About Me

My photo
Riwan Sutandi dari manna bengkulu selatan Pendidikan Sejarah UNNES(Universitas Negeri Semarang) 2012, Rombel 2 PRADA.

Blog Archive


Sunday 3 May 2015

FAKTA DAN REKAYASA G 30 S

 



Identitas Mahasiswa
Nama
: HERI MULADI
NIM
: 3101412047
Program Studi
: Pendidikan Sejarah
Rombel
: 5B



A.    Identitas Buku
Judul Buku          : FAKTA DAN REKAYASA G 30 S
Penulis                 : A. Pambudi
Penerbit               : Medpress
Kota Terbit          : Yogyakarta
Tahun Terbit        : 2011
Jumlah Halama: 420 Halaman
Penerbit               : Yogyakarta : Medpress

B.     Isi Buku
1.     Bunuh Diri Politik
a. Kontroversi di Balik G 30 S
          1 Oktober 1965, Susana yang begitu mencekam. Dimana masyarakat mendapatkan informasi yang membingungkan dari siaran RRI (Radio Republik Indonesia), mengenai apa yang terjadi pada tanggal 30 september malam menjelang 1 oktober 1965  yang saat itu dikuasai oleh Letkol untung dkk. Sebuah gerakan yang di tujukan untuk “ menyelamatkan Presiden / Panglima Tertinggi Soekarno, dari rencana kup Dewan Jendral”. Kebingungan yang dialami masyarakat awampun juga dirasakan oleh kalangan militer. Para pemimpin militer saling kontak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Setelah beberapa tahun peristiwa yang membingungkan itu berlalu, semuanya menjadi jelas. “ bahwa peristiwa pagi buta itu, di desain sebagai kup (kudeta) yang gagal. Sebuah bunuh diri politik.
            Versi pemerintahan Orde Baru menyebut gerakan itu sebagai G 30 S/PKI. Yang di dalangi olehPartai Komunis Indonesia. Dan merupakan kup d’etat terhadap kepemimpinan pemerintahan yang sah. sebagaimana yang banyak di pahami umum. operasional G 30 S/PKI di pimpin oleh LetkolUntung Murtopo bin Syamsuri, Danyon (Komandan Batalyon) I Resimen Cakrabirawa, pasukan kehormatan pengawal presiden. Dimana pelaksana lapangannya adalah : Letnan Satu inf. Dul Arif, Sersan Mayor Bungkus, Mayor inf. Soekirno, Pembantu Letnan Satu Soekidjan, Pembantu Letnan Dua Djahurub, Sersan Mayor Surono, Sersan Mayor Satar, Sersan Dua Soekarjo, Mayor inf. Bambang Soepeno, Kapten inf. Suradi, Mayor Udara Soejono dan Mayor Udara Gatot Soekresno. Tokoh lain yang jelas keterlibatannya dalam gerakan ini antara lain : Brigradir Jendral Soepardjo (Pangkopur II, bawahan Mayor Jendral Soeharto), Kolonel Latif (Komandan Brigif I Kodam Jaya), dan Syam Kamaruzaman(ketua biro PKI, Konon Pernah dekat dengan Soeharto).
            Banyak pihak menilai apa yang di lakukan PKI adalah kesalahan besar bagi PKI sendiri. karena Para elit PKI berharap mereka dapat memenangkan pemilu yang direncanakan pada tahun 1970. Apa yang terjadi pada tanggal 30 September dan 1 oktober 1965 adalah tindakan yang menempatkan PKI dan juga para simpatisannya, pada sebuah killing field (ladang pembantaian). Salah satu argumen yang menyatakan mengapa PKI  melakukan gerakan tersebut. diantaranya, karena kesehatan Presiden waktu itu menurun. Dan banyak pertanyaan siapa pengganti Soekarno setelah beliau wafat. Saat itu hanya ada 2 kandidat yakni Letjen A. Yani dan Jenderal A.H. Nasution, yang anti komunis. Hal ini sungguh tidak di inginkan PKI karena berbagai pengalaman konfrontasi tajam antara AD (Angkatan Darat) dan PKI. Namun ada sesuatu yang janggal dari Gerakan 30 September ini. Di mana Gerakan ini direncanakan dan dilaksanakan secara “ceroboh”. Diantara buktinya sebagai berikut :
 Tentang eksekusi para Jenderal,. Alangkah lebih baiknya jika para pimpinan AD dihadapkan pada Presiden Soekarno?. Sesuai dengan pengakuan Kolonel Latif bahwa tidak ada perintah untuk membunuh para Jenderal, mereka hanya dihadapkan pada Presiden Soekarno. Berarti ada factor X yang menyebabkan gerombolan tersebut mengambil keputusan membunuh para Jenderal. Mengapa nama Presiden Soekarno tidak dimasukkan dalam Dewan Revolusi yang di umumkan Letkol Untung di RRI, Bila memang gerakan tersebut “sungguh – sungguh untuk menyelamatkan presiden soekarno dari Dewan Jendral”.
