serikat, dan beliau dianggap sebagai penghalang besar bagi ambisi jahat mereka.
Sukarno sebagai pemimpin negara tetap berbeda haluan dengan Soeharto sebagai
pemimpin angkatan darat. Perbedaan itulah yang kemudianmenentukan segalanya
bagi Bangsa Indonesia, termasuk kehidupan Soekarno. Sikap kukuhnya
mempertahankan PKI denga alasan belum ada bukti yang jelas justru menjadi angin
segar bagi Soeharto untuk memdesak pada kejatuhan total. [21]
Mereka tidak segan-segan mengambil cara keji dengan melakukan percobaan
pembunuhan terhadap beliau. Hal-hal itu dapat dilihat dari serentetan
fakta-fakta berikut ini: Peristiwa Cikini (1957), Peristiwa Maukar (1960),
Peristiwa Idhul adha (1962) dan Peristiwa Makasar (1962).[22]
Dari peristiwa-peristiwa yang
dikemukakan di atas jelas, bahwa kaum reaksioner dalam negeri dan imperialisme
berusaha keras untuk menggulingkan pemerintahan yang maju dan membunuh Presiden
Soekarno, serta menegakkan pemerintahan yang sepenuhnya pro - Amerika Serikat
dan mengganti Presiden Soekarno dengan seorang boneka yang sepenuhnya mengabdi
mereka, tidak berhenti dari satu percobaan ke percobaan yang lain. Di samping
itu, jelas pula terlihat bahwa peristiwa-peristiwa itu mempunyai ciri-ciri
selalu dibenggoli oleh perwira tinggi Angkatan Darat yang pro-Barat dan yang
sangat anti Komunis sebagai inti yang memainkan peranan utama di dalamnya. Setelah
Konstituante hasil pemilihan umum yang pertama kali diadakan di Indonesia, yang
jauh lebih umum ,bebas, rahasia dan demokratis ketimbang tiga kali pemilihan
umum di bawah Rezim Soeharto, gagal melaksanakan tugasnya untuk menyusun UUD
yang baru, keluarlah Dekrit Presiden kembali ke UUD ‘45. Situasi politik
Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan maju, khususnya sesudah pidato Presiden
Soekarno 17 Agustus 1959, yang berjudul “ PENEMUAN KEMBALI REVOLUSI KITA ” atau
yang terkenal dengan sebutan MANIPOL . Relevan dengan gagasan sejak mudanya
yang tertuang dalam tulisannya: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, Presiden
Soekarno mengambil langkah mempersatukan semua kekuatan demokratik,
mempersatukan kekuatan nasionalis, agama dan komunis, yaitu apa yang terkenal
dengan NASAKOM , dan menjadikannya sebagai
dasar dari persatuan nasional, untuk menghantam kaum imperialis dan kaum
reaksioner dalam negeri. Tidak hanya itu, beliau juga berusaha memupuk
kekuatan-kekuatan yang berintikan NASAKOM , melakukan retuling atas
aparatur-aparatur negara yang tidak sesuai dengan jiwa MANIPOL.[23]
Langkah langkah ini merupakan pukulan bagi kaum imperialis dan kaki tangannya.
Politik anti-imperialis dan anti-kaum reaksioner dari Presiden Soekarno ini
mendapat sokongan penuh dari kekuat- aan progresif untuk lebih lanjut
mengembangkan diri. Tetapi satu kekurangan penting pada masa itu adalah, bahwa
program ekonomi pemerintah Soekarno mengalami kegagalan yang cukup berat.
Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan Presiden Soekarno tidak mencapai hasil
yang diharapkan karena intrik dan sabotase dari kabir-kabir untuk menggagalkan
program-program ekonomi tersebut. Tindakan pemerintah Soekarno yang bersifat
anti-imperialis dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan dan
perkebunan-perkebunan asing juga tidak membawa perbaikan ekonomi bahkan
melahirkan kabir-kabir baru di kalangan Angkatan Bersenjata yang mengangkangi perusahaan-perusahaan
yang diambil alih itu dengan menggunakan kesempatan baik bagi mereka dengan
adanya SOB ( Staat van Oorlog en Beleg -- Keadaan Darurat Perang--). Dengan
menempati kedudukan sebagai Presdir-Presdir, perwira-perwira tinggi Angkatan
Darat itu tidak hanya menjadi OKB-OKB ( Orang Kaya Baru ) , tetapi juga telah
menjadi satu lapisan tersendiri yang mengangkangi sektor-sektor penting ekonomi
Indonesia. Dalam hubungan ini seorang sarjana Australia, Richard Robinson, dari
Murdoch University mengatakan: “ Kapitalisme birokrat pada mulanya berhubungan
erat dengan pertumbuhan perusahaan negara. Ketika kepen-tingan perusahaan
Belanda dinasionalisasi pada tahun 1957-1958, sebagian perusahaan itu berada di
bawah militer ”.
Demikian pula tindakan Presiden
Soekarno yang dalam batas tertentu bersifat anti-feodal dengan mengeluarkan
UUPA ( Undang-Undang Pokok Agraria ) dan UUPBH ( Undang- Undang Pokok Bagi
Hasil ) tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena disabot dan
dihalangi oleh tuan-tuan tanah feodal dan kaum reaksioner lainnya. Sesuai
dengan program umumnya, PKI menggunakan semaksimal mungkin hak legal yang ada,
dengan konsekwen menyokong setiap gagasan, politik dan tidakan maju Presiden
Soekarno. Pengaruh PKI makin luas di dalam masyarakat Indonesia; kenyataan ini
tidak hanya diakui oleh kawan dan sahabat tetapi juga oleh lawan dan musuh PKI.
Hal ini tercermin tidak tidak saja pada organisasi PKI yang tersebar luas di
seluruh negeri dan jumlah anggotanya yang besar, tetapi juga secara kongkrit
dalam pemilihan umum pertama, ketika PKI telah keluar sebagai salah satu dari
empat partai besar. Wakil PKI pernah duduk sebagai Wakil Ketua Konstituante.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 peranan dan posisi PKI dalam percaturan
politik Indonesia meningkat dalam batas tertentu. Hal ini terlihat dari
kenyataan, bahwa anggota-anggota PKI atau tokoh-tokoh yang didukung PKI dapat
menduduki posisi penting dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan, seperti
selaku Wakil Ketua MPRS, Wakil Ketua DPRGR, Wakil Ketua DPA, Depernas ( Dewan
Perancang Nasional ), Front Nasional, Menteri-Menteri, Duta Besar dan
pejabat-pejabat tinggi di berbagai Departemen. Di daerah ada yang menjabat
sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, Wakil Ketua DPRD,
Kepala Daerah Tingkat II, Walikota atau Wakil Walikota dan lain-lain. Dari
uraian mengenai situasi Indonesia sebelum terjadinya Peristiwa 30 September di
atas akan terlihat jelas adanya sejumlah besar perwira tinggi AD yang
komunisto- phobi, yang pro-Barat dan sembunyi-sembunyi menyabot dan menentang
politik-politik dan gagasan maju Presiden Soekarno. Mereka itu tidak saja aktif
di bidang militer, tetapi juga di bidang politik, dan di bidang ekonomi telah
muncul lapisan kapitalis birokrat berbaju hijau yang mengangkangi sektor-sektor
ekonomi yang penting. Melalui mereka inilah kaum reaksioner Indonesia dan
imperialis AS hendak mewujudkan ambisi jahatnya yang sudah lama dicita-citakan
yaitu menegak kan kekuasaan pro-Barat di Indonesia dan menggulingkan Soekarno.
Untuk lebih jelasnya ada baiknya dikemukakan fakta-fakta berikut ini:
1. “ Pada
bulan Januari 1965 Jendral A.Yani dan 4 jendral lainnya telah mengadakan
rapat-rapat bersama secara rahasia untuk mendiskusikan situasi politik (yang
dikatakan memburuk). Di kalangan AD ini dikenal sebagai “ General Yani’s
Braintrust ” ( Badan Inti Politik ). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh
salah seorang yang ikut menegakkan Orde Baru, katanya: “ Konon kabarnya untuk
memecahkan berbagai masalah itu sejak beberapa waktu ini di kalangan Markas
Besar AD dibentuk brain trust yang terdiri dari 4 orang. Di samping itu ada
badan yang diwujudkan oleh para Panglima yang jumlahnya 16 orang. Sehingga ada
sebut- aan 4 ditambah 16 perwira tadi merupakan semacam Great Council atau Dewan
Besar pihak tentara yang kalau hendak dicari analoginya dalam kehidupan partai
merupakan politik biro ”.