Sebaliknya jika memang gerakan itu dimaksudkan kudeta. Seharusnya pihak gerombolan tidak perlu meminta dukungan presiden soekarno. Seperti yang dilakukan Brigjen Soepardjo. Yang pada pagi hari itu ke istana untuk memberitahu Presiden mengenai gerakan tersebut.
b. Titik Kontroversi
Siapa dalang dari G 30 S sampai sekarang belum terjawab. Ada yang berpendapat Nekolim,CIA (Central Intelegence of Agency), ada yang berpendapat Soekarno terlibat, dan Mayjen Soeharto pun terlibat. Dan ada yan berpendapat tidak ada dalang dari peristiwa tersebut. Semua pihak melakukan improvisasi atas perkembangan penting yang setiap detik terjadi.  Tindakan Mayjen Soeharto menghalangi Mayjen Pranoto Reksosamodro menghadap Presiden Soekarno untuk di daulat menjadi Men/Pangad – jabatan yang kosong sepeninggal Letjen Yani, dan tindakannya setelah RRI berhasil direbut oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat)  dari tangan untung dan kawan – kawan, dan ia lalu mengambil alih pimpinan AD tanpa Persetujuan Soekarno merupakan titik kontroversi.
Penggalian mayat para Jenderal yang dilaksanakan pada tanggal 4 oktober 1965 di bawah publikasi media masa juga nerupakan kontroversi. Karena lokasi sudah diketahui pada tanggal 3 oktober 1965. Hal ini dianggap di sengaja untuk memancing emosi kaum “reaksioner”. Titik kontroversi lain adalah dugaan adanya konspirasi antara Letkol untung, Kolonel Latif, Syam Kamaruzaman dan Mayjen Soeharto? yang kesemua pelaku dalam gerakan tersebut adalah orang – orang yang dekat dengan Soeharto. Dan Brigjen Soepardjo yang saat itu secara struktural pun berada di bawah garis komando Mayjen Soeharto.
     Dan pertanyaan mengenai mengapa D.N. Aidit dibunuh orang – orang Soeharto tanpa sempat diadili. Padahal Aidit sangat di butuhkan untuk menyingkap tabir G 30 S/PKI.
2.        Kisah Dan Kesaksian
a.       Para pelaku gerakan
·         Siapakah Letkol Untung?
          Letkol Untung bin Syamsuri salah satu tokoh kunci gerakan 30 september. Merupakan salah satu lulusan terbaik Akademi Militer. Untung menunjukkan keberanian yang luar biasa pada perebutan irian barat ke pangkuan ibu pertiwi. Dalam operasi tersebut, untung menjadi anak buah soeharto. Sebelum ke Resimen Cakrabirawa. Untung sempat bertugas di batalyon 454/Banteng Raiders sebagai Danyon. Dimana Batalyon ini terlibat dalam G 30 S. ia sempat menghilang setelah G 30 S terjadi. Dan ia ditangkap oleh anggota Armed (Artileri Medan) TNI – AD di Brebes Jawa tengah. tapi keterangan ini berbeda dengan versi Soeharto. Menurut Soeharto untung di tangkap oleh rakyat, bukan anggota ARMED. Hubungan Untung dan Soeharto memang sangat erat sejak Soeharto menjadi Komandan Untung di Kodam Diponegoro. Dan indikasi kedekatan lainnya adalah pada saat resepsi pernikahan untung. Soeharto menyempatkan diri bersama istrinya untuk menghadiri resepsi tersebut. kedatangan Komandan menghadiri resepsi bawahan itu memang biasa, tetapi sepertinya memang ada hal khusus yang mendorong Soeharto datang. Di tinjau dari jarak Jakarta – Kebumen yang jauh. Dan prasarana transportasi yang terbatas waktu itu.
·         Eksepsi kolonel latif
          Menurut Kolonel Latif, Soeharto pada saat itu memainkan peranan bermuka dua :
Pertama secara gigih Soeharto membela Soekarno dan mencap gerombolan Untung sebagai kontra revolusi. Lalu dengan segala macam cara ia mulai memihak pada Dewan Jenderal. Dengan cara mengutuk sana mengutuk sini terutama yang jelas G 30 S dan orang – orang pemerintahan Soekarno. Dan dengan jalan ini ia mencari dasar hukum, dan berhasillah ia mendapatkan apa yang disebut SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret). Setelah dapat mengadakan konsolidasi dengan berbagai pihak, lalu ia menghantam presiden Soekarno. Hanya dengan dalih Presiden tidak bisa mempertanggung jawabkan G 30 S yang menurut Soeharto gerakan tersebut harus di pertanggung jawabkan karena gerakan tersebut adalah gerakan yang bertujuan melindungi Presiden, padahal masih ada pendapat lain yang menyatakan bahwa gerakan tersebut di rancang untuk melakukan kudeta terhadap Presiden. tapi ia menggulingkan soekarno dan menahannya sampai wafat di tahanan. Setelah berhasil, ia baru melakukan pembersihan terhadap kalangan ORBA maupun ORLA. Salah satu contoh Jenderal Nasution yang harusnya mendapatkan penghargaan sebaik – baiknya, malah di geser tidak mempunyai jabatan sama sekali.
·         Apologi Serma Bungkus
            Waktu itu ia diperintah untuk menangkap Jenderal M.T Haryono. Ia menegaskan pada sesi wawancara dengan seorang reporter “ PERINTAH TENTARA ITUKAN TEGAS, HIDUP ATAU MATI!. DAN APA YANG DIKATAKAN MENCULIK ITU SALAH, DIDALAM TENTARA GAK ADA ISTILAH MENCULIK. KALO GAK TANGKAP YA BANTAI “.  Ia mendapatkan perintah untuk membawa hidup atau mati para Jenderal berdasarkan perintah Lettu Dul Arif. Padahal menurut Latif. Pada saat briefing, para Jenderal hanya akan di hadapkan dengan Presiden. Ini menjadi pertanyaan. Mengapa Dul Arif menyinpang dari hasil briefing?. Kemudian, Menurutnya dalam G 30 S ada 2 kubu yang berkonflik. Yaitu DEWAN JENDERAL yang di duga ingin melakukan kup terhadap presiden. Dan DEWAN REVOLUSI yang diduga pihak yang melindungi soekarno. yang selanjutnya dituduh sebagai pemberontak.
·         Syam kamaruzaman yang misterius
       Ia adalah biro khusus PKI. Biro khusus adalah : aparat khusus partai yang menangani pekerjaan – pekerjaan khusus yaitu, pekerjaan yang tidak dapat dilakukan melalui biro terbuka yang lain, terutama di bidang militer dan bidang lainnya yang harus dikerjakan melalui gerakan bawah tanah. Peran syam sangat penting. Dimana dialah yang mengkoordinir sebagian klik AD untuk melakukan G 30 S. dalam sidangnya ia mengatakan. Operasi rahasia biro khusus berjalan lancar. Syam mengadakan kontak tetap dengan kira – kira 250 perwira di Jateng, 200 di Jatim, 80 – 100 di Jabar, 40 – 50 di Jakarta, 30 – 40 di Sumut, 30 di Sumbar, dan 30 di Bali. Setelah di tahan dan di jatuhi hukuman mati. Keberadaannya misterius. Banyak tahanan RUTAN Militer Budi Mulia, Jakarta mengatakan. Syam tidak di eksekusi mati. Tapi di bebaskan dan berganti identitas. Atau malah pergi keluar negeri. Hal ini tidak lepas dari jasanya terhadap pemerintahan ORBA dan Jenderal Soeharto. indikasi kedekatan syam dan Soeharto diterangkan oleh Kolonel Latif. Bahwa ia pernah sama – sama di tahan di LP Cipinang. Di mana syam bercerita. Bahwa ia mengetahui posisi dimana saja Latif saat bergerilya pada serangan umum 1 Maret.
·         Eks Brigjen Soepardjo
       Waktu itu ia adalah wakil panglima kolaga. Yang dimana soeharto adalah panglima kolaga itu sendiri. Dan menurut kabar soeharto pernah berkunjung ke Kalimantan dimana kedudukan sopardjo berada. Dan pada peristiwa G 30 S soepardjo secara khusus dari Kalimantan datang ke Jakarta untuk bergabung dengan G 30 S/PKI. Tapi di duga Soepardjo di jerumuskan oleh seseorang dalam gerakan ini. Karena ia termasuk orang yang loyal terhadap Presiden. Dan tidak mungkin ikut G 30 S yang mendemisionerkan kabinet dan tidak mencantumkan Soekarno dalam 45 nama Dewan Revolusi. Kelak orang – orang yang ada dalam Dewan Revolusi yang di umumkan oleh untung di RRI ini menjadi buruan Soeharto. dan banyak yang tidak tahu menahu diantara 45 nama ini apa sebab mereka di masukkan dalam Dewan Revolusi yang di umumkan oleh Letkol Untung. dimana mereka tidak tahu sama sekali tentang Dewan Revolusi.
3.               Mereka Yang Ikut Kena Getahnya
             Banyak tokoh yang diduga terlibat G 30 S di ragukan kebenarannya. Seperti Laksamana Madya Udara Omar dhani dan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).omar dhani di duga terlibat karena ia bersikap kooperatif dengan golongan kiri. Terbukti ketika ia meminjamkan sebagian kompleks halim yakni lubang buaya untuk latihan militer pemuda rakyat dan ormas lainnya. Dimana latihan militer tersebut dimaksudkan oleh biro khusus PKI untuk melatih rakyat sebagai bagian dari gerakan GANYANG MALAYSIA. Omar dhani sebagai pimpinan AURI salah satu institusi pembela bangsa ini tentu berpendapat latihan tersebut merupakan hal positif bagi NKRI. Tapi akibat kemurahan hatinya memijamkan sebagian kompleks halim untuk latihan tersebut, ia malah di tuduh pro PKI dan terlibat G 30 S.
            Adalagi Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang. Pada saat itu ia berada di sumatera untuk mempersiapkan DWI KORA. Setelah mendengar kabar ia langsung pergi ke Jakarta. Ia diduga terlibat G 30 S dengan alasan yang tidak jelas. Yang jelas saat itu AURI sudah di cap negatif oleh khalayak ramai. Pada saat itu nama sri mulyono ada dalam daftar orang yang di cari KOSTRAD (Komando Strategi Cadangan Angkatan Darat). Pada saat SUPERSEMAR keluar, di mana saat itu sedang terjadi pembersihan baik di kalangan militer maupun birokrasi. Sesuai dengan indikasi soeharto, bahwa setiap orang yang memiliki kaitan dengan golongan kiri, baik secara langsung atau tidak. Akan di seret ke penjara. Dan tokoh – tokoh nasionalis yang loyal terhadap soekarno pun di tangkap. Termasuk sri mulyono.
            Mayjen Pranoto Reksosamodro dan Mayjen Moersid. Mereka berdua merupakan saingan berat Mayjen Soeharto dalam kursi pimpinan AD. Mayjen Pranoto waktu itu sudah jelas di tunjuk sebagai pengganti Men/Pangad Letjen A. Yani yang gugur, tetapi dihalangi Soeharto.. Jabatannya waktu itu adalah Asisten III Men/Pangad. Dan Mayjen Moersid Sebagai (Asisten II Operasi MBAD) yang juga sempat di perhitungkan Soekarno untuk menggantikan A. Yani. Untuk Meyjen Pranoto. Beliau di dakwa karena pada waktu itu ia mendapatkan surat dari Kolonel latif yang meminta perlindungan padanya. Sedangkan Mayjen Moersid di dakwa dengan tuduhan disuruh presiden untuk membunuh sesama Jenderal. Padahal keterangannya tersebut tidak benar, Karena menurut mualif nasution. Mayjen Moersid waktu itu disuruh merangkak di atas batu kerikil oleh penyidik. Untuk mengakui bahwa Presiden Soekarno memerintahkannya membunuh sesama Jendral. Dan hal ini menunjukkan juga, tampak jelasnya keinginan para penyidik untuk pengakuan bahwa Soekarno ikut dalam usaha pembasmian DEWAN JENDERAL.