2. “ Pada tanggal 27 dan 28 Mei Jendral A.Yani sendiri
sebagai Pangad pernah dalam rapat para Panglima Daerah AD menyatakan bahwa
telah dibentuk Dewan Jendral yang tugasnya memberikan penilaian politik ”.
3. “ Pada tanggal 8 Juni 1965 di tempat kediaman
Chairul Saleh dilangsungkan pertemuan antara Jendral A.Yani dan Jendral Haryono
dengan tokoh-tokoh PNI. Dalam pertemuan itu diusulkan oleh Jendral A.Yani dan
Jendral Haryono serta Jendral Soekendro untuk memben- tuk kerja sama antara
PNI-FM dengan TNI/AD untuk melawan PKI. Usul itu ditolak dan tidak mendapat
sambutan dari tokoh-tokoh PNI ”.
4. ” Dalam sidang Mahmillub terungkap fakta bahwa pada
tanggal 21 September 1965 di A.H.M. ( Akademi Hukum Militer ) Jln. Dr.
Abdulrachman Saleh Jakarta berlangsung rapat pleno Dewan Jendral. Rapat ini
dipimpin oleh Jenral S.Parman dan Jendral Haryono serta mensahkan rencana
komposisi Kabinet Dewan Jendral dan menetapkan waktu kudeta, yaitu sebelum Hari
Angkatan Perang 5 Oktober 1965 ”.
5. Setelah meletusnya Peristiwa 30 September, yaitu
pada tanggal 1 Oktober 1965, sejumlah perwira tinggi AD berkumpul di Kostrad (
Komando Strategis Angkatan Darat ) melakukan kegiatan yang menentang
Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno. Kegiatan itu antara lain yalah tidak
diperbolehkannya Jendral Umar Wirahadikusuma (sekarang Wakil Presiden), yang
pada waktu itu sebagai Pangdam V Jaya/Jakarta Raya, yang juga dipanggil
Presiden Soekarno, Soeharto dengan galak dan angkuh mengatakan kepada kurir
pribadi Presiden Soekarno dalam bahasa Belanda: “ Jendral Umar blijft hier ! ”.
6. Dalam sidang Mahmillub, alm.Jendral Soepardjo
mengatakan bahwa ia mempunyai bukti tentang adanya Dewan Jendral dan agar
diizinkan untuk mengambil bukti yang pada waktu itu berada di MBAD ( Markas
Besar Angkatan Darat ), tetapi tidak diperbolehkan oleh pihak penguasa.
7. Suatu kenyataan bahwa, sesudah Soeharto memegang
kekuasaan, segala fungsi dalam kabinet, lembaga-lembaga negara, seperti DPR,
MPR, DPA, MA, BPK, Presdir-Presdir atau Dirut-Dirut Perusahaan Negara,
Gubernur-Gubnernur, Duta-Duta Besar hampir semuanya di- dominasi oleh
perwira-perwira tinggi ABRI, khususnya dari AD.
Dari
fakta-fakta di atas dapatlah dipastikan adanya komplotan Jendral-Jendral ABRI
yang telah melakukan usaha-usaha untuk menumbangkan pemerintah Presiden
Soekarno. Soekarno mendadak “ambruk”. Meski
brusaha memenangkan diri dengan menghimpun kekuatan dan mengumpulkan pendukung,
jiwanya tak bisa stabil. Wajar saja dimana-mana orang menghujatnya. Ia dituduh
sebagai dalang di balik tragadi 30 September 1965. Bahkan, Soekarno dituduh
sebagai agen komunis RRT ( Republik Rakyat Tiongkok). Saat suasana sedang
mendidih, pada malam 11 maret 1966 pukul 19.30 WIB, saas Soekarno sedang makan
malam datanglah utusan Soeharto yakni: Andi M. Jusuf, Basuki Rachmat, Amir
Machmoed ke Bogor. Mereka meminta agar Bung Karno segera menandatangani sebuah
surat yang menyangkut keamanan negara, berikut Soekarno dan keluarganya.[24]
Soekarno merasa bingung dengan keberadaan surat tersebut, terlebih dengan
adanya ancaman jika surat tersebut tidak ditandatangani maka semua rakyat
indonesia akan habis. Oleh karena dengan suasana yang tertekan dengan terpaksa
Soekarno akhirnya menandatanganinya. Menurut penuturan Amir Machmud dari
perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika ia membaca kembali
surat itu alam perjalanan ke Jakarta. Salah seorang perwira tinggi yang
membacanya kemudian berkomentar “lho ini
kan perpindahan kekuasaan”. Belakangan diketahui, dengan pertimbangan
situasi negara yang semakin gawat, dengan keselamatan jiwa dan keluarga itulah
Soekarno memilih menandatangani surat tersebut. Surat itulah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret
1966 (Supersemar) yang menuai
banyak perdebatan.
b.
Kran Imperalisme Modern
Presiden Soekarno
menjadi tokoh revolusi nasional setelah demokrasi terpimpin diterapkan di
Indonesia (1959-1965). Soekarno dalam demokrasi terpimpin berhasil menciptakan
budaya nasional yang progresif bahkan revolusioner. Tujuannya jelas yakni
melawan dan membentengi Indonesia kembali berlaku Neo Kolonialisme dan
Imperialisme (Nekolim) . Secara khusus menolak Indonesia terpengaruh oleh
kekuasaan Kapitalistik Barat. Namun dalam usaha Soekarno tersebut banyak
mendapatkan tantangan dan ancaman dari “musuh” Indonesia yakni negara-negara
barat yang kapitalistik untuk menguasasi Indonesia dengan Amerika Serikat
sebagai negara induk. Inilah yang sering didengung-dengungkan oleh Soekarno
bahwa Revolusi Indonesia belum selesai.
Dengan kondisi
demikian, maka Amerika Serikat dengan CIA, mencoba untuk mengatur strategi
dalam meruntuhkan kekuasaan Soekarno. Amerika Serikat mampu memanfaatkan
kondisi hubungan TNI-AD dan PKI yang semakin meruncing. Dengan memanfaatkan
TNI-AD, Amerika Serikat mencoba membuat skenario yang indah dalam usaha
penghancuran PKI sekaligus menurunkan Soekarno. Dengan Peristiwa G30/S, TNI-AD
berhasil menyingkirkan PKI dengan percobaan kudeta. Akibatnya, PKI dijadikan sebagai
kambing hitam. Hampir 4 juta orang terbunuh dalam peristiwa pembumihangusan
PKI. Kelompok-kelompok yang dari dulu pernah bermasalah dengan PKI dimanfaatkan
oleh TNI-AD untuk menyingkirkan PKI[25].
Peristiwa itu berakar
pada radikalisasi yang semakin mendalam dari organisasi-organisasi revolusi
sosial-PKI, sayap kiri PNI dan organisasi-organisasi massa yang
berafiliasi berkembang dengan cepat
setelah 1962. Perjuangan untuk kekuasaan –bahkan persiapan untuk revolusi
sosial itu sendiri- semakin disituasikan dalam kerangka teoritik perjuangan
antara “dua aspek negara” yakni aspek yang anti dan yang pro rakyat. Kampanye
untuk meretul yakni menyingkirkan pejabat-pejabat konservatif dan kapitalis
birokrat (kabir) dari apparatus negara, serta juga dari organisasi massa,
berkembang menjadi perjuangan yang penting. Terjadi kampanye mobilisasi
menuntut digantinya gubernur dan bupati yang konservatif. Mahasiswa
berdemonstrasi menuntut digantinya dosen-dosen yang konservatif. Beberapa
organisasi massa, seperti persatuan wartawan Indonesia (PWI), menggantikan
pemimpinnya yang konservatif. Tak mengherankan bahwa kampanye retuling[26]
tercermin dengan sendirinya juga dalam militer[27].