2.      Hasil Otopsi Jenazah Korban
          Berdasarkan apa yang di beritakan Media Massa pada waktu itu, yang menyatakan bahwa jenazah para Jenderal sempat disiksa ada yang di silet dan penisnya dipotong, berdasarkan pengakuan Dr. Arif Budianto yang tergabung dalam tim forensic yang terdiri dari tim kedokteran dari RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) dan FKUI, itu tidak benar. Berdasarkan cerita arif. Saat itu ia dan teman – temannya sudah takut untuk memeriksa jenazah para korban, karena adanya berita mengenai penis yang di potong. Tapi apa yang mereka temukan jauh dari apa yang di beritakan. Jangankan penis yang di potong, bekas irisan saja tidak ada, tukasnya. Dan ada lagi berita mengenai mata para Jenderal yang di congkel. Mata para Jenderal memang ada yang copot. Tapi itu karena sudah tiga hari mayat terendam di dalam sumur, dan bukan karena di congkel. Menurut keterangan arif lagi. Bila mengatakan jenazah tidak disiksa itu tidak benar. karena mayat itu di tembaki berkali – kali. Waktu itu berdasarkan keterangan arif. soeharto juga ada di tempat otopsi. Mengapa ia sebagai PANGKOSTRAD tidak mempublikasikan berita yang sebenarnya, bahwa jenazah para jenderal tidak ada yang penisnya dipotong dan matanya di congkel. Apa sengaja untuk memancing amarah masyarakat untuk meningkatkan amarah dan mendukung soeharto untuk mebersihkan orang PKI dan orang – orang yang menurutnya bersalah tetapi belum benar kebenarannya.
3.      Menyusun Mozaik Dari Serpihan Yang Berserak
Simpang siurnya akan peristiwa 30 September menjelang 1 Oktober 1965. Atau yang sering disebut G 30 S/PKI, banyak menimbulkan berbagai macam teori. Ada 6 teori yang berpendapat akan peristiwa ini. Sebagai berikut :
a.      Pelaku utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus
Dengan memperalat unsur ABRI, tokoh – tokoh biro khusus PKI merencanakan putsch ini sejak lama. Hal ini dilakukan untuk menciptakan masyarakat komunis di Indonesia. Teori ini tentu di dukung oleh pemerintahan ORBA yang menerbitkan buku putih pengkhianatan G 30 S/PKI. Yang menerangkan bahwa PKI melakukan kup d’etat.
b.       G 30 S merupakan masalah internal AD
 yang dirancang oleh sebuah klik (kelompok terbatas). Persiapan gerakan ini di lakukan secara teliti, dengan cara menyusupi PKI. Inti dalam teori ini adalah bahwa G 30 S merupakan kudeta yang dirancang oleh klik AD, di bawah pimpinan Soeharto. teori ini cukup masuk akal karena banyak pelaku G 30 S merupakan orang terdekat Soeharto. dan banyaknya kejanggalan dari tindakan yang di ambil oleh Soeharto.
c.        G 30 S Digerakkan oleh CIA (CENTRAL INTELEGENCE OF AGENCY)
Teori ini beranggapan bahwa pelaku utama G 30 S adalah CIA atau pemerintah AS. Yang bekerja sama dengan klik AD untuk memprovokasi PKI, dengan tujuan akhir menggulingkan Soekarno. Teori ini cukup masuk akal sesuai dengan kepentingan AS yang menginginkan jangan sampai Indonesia menjadi basis komunisme. Karena jika. Indonesia menjadi basis komunisme di khawatirkan akan terbentuk poros Jakarta-Pyongyang-Beijing yang di takutkan AS.
d.      Bertemunya kepentingan Inggris dan AS
Teori ini intinya mensinyalir bahwa G 30 S adalah “pertemuan” antara rencana Inggris dan   AS. Inggris menginginkan agar sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa di akhiri dengan penggulingan kekuasaan. Dan AS menginginkan Indonesia terbebas dari komunisme.
e.       Soekarno dalang gerakan G 30 S
Teori ini sangat kontroversial karena mengamsumsikan Soekarno dalang G 30 S. menurut teori ini Soekarno menginginkan lenyapnya oposisi sebagian perwira tinggi AD terhadap kepemimpinannya. PKI ikut terseret karena kedekatannya dengan Soekarno. Padahal Soekarno bukan dekat dengan PKI. Tapi ia menginginkan Indonesia bersatu, yang pada saat itu ada 3 golongan besar yaitu Nasionalis, Agamis, Komunis. Dan pada saat itu Soekarno mengusung konsep NASAKOM untuk membuat Indonesia bersatu dan kuat.
f.        Teori Chaos
Menurut teori ini tidak ada individu tunggal G 30 S. semua hanya melakukan Improvisasi sesuai dengan perkembangan lapangan. Menyusun Mozaik dari serpihan yang berserak : Analisis Menurut Teori Kepentingan.