Pada 30 september 1965,
perwira pro Soekrano mulai melancarkan retuling
sepihak terhadap komando tinggi ABRI. Masih belum jelas, bila memang ada,
seluruh persekongkolan colonel Untung dan teman-temannya saat mereka
memerintahkan penahanan tujuh jenderal penting dalam komando militer serta
menyingkirkannya agar bisa diganti oleh mereka dan perwira-perwira lainnya yang
pro Soekarno. Tidaklah jelas apakah mereka berencana melakukan retuling yang lebih luas terhadap
apparatus negara di luar kepemimpinan tentara. Ada beberapa teori yang
menyatakan bahwa apa yang dilakukannya merupakan provokasi untuk membuka suatu
kesempatan perwira-perwira pro barat, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto,
merebut inisiatif dan melakukan retuling
mereka sendiri, bukan sekedar di kalangan apparatus negara, tentara, dan sipil
tapi juga masyarakat secara keseluruhan[28].
Pembunuhan massal yang
dilakukan oleh angkatan Darat dan milisi islam sayap kanan sekarang sudah
didokumentasikan dalam beberapa buku. Kebanyakan pengamat memperkirakan bahwa
500.000-2.000.000 orang dibantai. Kebanyakan dari orang-orang tersebut adalah
pemimpin-pemimpin, para aktivis dan pendukung salah satu komponen atau yang
lainnya dari sayap kiri Indonesia yang menginginkan aliansi PKI-Soekarno
menjadi pemimpin. Banyak yang dibunuh,
mati secara mengerikan, sebagai bagian dari kampanye teror. Mereka
dipenggal kepalanya, dikeluarkan isi perutanya, diseret di belakang truk atau,
kalau tidak dengan kejam dibunuh. Sebagai tambahan terhadap pembunuhan
tersebut, ratusan ribu lebih dipenjara antara beberapa bulan sampai setahun,
sering di rumah-rumah penyekapan yang tak diketahui, tak terdaftar. Paling
tidak 12.000 orang kemudian dipenjara selama 10-12 tahun. Puluhan ribu dipecat
dari pekerjaannya, terutama sebagai guru, pegawai negeri sipil, dan buruh
kereta api. Itu merupakan gambaran dari sadisnya pembantaian yang dikarenakan
oleh Angkatan Darat dan Orams-ormas yang membantunya[29].
Soekarno tak bisa
menahan para algojo-algojo membantai bangsa yang telah diperjuangkannya sejak
muda tersebut. Hatinya kacau sedih dan gundah. Cita-cita Soekarno dalam sebuah
revolusi nasional berbentuk Trisakti berehenti di tengah jalan. Benar apa yang
ia katakan berulang-ulang bahwa revolusi Indonesia belum selesai. Meskipun kita
telah merdeka, namun tatanan negara yang kuat dan kokoh belum terwujudkan. Itu
berhenti ditengah jalan ketika Soekarno tumbang oleh percobaan kudeta yang
memakan anak-anaknya sendiri. Revolusi dengan garis ideologi trisakti, Nasakom,
Marhaenisme dan berdikari luluh lantak digantikan dengan revolusi kapitalisme
yang sebenarnya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia[30].
Soekarno pernah
mengutarakan bahwa revolusi Indonesia belumlah selesai, maka ia bentuk suatu
demokrasi terpimpin untuk mewujudkan revolusi tersebut. Namun nasib berkata
lain, ditengah revolusi yang meningkat, Soekarno dibidik dan jatuh dari puncak
kepemimpinan. Pidato Soekarno sebagai berikut:
“Saudara-saudara saya sudah tua, sudah 61 tahun. Dan saya tidak
mengetahui Allah SWT akan memberi umur berapa lama lagi kepada saya. Cuma saya
ketahui bahwa tiap-tiap manusia, bahkan tiap-tiap mahluk hidup di dunia ini
akhirnya akan dipanggil kembali oleh Allah SWT. Entah setahun lagi, entah satu
hari lagi, entah 10 tahun lagi, entah 20 tahun lagi, itu saya tidak tahu.
Tetapi saya mengetahui bahwa Revolusi Indonesia belum selesai dan
bahwa selesainya Revolusi Indonesia itu masih akan makan bertahun-tahun lagi.
Ini perlu dicamkan, dicamkan oleh Saudara-saudara sekalian, bahwa Revolusi
Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua hari, bahwa Revolusi Indonesia itu
memang belum selesai, bahwa Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun
berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh
karena Revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang
kecil-kecilan, bukan revolusi peyeum, dulur-dulur, tetapi revolusi amat besar.
Dan sudah sering saya katakan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi
Pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, ya revolusi
nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya
revolusi membentuk manusia Indonesia
baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun.
Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh tahun.
Revolusi nasional kita memang belum selesai. Semoga tidak seorangpun
dari bangsa Indonesia melupakan hal ini! Merdeka!”[31]
Pada 17 Agustus 1957, sebelum memulai pidatonya yang
berjudul “Suatu Tahun Ketentuan”, Bung Karno membacakan sebuah ikrar. Ikrar itu
memuat lima point, yang kesemuanya bertekad melanjutkan cita-cita “Revolusi
Agustus”. 17 Agustus memang sebuah revolusi, seperti dikatakan Soekarno, karena
merupakan sebuah proses menjebol dan membangun. Yang dijebol adalah
kolonialisme, sedangkan yang dibangun adalah Indonesia Merdeka[32].
Karena ia sebuah revolusi, maka Revolusi Agustus tidak
berhenti di hari itu juga. Justru, 17 Agustus itu adalah pengumuman akan
dimulainya revolusi. Soekarno sendiri mengatakan, saat itu barulah empat yang
sudah selesai: (1) Naskah proklamasi itu sendiri, (2) Bendera kebangsaan Sang
Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, (3) Falsafah negara, yaitu:
Pancasila, (4) Undang-Undang Dasar yang bersendikan falsafah negara itu. Di
luar yang empat itu, barulah bangsa Indonesia akan memperjuangkannya melalui
sebuah revolusi. Oleh karena itu, tidak salah kemudian jikalau Soekarno mengikrarkan
bahwa “Revolusi Belum Selesai”. Pada kenyatatannya, apa yang dicita-citakan
Revolusi Agustus belum tercapai.
Sudah 46 tahun—sejak 1965 ketika Bung Karno dan
pendukungnya dikalahkan—Revolusi Agustus terinterupsi. Pada saat bersamaan,
praktek kolonialisme kembali bercokol dan mengambil posisi dominan dalam segala
aspek kehidupan bangsa. Inilah nasib Revolusi Indonesia setelah Soekarno
tumbang dari pucuk kepemimpinan.
Di lapangan ekonomi, posisi ekonomi Indonesia sudah
kembali seperti jaman kolonial: Indonesia sebagai penyedia bahan baku, penyedia
tenaga kerja murah, pasar bagi produk negeri-negeri maju, dan tempat penanaman
modal asing. Itu mulai berlaku sejak jaman Orde Baru.
Situasi sekarang makin nyata: kita makin terjajah! Jika
dilihat dari berbagai jenis komoditi ekspor kita, maka hampir semuanya adalah
bahan mentah, seperti batubara (70%), minyak (50%), gas (60%), bauksit, minyak
kelapa sawit, dan karet. Hampir 70% modal yang menggali untung di Indonesia
adalah modal asing. Akibatnya, modal asing pun mendominasi sejumlah sektor
strategis: Minyak dan gas (80-90%), perbankan (50.6%), telekomunikasi (70%),
kebun sawit (50%), pelayaran barang (94%), pendidikan (49%), dan lain-lain.
Indonesia masih menjadi tempat pemasaran barang-barang hasil produksi negara
maju: sebanyak 92% produk teknologi yang dipakai rakyat Indonesia adalah buatan
asing, 80% pasar farmasi dikuasai asing dan 80% pasar tekstil dikuasai produk
asing.
Selain itu, hampir semua bahan kebutuhan hidup rakyat
dipenuhi melalui impor: Indonesia sekarang sudah masuk negara pengimpor beras
terbesar; mengimpor 40 persen gula dari kebutuhan nasional; impor sekitar 25
persen konsumsi nasional daging sapi; mengimpor satu juta ton garam yang
merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70 persen kebutuhan
susu. Selain itu, Indonesia menjadi penyedia tenaga kerja murah, baik untuk
keperluan pasar tenaga kerja di dalam negeri maupun pasar tenaga kerja
internasional. Gaji buruh di Indonesia disebut-sebut salah satu yang paling
rendah di Asia. Sebagai contoh: upah buruh Indonesia lebih rendah tiga hingga
empat kali lipat dibandingkan Malaysia. Ini diperparah lagi dengan pemberlakuan
sistim kerja kontrak dan outsourcing[33].