Ada beberapa aktor politik yang memiliki agenda pada tahun 1965. Pertama PKI. Pertama sebagai partai politik yang legal waktu itu, kepentingannya jelas, yakni merebut kekuasaan. Upaya kearah itu sudah dilakukan sejak lama. Pemilu 1955 (di mana PKI menduduki posisi empat besar). Merupakan feedback pertama bagi PKI pasca madiun affair, betapa mereka bisa mendapatkan simpati rakyat. Menurut versi AD, yang kemudian banyak dikukuhkan melalui historiografi pada masa ORBA, yang menyatakan bahwa PKI berusaha mengkomuniskan Indonesia. Tapi tidak semua anggota PKI terlibat dalam G 30 S. Minimal, tidak terlibat secara langsung. Faktanya, G 30 S berkembang out of control. Dimana gerakan tersebut bahkan di luar kendali pimpinan PKI D.N. Aidit.
Aktor berikutnya menurut teori kepentingan, adalah Angkatan Darat. Secara resmi AD berkepentingan mengamankan Negara. Dengan Asumsi bahwa kaum komunis rawan terhadap berbagai gejolak dan instabilitas politik dan kemanan. Pada dekade 60-an memang AD terpecah menjadi berbagai macam faksi. Tapi pada dasarnya AD bersikap anti komunis. G 30 S merupakan tikaman tajam bagi AD, di mana para pimpinan teras AD tewas akibat gerakan ini yang terang – terangan anti komunis. Pertanyaan bahwa PKI otak dari G 30 S sedikit banyak dapat diterima. (tercermin dari korban yang jelas menentang PKI). Pertanyaan problematisnya. Mengapa Mayjen Soeharto tidak termasuk dalam daftar korban PKI?. Hal ini di duga karena kedekatan secara personalnya dengan beberapa pimpinan operasional G 30 S. hal yang ironis dari Soeharto pasca G 30 S, adalah dia menyekap Jenderal – Jenderal yang tidak menjadi sasaran PKI. Seperti Mayor Jendral Moersid dan Pranoto Reksosamodro dengan alasan bahwa mereka terlibat. Dan bayangkan jika situasi berhasil dikuasai oleh pimpinan AD lainnya selain Soeharto. pasti Soeharto akan dituduh dengan tuduhan yang sama. Di tambah kedekatannya dengan beberapa pimpinan operasional gerakan.
Akhirnya aktor politik dalam negeri yang paling menentukan Indonesia pada tahun 1965 adalah kelompok ORDE BARU. Dukungan Soeharto dan ORBA menguat seiring ambiguitas sikap bung Karno terhadap PKI yang menjadi sasaran tembak masyarakat. Bagi soeharto ada kepentingan sendiri setelah menyadari G 30 S merubah konstelasi politik nasional. Kepentingan itu adalah untuk menunjukkan eksistensinya. Sebelum G 30 S ia adalah jenderal marjinal (ingat waktu penyelundupan semasa ia menjadi panglima diponegoro). Dan menurut banyak pengamat ia memiliki “dendam” tersendiri terhadap A. Yani, panjaitan, dan pranoto.
·           Momen penting bagi Soeharto
            Sebelum G 30 S Soeharto bukan apa – apa. Dia hanya di beri jabatan sebagai pimpinan KOSTRAD – kesatuan yang waktu itu belum terlalu bergengsi. Banyak pengamat memprediksikan karirnya akan terhenti di sana. Karena banyaknya tokoh AD yang lebih senior dan memiliki kredibilitas tinggi di mata bung Karno. Jenderal Nasution memang sudah “dikebiri” sejak di beri jabatan Menko Hankam / KASAB. Jabatan ini hanya bersifat administratif dan selebihnya hanya simbolik belaka. Nasution tidak memiliki tongkat komando seperti jenderal Yani. Justru jenderal Yani lah yang di sebut – sebut akan menggantikan Soekarno. Jadi, G 30 S merupakan blessing in disguised bagi karir Soeharto. dia mendapatkan beberapa keuntungan sekaligus :
    1.    Tersingkirnya pimpinan teras AD berarti melejitkannya ke posisi puncak. Dengan kata lain Soeharto tidak memiliki saingan lagi. Walaupun masih ada jenderal Nasution. Tapi tampaknya Nasution kurang siap memegang jabatan pimpinan angkatan darat karena sudah 3 tahun tidak memegang komando, dan trauma akibat jadi sasaran G 30 S sebelumnya. Tampillah Soeharto dengan cara yang agak sedikit kasar – yakni menolak kehendak Soekarno untuk menjadikan Pranoto menjadi pengganti A. Yani sebagai pimpinan AD. Hal ini sempat menjadi perdebatan. Karena bagaimana mungkin seorang Mayjen membangkang terhadap Pangti.
1.      Lemahnya kepemimpinan Soekarno. Kehadiran Soekarno di halim memberikan indikasi Soekarno terlibat G 30 S/PKI. Barangkali demi konsep NASAKOM ia rela tetap membela PKI. Bahwa G 30 S merupakan kesalahan oknum.
2.      Adanya G 30 S juga membuat posisi orang – orang yang loyal dengan soekarno menjadi lemah, termasuk Angkatan Udara. Hal ini semakin menguatkan Soeharto untuk mengendalikan situasi. Dan menyudutkan Soekarno. Adanya G 30 S ini membuat Soeharto sebagai public figure yang baru di mata masyarakat.


Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia

 



Identitas Mahasiswa
Nama
: N. MARISQA APRILIANI
NIM
: 3101412100
Program Studi
: Pendidikan Sejarah
Rombel
: 5B



A.    Identitas Buku
Judul                    : Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia
Judul Asli            : The Politization of Gender Relations in Indonesia Women’s   Movement and Gerwani Until the New Order State
Penulis                 : Saskia Eleonora Wieringa
Penerbit               : Kalyanamitra dan Garba Budaya
Cetakan               : Agustus 1999
Halaman              : 593 hal +xxxix
B.     Tentang Penulis
Saskia Eleonora Wieringa lahir tahun 1950 di Amsterdam, Belanda. Dr. Wieringa adalah Direktur Aletta, Institute for Women's History sebagai professor di University of Amsterdam, ia menjabat sebagai KEtua Gender and Women's Same-Sex Relation Crosscultury. Beliau memiliki pengalaman panjang berkiprah sebagai aktivis gerakan perempuan dan solidaritas negara ketiga. Pada pertengahan tahun 1970-an, belaiu mendirikan sejumlah kelompok studi perempuan dan sekaligus menerbitkan jurnal. Sejak akhir 1970-an. beliau mulai tertarik melakukan penelitian di Indonesia. Fokuspenelitiannya pada sejarah gerakan perempuan Indonesia. Beliau memberikan kuliah di banyak negara, bahkan mengajar seputar isu perempuan dan gender atau sexual studies. Lebih dari 20 judul buku dan 100 artikel sudah diterbitkannya.

C.    Sinopsis Buku
Menelisik Sejarah yang Disembunyikan
Setelah setengah abad sejak Sukarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yakni periode sekitar tahun 1965-1966 saat Orde Lama Sukarno digantikan oleh Orde Baru Suharto. Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani adalah salah satu organisasi yang disiksa dan dikalahkan oleh rezim suharto. Karena dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan termasuk dalam keluarga komunis. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) tidak hanya mendapat kekerasan yang merenggut nyawa tetapi juga dianggap sebagai peyebarkan fitnah berupa tuduhan rekayasa tentang terjadinya pesta pora seksual yang dikatakan dilakukan oleh para anggota Gerwani.
Gerwani pada masa Orde Baru diabstraksikan sebagai wanita yang bejat moral, musuh ideologi negara dan agama karena menganut paham komunis. Gerwani ingin disingkirkan dari gerakan perempuan lain dalam upaya penguasaan komunis untuk menguasai gerakan perempuan karena mungkin gerakan ini menjadi lawan yang kuat bagi para komunis.
Gerwani yang dikatakan sebagai pelacur senyatanya adalah ormas perempuan yang sangat keras menyuarakan dan membela hak-hak perempuan dan anak-anak pada zamannya. Gerwani dulunya bernama Gerwis berdiri tahun 1950 dan berganti nama pada tahun 1954, dimana tumbuh pada masa sulit ketika Indonesia sedang membangun negara. Perubahan Gerwis menjadi Gerwani dari sebuah kader menjadi sebuah organisasi yang  menggalang masa seluas-luasnya. Gerwani berjuang pada tiga medan yakni :
1)             Medan politik: menghadapi unsur-unsur “reaksioner” antara lain yang telah mengorganisasi Peristiwa 17 Oktober 1952 untuk menuntut pembubaran parlemen masa presiden Sukarno,
2)             Medan perempuan atau feminisme: melawan Peraturan Pemerintahan Nomor 19 dan menyokong perjuangan untuk undang-undang perkawinan yang demokratis yang diajukan oleh Kongres II KWI tahun 1952,
3)              Medan daerah: giat dalam gerakan tani melawan upaya pemerintahan mengusir petani dari tanah garapannya. Gerwis kemudian berubah menjadi Gerwani pada tahun 1954. Selanjutnya, Gerwani menjadi organisasi yang bekerja menggalang massa perempuan seluas-luasnya dan melakukan advokasi di parlemen.
Strategi perjuangannya ada dua yakni perjuangan massa melalui pemberantasan buta huruf, memberikan kursus, mengurusi korban poligami dan perjuangan parlemen yakni ikut memperjuangkan dan memasukan UU Perkawinan dan keimigrasian. Bersama dengan kaum perempuan dari organisasi-organisasi lain, Gerwani juga aktif menyelenggarakan berbagai macam kegiatan. Kampanye yang dilakukan Gerwani menyentuh isu pemberantasan buta huruf, perubahan Undang-Undang Perkawinan yang lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk perkosaan dan penculikan, dan kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi untuk kaum tani dan buruh perempuan. Bersama dengan anggota-anggota PKI dan organisasi massa lain, Gerwani ikut serta dalam berbagai demonstrasi, pawai atau protes. Gerwani membantu sekretariat perempuan serikat buruh dalam perjuangan menuntut hak-hak buruh perempuan, seperti upah yang sama, pelaksanaan Undang-Undang Perburuhan, dan perlindungan terhadap penyerangan seksual.
Dalam hal publikasi, Gerwani menerbitkan dua majalah, yaitu Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh dan memuat tulisan-tulisan tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, kebutuhan terhadap taman kanak-kanak, kejahatan imperialisme, poligini, pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, dan masalah-masalah sekitar kaum pekerja perempuan. Berita Gerwani adalah majalah internal organisasi dengan berita-berita mengenai konferensi-konferensi dan laporan kunjungan ke organisasi-organisasi perempuan di negara-negara sosialis. Dengan demikian, Api Kartini terbit untuk menarik perhatian perempuan golongan tengah dan meyakinkan mereka bahwa Gerwani juga memperhatikan masalah-masalah “tradisional” perempuan, sedangkan Berita Gerwani bergerak lebih radikal dengan memberikan dukungan kepada kader-kader daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugasnya. 