Bukan hanya nasib ekonomi dan
pemerintahan saja yang kapitalistik dan cenderung “de-soekarnoisme”, namun
dalam segi budaya dan pemlintiran sejarah itu juga masif dilakukan oleh
penguasa Orde Baru. Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto
menerbitkan buku “Pejuang dan Prajurit”, wajah Bung Karno tidak nampak dalam
gambar pengibaran bendera merah putih saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Ini
sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus
dari buku-buku sejarah. Inilah sebagian kecil dari praktek “de-sukarnoisme” di
jaman Soeharto.
Kita patut mengutuk usaha-usaha
tersebut. Karena, bagaimanapun, kita tidak bisa berbicara Indonesia tanpa
berbicara Bung Karno. Dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme dan
mencapai Indonesia merdeka, Soekarno adalah orang yang telah mengabdikan seluruh
kehidupannya untuk perjuangan tersebut. Dan tentu saja sangat aneh, jika orang
yang namanya selalu dikenang sebagai proklamator dalam setiap peringatan 17
Agustus 1945, tetapi tidak mendapat tempat khusus dalam sejarah bangsa
Indonesia.
Hanya saja, terlepas siapapun dan
golongan politik manapun yang terlibat dalam peringatan bulan Juni sebagai
bulan Bung Karno, kita berharap bahwa peringatan itu tidak hanya sekedar
sebagai seremoni belaka dan berakhir tanpa ingatan sedikit pun kepada
nilai-nilai kepahlawanan dan gagasan dari tokoh yang bersangkutan. Perayaan
seremonial sah-sah saja. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting, yaitu
bagaimana mengambil semangat Bung Karno sebagai api pembakar semangat untuk
perjuangan rakyat Indonesia sekarang ini; adalah lebih penting untuk
melanjutkan cita-cita perjuangan Bung Karno yang belum selesai. Itulah yang
dimaksud Bung Karno dengan : “Revolusi belum selesai.”
Gerakan Kebangkitan Nasional telah
melahirkan para pejuangnya yang terkemuka, salah satunya Bung Karno. Adalah
penting, dan tentu saja ini menjadi kewajiban, dalam upaya membangkitkan
kembali semangat itu, maka perlu dibangkitkan pula ingatan sejarah rakyat atau
bangsa Indonesia mengenai sejarah perjuangan di masa lalu. Dan, dalam bagian
itu, adalah penting pula untuk mengingat kembali para tokoh-tokohnya: Bung
Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, Sjahrir, dan lain-lain.
Dalam kancah perjuangan itu, Bung
Karno telah melahirkan begitu banyak gagasan-gagasan politik dan strategi
perjuangan. Sebut saja; Pancasila, Marhaenisme, Persatuan Nasional, Sosialisme
Indonesia, dan lain-lain. Kita perlu menggali kembali gagasan-gagasan politik
atau fikiran-fikiran Bung Karno tersebut, bukan untuk tujuan gagah-gagahan atau
fanatisme buta, melainkan untuk mengambil hal-hal yang relevan dalam
teori-teori tersebut untuk dipergunakan dalam melawan penjajahan asing atau
imperialisme saat ini.
Sekarang
ini, saat rakyat kita digempur habis-habisan oleh sebuah sistem penjajahan baru
bernama neoliberalisme, upaya pencarian tokoh bangsa menjadi penting. Ini akan
terdengar “miring” di telinga intelektual didikan barat, namun menjadi aspek
sangat penting bagi ratusan juta rakyat yang sedang terjajah dan diabaikan
pemimpinnya sendiri. Saat ini, dari sosok pemimpin nasional yang ada sekarang,
kita hampir tidak menemukan satupun sosok yang pantas dijadikan panutan,
apalagi menjadi inspirasi dalam perjuangan nasional untuk melawan penjajahan
asing. Kekosongan figur bangsa ini, apalagi bagi bangsa yang sedang berjuang
melawan penjajahan asing, akan menyulitkan penyatuan seluruh kekuatan nasional.
Oleh karena itu, sangat pantas dan relevan pula untuk menjadi Bung Karno
sebagai icon perjuangan nasional melawan hegemoni asing yang saat ini sudah
menggurita menguasai berbagai bidang, misalnya ekonomi, industry, perdagangan,
pendidikan, teknologi, kebudayaan dan sebagainya.
Oleh
karena itu, pantaslah kiranya jika kita menaruh harapan, bahwa kemunculan
kembali Bung Karno ini tidak sekedar di baliho, spanduk, dan poster-poster. Apa
yang lebih penting, bahwa Soekarno kembali bersama gagasan-gagasan perjuangan,
yang menurut kita masih sangat relevan untuk perjuangan rakyat Indonesia saat
ini. Benar kata Soekarno bahwa “Revolusi Belum Selesai!”
Daftar Pustaka:
Adam, Asvi
Warman. 2006. Revolusi Belum Selesai:
Kumpulam Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965, Pelengkap Nawaksara. Yogyakata:
Ombak.
A.G.
Pringgodigdo. 1977. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Algandri,
Hamid, (1991). Suka Duka Masa Revolusi
: Jakarta:UIP
Al-Rahab,
Amirrudin. 2014. Ekonomi Berdikari
Soekarno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Dekter,
N. (1997). Sejarah Pergerakan dan
Revolusi Nasional. Malang : IKIP Malang
Insan Fahmi
Siregar. 2014. Partai Masyumi Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia. Semarang:
Widya Karya.
Kasenda,
Peter. 2014. Soekarno Marxisme &
Leninisme. Depok : Komunitas Bambu.
Kasenda,
Peter, 2014. Sukarno Muda: Biografi
Pemikiran 1926-1933. Depok :Komunitas Bambu
MD,
Sagimun.1989. Peranan Pemuda Dari Sumpah
Pemuda Sampai Proklamasi. Bina Aksara: Jakarta.
Moedjianto.
G. (1988). Indonesia Abad ke-20 Jilid I:
Dari Kbangkitan Nasional Sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.
Lane, Max . 2012. Malapetaka
di Indonesia Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri.
Djaman Baroe.
Nuryanti,
Reni. 2012. Tragedi Sukarno: Dari Kudeta
Sampai Kematiannya. Yogyakarta: Ombak
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Pinanjaya, Okta & Waskito Giri Sasongko. 2012. Muslihat Kapitalis Global.
Ricklefe, M.C.
1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarata : Gadjah Mada University
Press.
Ricklefs,
M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Sjamsuddin, Narzarudin. 1988. Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek. Jakarta: Rajawali
Press.
Sudharmono.
(1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka
1945-1949. Jakarta
: Seketariat Negara Republik
Indonesia.
Sularto,
St. 2001. Dialog Dengan sejarah: Soekarno
Seratus tahun. Jakarta: Kompas
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal ’65 hingga G30S. Yogyakarta: Galang Press.
Wibowo
Sigit Yulianto. Marhaenisme ‘idiologi
perjuangan Soekarno’. Yogyakarta : buana pustaka
Xiang
Jun, Wang. 2008. Misteri Terbunuhnya Soekarno. Yogyakarta
: Pustaka Radja
Kumpulan
Sinopsis Buku Tentang Soekarno
Nama :Heri
Muladi
NIM : 3101412147
Rombel : 6B
A.
Identitas
Buku
Judul
Buku : Misteri
Terbunuhnya Soekarno
Nama
Pengarang :
Wang Xiang Jun
Tahun
Terbit : 2008
Jumlah
Halaman :
126 Halaman
Penerbit : Pustaka
Radja Yogyakarta
B. Sinopsis
Soekarno
adalah herakles di tengah-tengah gemruh tepuk tangan masa. Dengan
pidato-pidatonya ia dapat meruntuhkan gunung dan menimbun lembah. Tetapi
terpisah dari gemuruh orang banyak ia seoranh hamlet yang disobek-sobek
kebimbangan. Soekarno presiden pertama republik indonesia, 1945-1966, menganut
ideologi pembangunan “berdikari”. Soekarno dengan gagah mengejek Amerika
Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.”
Kejatuhan
Soekarno meskipun tidak sampai menjerumuskan bangsa dan rakyatnya, mungkin
semata karena terdorong oleh suatu ambisi besar, maka kesalahan itu dibuatnya.
Ambsisi besarnya itu adalah ambisi untuk menjadi pemimpin dunia. Sesungguhnya
ketika menandatangani Supersemar, presiden Soekarno tidak menyadari bahwa ia
telah memberi peluang yang besar kepada Soeharto untuk menyalahgunakan Surat
Perintah tersebut dan merampas kekuasaan dari tangannya, tanpa disadarinya atau
karena terpaksa ia telah memberikan senjata ampuh yang akhirnya digunakan untuk
menjatuhkan dirinya.
Menurut
asvi warman adam, soeharto tidak membawa soekarno ke pengadilan dengan strategi
ganda: pertama, soeharto menjalankan siasat “ngluruk tanpa bala”, berperang
tanpa tentara. Ia berhasil menyingkirkan lawan politiknya tanpa banyak membuang
banyak tenaga. Rakyat dibiarkan menghujat dan menuntut Soekarno ke penagdilan.
Sebab itu pemeriksaan kopkamtib terus dilaksanakan untuk (seolah-olah)
mengkamodasi tuntutan masyarakat tadi. Pemeriksaan itu lebih bersifat teror
mental yang melelahkan Soekarno yang sudah sakit-sakitan. Setelah Soekarno
sakit makin parah, barulah soeharto menghentikan introgasi. Kalau diadili belum
tentu terbukti kesalahan Soekarno, tetapi dengan pengadilan, rakyat sudah
termakan opini bahwa presiden ri itu terlibat dalam percobaan kudeta G30S.
Kedua, soeharto dapat nama baik ia mengamalkan dan mensosialisasikan “mikul
duwur mendhem jero”. Maksudnya orangtua harus dihormati, tentunya dia berharap
agar hal serupa diperlakukan masyarakat terhadap dia nanti.
Soeharto
membuktikan dirinya sebagai orang jawa yang mempunyai kesabaran yang luar biasa
dalam menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan dari presiden Soekarno.
Sebelum ia yakin bahawa seluruh kekuatan pendukung presiden ia likuidasi, ia
akan menjalankan rencananya setahap demi setahap. Startegi lain yang sukses
dibesar-besarkan soeharto ialah memberitakan Soekarno sakit keras diawal
agustus 1965. Soeharto sukses membangun opini seakan-akan PKI yang selama ini
berhubungan mesra dengan Soekarno khawatir pimpinan nasional akan jatuh ke
tangan TNI/AD, Aidit dikabarkan mendatangkan doktor dari RRC. Padahal, aku,
yang ketika itu wakil perdana menteri 1 dan menteri luar negeri, tahu persis
bahwa itu hanya rekayasa soeharto. Perdana menteri II dan dokternya itu tahu
persis bahwa Soekarno hanya masuk angin biasa. Soeharto tampaknya ingin
memancing provokasi agar PKI duluan memukul TNI/AD. Penyakit Soekarno saat itu
adalah masuk angin. Ini jelas dan dokter cina itu juga mengatakan kepada
Soekarno. DN Aidit juga mengetahui penyakit Soekarno ini.
Karena
menderita tekanan yang luar biasa selama masa panahannya dan karena penyakit
yang dideritanya kurang mendapat perawatan yang memandai,akhirnya pada tanggal
21 juni 1970,bung karno meninggal dunia di RSPAD Dengan di dampingi putera
puteri dan para istrinya meskipun memiliki kekuasaan yang besar terutama pada
1960-an,soekarno tidak pernah memikirkan kekayaan. Ia mengutamakan hidup
sederhana. Bahkan diantara beberapa kemeja, kaus dalam, dan piyamanya adalah
pemberian teman-temannya.dalam autobiografinya yang disusun cindy adams,
pengarang dari amerika serikat, ia mengatakan mungkin dirinya merupakan
satu-satunya presiden di dunia yang tidak pernah memiliki rumah pribadi sampai
akhir hayat. Sampai akhir hayatnya hak-hak politik bung karno dipasung. Dan
beliau diasingkan sampai akhir hayatnya. Posisi beliau dalam peristiwa G30S/PKI
didramatisir, namun yang didramatisir adalah kekalahan soekarno. Pepatah “mikul
dhuwur mendem jero”diberlakukan kepada bung karno. Inilah bentuk dramatisir
“kekalahan” bung karno. Seolah-olah soeharto dengan lapang dada dan berjiwa
besar memaafkan kasusnya. Padahal semua itu sangat menyakitkan soekarno. Memang
tiada kehidupan di dunia ini yang abadi. Setiap ada awal pasti ada akhirnya.
Tiap-tiap yang bernyawa itu pasti akan merasakan mati. Manusia hidup tiada
kekal. Bila maut telah datang menjemput, maka berakhirlah hidupnya di alam
dunia yang fana ini. Masa hidup soekarno tiada terkecuali dari ketentuan hukum
ilahi ini. Sesudah mengalami kejatuhannya dari singgasana kepresidenannya,
dimana di masa kekuasaannya, setiap hidung pasti memujanya dan kebanyakan orang
ingin menjilatnya. Dan sesudah ia jatuh, rupanya keadadn berbalik, setiap
batang hidung ingin ikut mengutuk serta memakinya. Berbeda dengan eksponen yang
mengkritik bung karno sekedar untuk koreksi, atas tindakan soekarno yang
dipandangnya bertentangan dengan ketentuan hukum maupun UUD 1945. Muncul pula
golongan yang musiman. Dalam sejarah segala bangsa dan zaman, senantiasa ada
saja golongan-golongan atau tipe manusia yang demikian itu. Manakala pada masa
akhir hayat soekarno mengalami nasib yang demikian, itu adalah resiko setiap kehidupan seorang pemimpin
dimana pun jua didunia. Apabila sedang jaya dipuja, manakala telah jatuh
dihina. Akan tetapi masa yang demikian itu biasanya tiada lama. Pada suatu
saatmasa caci makian itu akan distop.mulai berkurang dan kemudian berhenti.
Sang waktu jualah yang akan mendewasakan pikiran, parasaan dan perbuatan
kita.beberapa informasi mengenai soekarno ada masa orde baru dibuat
membingungkan. Belum ada upaya untuk menjelaskan dugaan bahwa soekarno terlibat
dalam kudeta, dan dokumen-dokemen masih tertutup dan terkunci. Selama peran
soekarno dalam sejarah indonesia tidak diteliti secara lengkap, selama itu pula
kehormatan yang diberikan kepadanya hanya merupakan propaganda untuk
kepentingan tertentu. Hanya jika soekarno diketahui dengan semua kelebihan dan kekurangan,
dengan kebijaksanaan yang baik dan buruk, maka ia dapat menjadi contoh yang
penting untuk mas depan, karena kita dapat belajar dari keberhasilannya dan
kesalahannya.
Nama :Dyah
Setiyorini
NIM : 3101412054
Rombel :
6B
A.
Identitas
Buku
Penulis :
Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (ed.)
Judul :
Soekarno, Pemikiran Politik Kenyataan Praktek
Kota Penerbit :
Jakarta
Penerbit :
Rajawali Press
Tahun Terbit :
1988
Jumlah Halaman :
248 hlm
Tebal Buku :
xviiii x 21 cm
B.
Sinopsis
Dalam buku yang
berjudul “Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek”, buku ini ditulis
oleh beberapa penulis yang terdiri dari 5 penulis. Buku ini terdiri dari 6 sub
tema, yaitu bab I: Soekarno, sebuah tragedy, bab II: Soekarno dan nasionalis,
bab III: Soekarno dan Internasional, bab IV: Soekarno dan demokrasi, bab V:
Soekarno dan marhaenisme dan bab VI: Soekarno dan masalah ekonomi
Dalam bab 1 ini
dijelaskan mengenai jasa yang telah disumbangkan oleh Soekarno bagi negeri ini,
terutama bakti dan pengabdiannya pada masa pergerakan dan perjuangan
kemerdekaan. Dijelaskan pula mengenai usaha bangsa ini untuk merdeka dan
mempersatukan diri. Dalam proses persatuan Soekarno berusaha menempatkan
dirinya ditengah-tengah rakyat, sebagai pemimpin bangsa. Dalam mempersatukan
bangsa Soekarno dengan arif dan bijaksana tetap bersama rakyat dalam menata
pasang surut dan pasang naik revolusi, ikhlas mengorbankan hak konstitusional
presiden sebagai kepala pemerintahan. Soekarno menganggap bahwa cara tersebut
merupakan cara terbaik dan yang dikenhendaki rakyat pada saat itu.