Pada waktu itu tahun 1964 RUU perkawinan telah diajukan dan di setujui namun ketika sidang pleno dibekukan hingga tahun 1965 saat peristiwa berdarah pecah, hingga masa Orba di wacanakan kembali tapi apa yang terlihat justru tidak sesuai dengan apa yang diajukan dulu yakni laki-laki sebagai kepala keluarga dan wanita berkewajiban mengurus rumah tangga, dimana hal tersbut sungguh menyedihkan dan sangat meminggirkan atau memojokkan posisi kaum perempuan diwilayah publik. Pada masa Soekarno, Gerwani merupakan satu-satunya organisasi yang ikut dalam politik nasional, yang lain hanya disekitaran kerja sosial saja.
Gerwani berhasil menerobos pembagian kerja secara gender dengan merumuskan dua segi perjuangan yakni feodalisme, imperialisme dan kolonialisme adalah musuh bersama dengan lelaki dan juga perjuangan khusus bahwa perempuan menjadi korban ketidakadilan gender dari ketiga paham tersebut. Gerwani pernah dibenci karena mereka juga bergerak di bidang politik dan disiksa dan diburu karena diduga terlibat dengan PKI, karena memang pada saat itu Gerwani ikut PKI karena bujukan Aidit yang mengiming-imingi perjuangan perempuan dan kesetaraan. Dalam pemikiran Gerwani, kemajuan perempuan Indonesia dihambat oleh kungkungan kekuasaan tuan tanah feodal dan kekuasaan modal asing (imperialis).

Ideologi Gerwani sebagai Ibu Militan : Feminisme, Sosialisme dan Nasionalisme
Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang dan menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat satu organisasi perempuan yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah: Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruhan. Para pendiri Gerwis berasal dari kalangan sosial yang berbeda tetapi semuanya terjun dalam gerakan nasional, bahkan, banyak diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pembentukan organisasi tersebut, disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah.
Walaupun Gerwis di dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai organisasi non-politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, kenyataannya PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis kedepan.
Konres pertama Gerwis dilakukan pada Desember 1951. Dalam masa ini, Gerwis berada dalam kondisi yang sulit. Para utusan Gerwis dari daerah-daerah banyak yang masih berada dipenjara. Ketika itu, parlemen yang dipimpin Masyumi adalah pemerintahan yang reaksioner dan para utusan Gerwis tersebut adalam korban dari politik yang reaksioner ini. Untuk itu, Aidit, sebagai pemimpin PKI kala itu, menginstruksikan Gerwis untuk menghentikan sementara kritik terhadap pemerintah dan lebih memfokuskan pada gerakan bawah tanah.
Dalam kongres kedua pada 1954, setelah mendapat tekanan dari PKI untuk menjadi organisasi massa dibawahnya (Gerwis pada awalnya dibentuk sebagai organisasi kader), Gerwis mengubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono –yang juga merupakan anggota PKI sebagai ketuanya. Organisasi berkembang pesat diantara masa kongres pertama dan kedua. Di Surabaya, Gerwis memiliki  40 cabang dengan 6000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang. Dalam masa ini pula, Gerwani aktif dalam tiga front perjuangan sekaligus. Pertama, dalam lapangan politik, mereka menghadapi elemen reaksioner, yaitu elemen yang menggerakkan peristiwa 17 Oktober 1952. Kedua dalam tataran feminisme, mereka menentang PP Nomor 19 yang mengatur masalah perkawinan tetapi dinilai diskriminatif dan untuk itu Gerwani mendukung disahkannya undang-undang perkawinan yang lebih demokratis. Dan ketiga, Gerwani berusaha sebisa mungkin untuk menghindari konfrontasi dengan Sukarno. Selain itu, di tingkat lokal, Gerwani ikut serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang telah mereka duduki.
Perubahan Gerwani dari organisasi kader menjadi organisasi massa ini salah satunya dilakukan dengan cara menawarkan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar-belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya hanya berasal dari keluarga pamong praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi sehari hari.
Kemudian, dalam resolusi Kongres ke III, Gerwani menunjukkan arah politik yang semakin condong kepada urusan poilitik nasional dari yang semula banyak berjuang dalam lapangan permasalahan perempuan, utamanya tentang demokrasi terpimpin. Pergeseran orientasi ini semakin terlihat ketika Gerwani fokus pada isu kenaikan harga pangan dan sandang ketimbang urusan-urusan feminis seperti masalah perkawinan. Dengan perubahan orientasi ini, maka Gerwani harus melakukan berbagai penyesuaian yang dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas. Kedua, Gerwani menghendaki membangun gerakan massa, dalam hal  ini Gerwani mengikuti garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan. Ketiga, Gerwani menghendaki perempuan ikut ambil bagian dalam politik nasional, misalnya terlihat dari keterlibatan Gerwani dalam urusan perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu.
Gerwani dalam buku ini diceritakan adalah mendapat inspirasi tentang pemikiran sosialis dan marxisme karena organisasi ini bertalian erat dengan PKI. Dalam hubungannya terhadap marxisme, Gerwani bergulat dengan sejumlah problem teoritis. Dalam marxisme, perjuangan perempuan harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakkan, maka perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga proletar bahagia’ akan menggantikannya.
Dalam hubungannya dengan feminisme, nasionalisme Gerakan Wanita Indonesia juga ditandai dengan kontradiksi penolakan akan pembedaan seksual disatu pihak, dipihak lain hal itu bersifat universal. Disatu sisi, perbedaan gender membuat dikotomisasi secara politik, ekonomi, dan sosial, namun pada saat yang sama pembangunan keduanya dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam cita-cita nasional. Misalnya, Sukarno yang seorang nasionalis-sosialis mendorong perempuan untuk mejadi ‘roda kedua’ kereta perang menuju kemerdekaan. Tetapi disisi lain, pasca kolonialisme, para pemimpin laki-laki berupaya untuk menguasai dan mengontrol kegiatan perempuan. Hal ini kemudian dilawan oleh Gerwani yakni dengan aksi mendekonstruksi model putri Jawa Kartini. Bagi mereka, Kartini adalah simbol bagaimana perempuan melawan dan memberontak untuk mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki.