Dalam bab II dijelaskan
mengenai konsep nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno, dimana
konsep nasionalisme di Indonesia ini
berbeda dengan konsep nasionalisme barat. Nasionalisme yang dikembangkan oleh
Soekarno mencerminkan rasa antinya terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Terlihat pada partai yang didirikannya yaitu PNI yang sejak awalnya bersifat
radikal yaitu dengan jelas-jelas menuntut kemerdekaan sepenuhnya dalam waktu
sesingkat-singkatnya dan menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial, dan
tidak mempercayai sedikitpun janji-janji bahwa Belanda akan memberikan
perbaikan bagi anak negeri.
Dalam bab III
dijelaskan mengenai pemikiran dan tingkah laku politik Soekarno di dunia
Internasionalisme. Pemikiran Soekarno terwujud dalam sikap dan kebijakan luar
negeri Indonesia. Dijelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia pada masa
pemerintahan Soekarno menjadi menarik ketika presiden pertama Indonesia mulai
tampil dan mengambil peranan penentu ke dalam tangannya. Kebijaksanaan luar
negeri Indonesia berusaha untuk menonjolkan peranan Indonesia keluar negeri,
dengan menggunakan cara-cara yang radikal. Kemahiran Soekarno dalam menyusun
strategi juga tampak dari upayanya untuk mewujudkan gagasan-gagasannya.
Soekarno berusaha mendekati negara-negara baru dalam upaya menggalang kekuatan
negara-negara dibawah kepemimpinannya.
Dalam bab IV dijelaskan
mengenai keadaan sistem politik di awal tahun 1957, yang pada saat itu politik
Indonesia berada dalam keadaan krisis. Dimana krisis tersebut melanda kabinet
yang kemudian disusul pergolakan-pergolakan di daerah. Dijelaskan pula
kepemimpinannya pada masa Demokrasi Terpimpin yang menjadikan dirinya
mendominasi pemerintahan.
Dalam bab V dijelaskan
mengenai aliran Soekarno yaitu: Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme. Dimana
ketiga aliran tersebut dijadikan sebagai pemikiran bangsa Indonesia untuk dapat
menjadi satu kekuatan besar untuk menentang kolonialisme. Pada bab ini juga
dijelaskan mengenai konsep Marhaenisme yang dikembangkan oleh Soekarno terhadap
konsep proletarnya. Konsep Marhaenisme adalah untuk mengangkat derajat manusia
Indonesia.
Dalam bab VI dijelaskan
mengenai situasi ekonomi pada saat Demokrasi Terpimpin, dimana pada saat itu
ekonomi Indonesia sedang dilanda inflasi sampai dengan 650 %.
Nim :
3101412099
Rombel : 6B
A.
Identitas
Buku
Judul buku : TRAGEDI
SUKARNO: DARI KUDETA SAMPAI KEMATIANNYA
Penulis
: Reni Nuryanti
Penerbit
: Ombak, Yogyakarta
Cetakan
: I, 2008
Tebal
: xv + 204 halaman
B.
Sinopsis
Tragedi Sukarno
bukanlah tragedi yang menimpa dirinya sendiri dan keluarganya. Tetapi juga
tragedi bangsa Indonesia dan bahkan tragedi dunia ketiga. Peralihan kekuasaan
tahun 1965 sampai lima tahun kemudian, telah melahirkan peristiwa mengenaskan
dalam sejarah bangsa ini yakni terbunuhnya setengah juta orang dalam suasana
hiruk-pikuk politik awal Orde Baru. Tampaknya dirasa tidak cukup korban
sebanyak itu, maka 10 ribu orang dikirim ke kamp kerja paksa di Pulau Buru
tahun 1969. dari segi percaturan politik dunia, kubu non blok yang semula
diharapkan sebagai penyeimbang antara blok Barat dan blok Timur kehilangan
tokohnya yang terkemuka tahun 1970 yang bahkan beberapa tahun sebelumnya sudah
tersingkir dari panggung politik. Adalah suatu tragedi bila seseorang yang
menduduki jabatan presiden, yang merupakan jabatan tertinggi di suatu negara
sama sekali tidak berdaya mencegah pembunuhan sesama anak bangsa dalam skala
luar biasa. Ia berpidato. Masih mendingan kalau orang tertidur ketika seorang
pejabat negara berbicara, tetapi sangat ironis bila pidato Presiden tidak bisa
dikutip atau disiarkan media massa. Sukarno berseru, bahwa terjadi pembunuhan
massal di Jawa Timur. Ia ingin pembantaian tersebut dihentikan segera. Tetapi
itu tidak digubris oleh pihak keamanan yang tidak lagi di bawah kendalinya.
Pers juga tidak memberitakan sepenuhnya gelombang pembunuhan tersebut. Merupakan
suatu tragedi bila perlakuan terhadap mantan Presiden lebih buruk daripada
pihak kolonial. Ketika Sukarno dibuang ke Ende Flores dan Bengkulu, ia tidak
dilarang berhubungan dengan masyarakat setempat. Namun setelah ia tidak lagi
jadi presiden, panglima daerah militer Siliwangi, HR Dharsono mengeluarkan
perintah melarang rakyat Jawa Barat mengunjungi atau dikunjungi Sukarno. Bahkan
ketika Sukarno memeriksakan gigi kepada dokter Oei, ia harus berkunjung ke
rumah itu bagaikan memasuki cottage yang disewakan jam-jaman untuk
masuk. Mobil tuan rumah dikeluarkan. Mobil yang membawa Sukarno masuk ke garasi,
pintu ditutup dan Sukarno keluar dari kendaraan menuju ke ruang periksa gigi.
Hal itu semata-mata dilakukan agar Sukarno tidak bertemu dengan rakyat. Ironi
ini sangat menusuk hati, bila dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan
kepada Jenderal Besar Soeharto ketika ia sakit. Ia diperlakukan sebagai raja,
kediamannya di Cendana disulap menjadi semacam rumah sakit mini dengan
peralatan canggih. Ketika diperiksa di Rumah Sakit Pertamina, ia diperiksa oleh
belasan dokter ahli. Para cecunguk Orde Baru pun berdatangan membesuknya tanpa
ada rasa takut apalagi malu. Sedangkan Sukarno terbaring kesepian, tanpa obat
paten, tanpa ada pejabat yang menjenguknya. Ketika akan diperiksa oleh
pengadilan, Soeharto menunjukkan surat keterangan sakit. Walaupun sakit, ia masih
bisa bepergian ke makam istrinya atau menyaksikan pernikahan cucunya bahkan
menemui tokoh regional seperti Lee Kuan Yew atau Mahathir Mohammad. Namun tidak
ada alasan sakit bagi Sukarno untuk tidak diperiksa tim Kopkamtib. Dalam
kondisi susah untuk tidur, duduk dan berdiri, ia masih ditanya apakah ia
terlibat dalam Gerakan 30 September. Dalam kondisi amat parah pun, penanganan
terhadap Sukarno hanya dilakukan seadanya. Bahkan, yang paling telak, wartawan
sama sekali tidak diizinkan untuk melihat langsung keadaan Sukarno. Maka, tidak
heran, rakyat hanya menduga-duga keadaan Sukarno. Bahkan mereka hanya mampu
melongokan mulut, saat mendengar berita, Sukarno meninggal dunia.
Penghormatan terakhir
sebagai Presiden juga tidak diterima Sukarno. Ketika Soeharto menemui ajalnya
tidak kurang dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono menjadi
inspektur upacara pada pemakamannya di Solo. Ratusan wartawan meliput acara
tersebut. Namun tatkala mantan presiden pertama menghembuskan nafas terakhir,
Soeharto hanya melepas sampai Wisma Yaso, Jakarta. Acara pemakaman di Blitar dipimpin
oleh Jenderal Panggabean.
Pada bulan Juni 1970
terjadi dua peristiwa penting. 21 Juni Sukarno wafat, tiga minggu sebelumnya
tanggal 1 Juni 1970 peringatan hari lahirnya Pancasila dilarang Kopkamtib.
Sejarawan Perancis, Jacques Leclerc, menyatakan bahwa Sukarno telah dibunuh dua
kali. Tetapi menurut Aswi Warman Adam, Sukarno telah dibunuh berkali-kali.
Namun pemikirannya tidak pernah mati. Sebagai manusia ia tidak terlepas dari
kekurangan, namun kecintaannya kepada bangsa ini sulit ditandingi. Saat bangsa
ini diterpa disintegrasi maka kian terasa pentingnya Pancasila yang digagas
Sukarno pada 1 Juni 1945. ketika hutang membengkak, modal dan kekuatan asing
semakin menyeruak ke jantung ekonomi kita, orang semakin terkenang pada
Trisakti Sukarno (Bebas dalam Politik, Berdikari dalam bidang Ekonomi dan
Berkepribadian dalam Budaya). Ketika Soeharto wafat, ribuan iklan duka cita
menhiasi media cetak dan elektronik selama berhari-hari. Tetapi tatkala Sukarno
meninggal, sedikit media yang mengabarkan berita kematiaanya.
Nama :
EXSAN ALI SETYONUGROHO
NIM : 3101412093
Rombel
: 6B
A. Identitas
Buku
Judul : Bung
Karno Menggugat, Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S
Penulis : Dr.
Baskara T. Wardaya SJ
Penerbit : Galang
Press
Tahun Terbit : 2006
B. Sinopsis
Buku
Dengan melalui Bung Karno sebagai fokus sekaligus benang merah, buku ini
berusaha "menggugat" kembali sejumlah narasi penguasa yang telah
terlanjur beredar mengenai berbagai peristiwa dan gagasan penting dalam sejarah
politik sejak jaman pergerakan hinggs kemerdekaan Indonesia. Hasilnya bukan
hanya paparan yang berbeda dengan paparan yang biasa kita dengar, melainkan
juga rangsangan untuk mengembangkan wawasan dan berpikir lebih kreatif.
Digugat kembali, misalnya, antara pemikiran-pemikiran Bung Karno muda
dan Bung Karno tua; Bung Karno dalam kaitan dengan tragedi'65; corak
kepemimpinan Presiden Sukarno dibandingkan dengan model kepemimpinan Presiden
Soeharto; peran asing dalam dinamika politik Indonesia di bawah pimpinan Bung
Karno; serta konsekuensi dari semua itu atas pemahaman sejarah Indonesia,
berikut implikasinya terhadap apa yang sedang berlangsung sekarang ini. Semuanya disampaikan dalam gaya
bertutur yang akademik dan ilmiah, namun sekaligus intim dan memikat. Buku ini
merupakan buku yang cukup lengkap dengan menjelaskan karakteristik Soekarno
muda maupun tua.
Nama : Budiono
NIM : 3101412098
Rombel : 6B
A.
Identitas
Buku
Judul
Buku : Malapetaka Di Indonesia Sebuah Esai Renungan Tentang Pengalaman Sejarah
Gerakan Kiri
Penerjemah
: Candera Utama dan dipriksa kembali Max
Lane
Penerbit : Djamann Baroe
Tahun
Terbit : 2012
B.
Sinopsis
Buku:
Paruh kedua tahun 1950 hingga 1965 merupakan periode sejarah
Indonesia yang paling gelap. Ada begitu
banyak pertanyaan yang belum terjawab seputar Soekarno, PKI, dan partai-parti
lainya, tentara dan kehidupan politik
Indonesia baik di tingkat elit dan
rakyat.
Buku dengan judul : “Malapetaka Di Indonesia Sebuah Esai Renungan Tentang Pengalaman
Sejarah Gerakan Kiri”. Ini merupakan
buku yang memberikan uraiaan tentang
soekarno terutamanya sejarah gerakan kiri, yang mangantarkan Soekarno
turun. Buku ini membhas aspek kemanusiaan dan aspek politik. Mmenganalisis secara kritis terhadap praksi
Politik Soekarno Maupun PKI selama periode 1960-65. Gerakan sayap kiri
mengalami penindasan. Bukan hanya gerakan yang mengalami benturan, namun
Indonesia dipaksa dihapus masa lalu reevolusinnya. Seorang Presiden soekarno yang di kagumi
Rakyat dan kaum kiri berkembang pesat dapat dilibas total.
Pada saat kemerdekaan,
Indonesia merupakan sebuah masyarakat kapitalis. System ekonomi didasarkan atas
kepemilikan pribadi dari property produktif, termasuk tanah. Negara tentara dan
pelayan sipil, semua berada di bawah kendali
kelas pemilik property. Para pekerja, buruh-buruh, dan kaum papa yang
tersebar di seluruh negeri belum cukup terorganisasi dan belum cukup untuk
menentang meraka. PKI baru berkembang baru setelah 1952, sementara Soekarno
baru mulai mengangkat kembali Profil
kiri-kirinya setelah 1957.
Masyarakat Indonesia
hanya termodernisasi secara seklumit, pihak Belanda tidak membangun apa pun
selain ekonomi colonial. Sebagai akibatnya, banyak nilai budaya pra borjuis dan
tradisional masih sanggup bertahan meskipun struktur kekuasaan despostisme lama
berhasil dihancurkan. Nagara yang berkuasa ialah Negara colonial luar negeri.
Borjuis domestik yang kurang berkembang, bersekala kecil berwawasan sempit, dan
sangat terlokalisasi, bahkan belum menjadi borjuis nasional yang melayani pasar
nasional dan belum mempunyai perspektif
nasioanal- mewarisi Negara dari tangan belanda pada 1949. Semua partai politik
kecuali PKI, berada dibawah dominasi elemen-elemen yang berasal dari kelas
borjuis. Disisi lain ideology boruis sangatlah lemah. Karena kekuatan politik
borjuis sering mengandalkan kekrasan dan inilah yang memugkinkan tentara sejak
begitu awal dalam sejarah republik bisa melakukan pembunuhan massal terhadap
kaum kiri.
Perjuangan melawan kolonialisme
yang sebagian besar dipimpin oleh para intelektual radikal dan berbasisi pada
mobilisasi massa telah menciptakan
sebuah hegemoni baru yang mmasih berkembang yaitu tentang perjuangan,
tentang keharusan berbuat secara aktif dan kendali social.
Bersamaan dengan
tergulingnya Soekarno dari tumuk
kekuasaan dan dengan dihancurkanya semua kekutan kiri di Indonesia Partai
komunis Indonesia PKI, Partai Indonesia
(partindo) Partai Nasional Indonesia (PNI, yang sudah membuang sayap kananya
sejak tahun 1965), angkatan komusnis Muda (Akuma) dan lain-lain beserta
ormas—ormasnya, peta politik dunia berubah, dan realitas politik Indonesia
Berbalik arus. Dari sudut pandang politik mungkin peristiwa 1965 merupakan
khusus pertama kalinya dalam sejarah modern, yakni sebuah kekuatan politik
massa bias dikalahkanbegitu total.
Kekuatan aliansi
Soekarnoisme radikal tahun 1957-65 merupakan kekuatan yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak
yang miskin dan bahwa aliansi anti nasakom (mayoritas angkatan bersenjata, partai
sosialis Indonesia (PSI), Mayumi, PNI
kanan, NU-anti Nasakom, dan Lian-lain) adalah kekuatan yang terutama
meperjuangkan kepentingan pemilik tanah dan modal. Aliansi Soekarno merah mengutamakan semaksimal mungkin kemerdekaan
gerak dari ppengaruh imperalisme dan
juga mengedepankkan kerja sama dengan kekuatan-kekuatan asing yang juga anti
Imperalisme. Dengan membuat kekuatan baru NEW EMERGING FORCES. Kekuatan anti
nasakom memperjuangkan aliansi dengan
pihak modal Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain. Kekuatan Soekarno merupakan
kekuatan yang maju sedangkan yang lainya reaksional.
Dalam buku ini tidak
hanya menjelaskan bagaimana kemunduran kekuatan gerakan kiri, namun juga
memberikan analisinya tentag bagaimana peran gerakan kiri dan tentunya Soekarnoisme
melawan Imperlisme asing. Gagasan Soekarno tentang berdikari dan Nasakomnya,
membuat kekuatan Baru yang perlu dipertimbangkan percaturan politik
Internasioanl.
Nama :
Tri Maheni
NIM :
3101412061
Rombel :6B
A.
Identitas
Buku
Judul
buku :“MARHAENISME,
Ideologi Perjuangan Soekarno”.
Penulis : Yulianto Sigit Wibowo
Penerbit : BUANA PUSTAKA, perum pertamina S-17
Tahun
terbit : 2005
B.
Sinopsisi
Buku
Buku ini secara garis
besar tentang pemikiran politik Soekarno dari satu central point yang sama, yaitu kebenciannya kepada kapitalisme,
imperialism, dan kolonialisme. Dalam rangka memerangi kapitalisme, imperialisme
dan kolonialisme, Soekarno mencoba memadukan tiga arah pikir idiologis utama
yang berkembang pada wakru itu yaitu Islam, nasionalisme, dan komunis. Dan
konsep tersebut dikenal dengan Nasakom.
Dalam buku ini tokoh
utamanya yaitu Soekarno dan pada buku ini berisikan mulai dari riwayat hidup
Soekarno, prinsip dasar pemikiran Soekarno, Pengertian dan ajaran marhaenisme.
Soekarno merupakan insipirasi
yang membangkitkan semangat pahlawan terhadap segala bentuk penindasan, bukan
saja bagi bangsa Indonesia, tapi juga bagi seluruh bangsa tertindas di dunia.
Soekarno adalah fenimena keajaiban politik yang mengguncang dunia , dan
menjadikannya tokoh internasional yang bahkan disegani adikuasa.
Melalui teori
marhaenisme Soekarno memberi penyadaran kepada seluruh rakyat Indonesia akan
arti penting persatuan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa perlu
diatur bangsa lain. Marhaenisme sendiri meruapan pengembangan dari sosialisme
ilmiah yang diajarkan oleh karl marx dan dicoba dikembangkan di Indonesia oleh
Soekarno. Basis analisis Soekarno diletakan pada struktur masyarakat agraris.
Kajian Soekarno adalah mayoritas kamu tani melarat, ditambah buruh dan orang
melarat lainya yang kemudian dinamakan sebagai kaum marhaen.
Dengan sendirinya
Soekarno dan marhaenisme merupakan spirit perlawanan bagi kaum tertindas untuk
memperbaiki nasibnya. Dan dalam buku ini mengupoas secara kritis marhaenisme
sebagai konsep perjuangan dari Soekarno untuk menjawab atas terjadinya tatanan
sosial yang tidak adil.
NIM : 3101412072
Rombel :6B
Identitas buku
Judul :
Soekarno Muda Biografi Pemikiran 1926-1933
Penulis :
Peter Kasenda
Penerbit :
Komunitas Bambu
Tanggal Terbit :
Mei-2014
Jumlah Halaman :
xii+176
Buku ini menceritakan konstruksi pemikiran Sukarno
ketika masih muda (1926–1933). Saat itu, Sukarno menjadi bagian penting
lahirnya The Edge of Ideology di Indonesia. Ia banyak membuat tulisan yang
terkait dengan pemikir-pemikir besar, seperti Marx dan Lenin. Ia bukan saja
mengenalkan tetapi juga mengobarkan radikalisme terhadap imperialisme dan
kapitalisme. Saat itu pula ia mulai berkonsentrasi pada tema sentral perjuangannya
yaitu persatuan Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Ia percaya sisi positif
ketiga ideologi itu bisa disintesakan untuk membangun suatu ideologi dari
saliran pemikiran yang berbeda-beda dan akan sangat efektif untuk mencapai
Indonesia Merdeka.
Dalam buku
ini juga menceritakan bagaimana cara Soekarno dalam menentang atau menumbangkan
kolonialisme, kapitalisme dan juga imperialisme salah satunya dengan
pembentukan kekuasaan. Selain itu Soekarno juga menyatukan semua partai politik
ke dalam satu front yang sama atau membentuk blok kulit sawo matang yang pada
akhirnya terbentuklah PPPKI ( Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia).
Sukarno menyatakan cara untuk mencapai Indonesia
Merdeka adalah dengan menjadikan Belanda sebagai musuh bersama sebab merekalah
yang melahirkan kaum tertindas yang disebut kaum Marhaen, dengan ideologinya
yang dikenal sebagai "Marhaenisme". Penemuan konsep Marhaenisme oleh
Sukarno merupakan jawaban atas politik kolonial Belanda. Marhaenisme menghendaki
dan memperjuangkan suatu masyarakat yang didalam susunannya dapat menyelamatkan
kaum Marhaen agar terbebas dari adanya sistem kapitalis. Soekarno juga melihat
bahwa kaum buruh (Marhaen) mempunyai pandangan yang lebih modren dan sangat
cocok untuk berjuang melawan kejayaan imperalis.
Diseminasi ide-ide ini banyak ditulis Sukarno melalui
media massa, dengan memperkenalkan konsep-konsep seperti Massa-Aksi, Agitasi
Massa, Non-Kooperasi atau percaya pada diri sendiri. Ia bukan saja
memperkenalkan gagasannya, melainkan juga merealisasikan apa yang menjadi
keyakinannya dalam praktek sehari-hari.
Nama : Arditya
R
Nim :
3101412071
Rombel: 6B
Sinopsis
“Dalih Pembunuhan Masal dan Kudeta Soeharto – John Roosa”
Dalam buku ini membahas bagaimana pembunuhan masal
yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia sebagai suatu usaha kudeta merangkak
yang dilakukan oleh Soeharto terhadap kepemimpinan Soekarno sebagai. Dan juga
dua kekuatan besar antara PKI yang mempunyai kekuatan masa hampir 3 juta
penduduk Indonesia dan tentara yang memiliki personil bersenjata yang saling
merebut simpati Soekarno dan juga negara agar condong kepada salah satu mereka.
Didalamnya dibahas secara gamblang tenang bagaimana kronologi terjadinya
pembunuhan para jendral, di jelaskan siapa saja meraka yang terlibat dan
bagaimana Soekarno menghadapi kejadian yang jelas-jelas mengancam kursi
kepemimpinannya. Dan juga bagaimana respon dari para simpatisan Soekarno yang
menamai mereka sebagai Soekarnois.
Identitas buku :
Jakarta Institusi Sejarah Sosial Indonesia dan
Hastra Mitra, 2008
Xxiv + 392 hlm, 16cm x 23cm
ISBN: 978 – 979 17579 – 0 – 4.
[1]
Sjamsuddin, Narzarudin.
Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek. Rajawali Press. 1988 hal 209.
[2]
M.C Ricklefe. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada
University Press. 1998. hal 275.
[3]
Sjamsuddin, Narzarudin. Ibit
hal. 211.
[4]
Max Lane. Malapetaka
di Indonesia Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri.
Djaman Baroe. 2012. Hal 36.
[5]
Insan Fahmi Siregar. Partai Masyumi Dalam Dinamika Demokrasi di
Indonesia. Widya Karya. 2014. Hal 110.
[6]
Kasenda, peter. Soekarno marxisme & leninisme. Komunitas bambu. 2014 hal
69-76
[7]
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
1998 hal 424.
[8]
Kasenda, Peter. Soekarno Muda : Beografi
pemikiran 1926-1933. Komunitas Bambu: Depok 2014 hal 132
[9]
Manipol USDEK adalah merupakan akronim dari Manifesto politik / Undang-Undang
Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
[10]
Ibit. Ricklefs, M.C. hal 387
[11]
Sjamsuddin, Nazaruddin. Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek.
Jakarta: Rajawali Press. 1988 hal. 48
[12]
commond denominator adalah titik temu
dari kemajemukan dalam kontek ini mencari titik temu antara ketiga ideology
(Nasionalis, Islam, dan Marxis).
[13]
Max, Lane. Malapeta di Indonesia Sebuah
esai renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri (bagian I merupakan
terjemahan).Djaman baroe 2012 hal 40.
[14]
Op cit Max lane, hal 35
[15]
Ibit Nazaruddin, hal 213
[16]
Dibawah bendera refolusi,jilid 1,halaman 253-256.
[18]
Alam, Wawan Tunggul. 2003. Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta.
Jakarta: Gramedia hal.453
[19]
Gunadi, Tom. 1990. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan
UUD 1945. Bandung: Angkasa hal. 49
[20]
Sularto, St. Dialog Dengan sejarah:
Soekarno Seratus tahun (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 295
[21]
Reni Nuryanti, Tragedi Soekarno: Dari
Kudeta Sampai Kematiannya (Yogyakara:Ombak, 2012) hlm. 4
[22] Ibid., hlm. 24
[23]
Ibid., hlm. 19
[24]
Ibid., hlm. 33
[25] Wardaya,
Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat:
Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S.
[26]
Retuling adalah kebijakan penggantian
para aparatur negara yang dinilai reaksioner dan merugikan (mungkin juga
anti-komunis) dengan pengganti yang lebih progressif.
[29] Ibid.,
[30] Wardaya,
Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat:
Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S.
[31] Adam,
Asvi Warman. 2006. Revolusi Belum
Selesai: Kumpulam Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965, Pelengkap
Nawaksara.
[32] Al-Rahab, Amirrudin. 2014. Ekonomi Berdikari Soekarno.