Setelah tahun 1959, Gerwani menyatakan kesetiaannya terhadap sosialisme. Para pemimpin Gerwani pun mulai membaca karya-karya para penulis sosialis seperti Clara Zetkin dan Engels. Selain itu, Api Kartini (terbitan Gerwani), juga terus-menerus mempublikasikan tentang ‘berkah sosialisme’ dengan mengutip kata-kata Sukarno. Dalam sejarah yang relatif singkat, Gerwani telah melakukan upaya pembentukan identitas dirinya sendiri. Ketiga alur tersebut yang kemudian mewarnai perjalanan sejarah Gerwani, meskipun hubungan diantara ketiganya sangat dinamis.
Bagi Gerwani, musuh ideologis adalah diskriminasi terhadap perempuan yakni bersumber pada feodalisme misalnya pada bidang tradisi, nilai, dan norma warisan keterbelakangan budaya kerajaan-kerajaan pribumi dan kolonialisme Belanda seperti poligami, kawin paksa, perdagangan perempuan untuk dijadikan gundik dan pekerja seks, sedangkan imperialisme dan kolonialisme misalnya pada bidang ekonomi meliputi modal monopoli asing yang menghisap kaum tani dan buruh, serta di bidang politik yaitu penjajahan atas Irian Barat, di bidang budaya : berkuasanya produk film-film Hollywood.
Fitnah Gerwani : Lubang Buaya
Dimulai pada 1 Oktober 1965, politik Indonesia berubah 180 derajat. Diawali dari suatu putsch sejumlah kolonel kiri yang diklaim sebagai upaya melindungi Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jendral. Dimulailah Suharto membuat suatu upaya sistematis untuk menghancurkan gerakan kiri, dan gerakan rakyat secara umum. Gerwani, sebagai bagian dari gerakan rakyat, pun menjadi target sasaran. Salah satu bagian terpenting dari penghancuran Gerwani, yang secara struktural tidak berada di bawah PKI, adalah propaganda fitnah yang dialamatkan kepada mereka terkait dengan perisiwa Lubang Buaya yang menjadi tempat pembantaian para Jendral.
Orde Baru terhadap perilaku Gerwani di Lubang Buaya, merupakan unsur ideologis terpenting, karena perempuan komunis ini –dalam versi mereka- menjadi tangan utama penyiksaan dan pembunuhan para jendral. Pihak Angkatan Darat (AD), yang bersusah payah mengonstruksi peristiwa Lubang Buaya, secara masif menyiarkan hasil ‘investigasi’ palsu mereka ke televisi, koran, dan radio.
 Fitnah terhadap Gerwani ini secara masif dipropagandakan oleh AD melalui berbagai koran yang terbit. Pemberitaan bahwa Gerwani lah pelaku pembunuhan para Jendral baru diberitakan sepuluh hari setelah hari kejadian. Berita pertama pasca 1 Oktober yang menyebutkan keterlibatan anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat pada peristiwa Lubang Buaya terdapat dalam editorial koran AB (Angkatan Bersendjata) tanggal 11 Oktober. Sebuah kejanggalan mengingat pada tanggal 2 Oktober, Suharto telah mendeklarasi bahwa kondisi telah aman terkendali.
Berita dalam koran AB ini kemudian menjadi sumber utama yang dikutip koran-koran lainnya. Dalam koran Apitanggal 12 Oktober 1965 misalnya, dijelaskan, ‘para sukarelawati Gerwani telah mempermainkan para jendral dengan menarik peran mereka sendiri. Dihari yang sama, koran Berita Yudha Minggu melaporkan tubuh para jendral yang dimutilasi. Sementara itu, koran umum Duta Masjarakat (DM) menyebutkan, ‘Gerwani menari-nari di depan korbannya’. Selain itu, untuk meneguhkan propaganda terhadap Gerwani yang dianggap bermoral bejat, Angatan Darat mengajak wartawan untuk mengunjungi penjara para Gerwani.
Meskipun diketahui kemudian bahwa segala tuduhan terhadap Gerwani di Lubang Buaya adalah kebohongan, dan perempuan-perempuan yang menjadi saksi untuk memperkuat peristiwa Lubang Buaya kenyataannya tidak berada di Lubang Buaya pada hari kejadian, tetap saja propaganda AD telah menjadi keyakinan umum dan menjadi justifikasi atas pembantaian yang terjadi kemudian. Analisis gender dalam politik akan sangat membantu menerangkan apa yang terjadi. Dalam menghancurkan sebuah gerakan, dapat dimulai dengan menghancurkan citra terhadap kaum perempuannya dahulu. Hal ini amat efektif, terutama dalam masyarakat yang legalis-normatif agama seperti di Indonesia. Hal yang paling sensitif bagi masyarakat yang legalis-normatif agama ialah permasalahan moralitas, terutama moralitas yang dikaitkan dengan seksualitas perempuan. Apabila suatu hal dikaitkan dengan moralitas dan seksualitas, para moralis dapat bergidik dan saat itulah keberhasilan untuk menyengat dan menyentuh sentimen massa mudah dicapai.
Keberhasilan skenario ini ada kaitannya pula dengan kebencian sebagian massa pada Gerwani karena gerakan yang dilakukannya. Sebagaimana dijelaskan di awal, Gerwani yang merupakan organisasi perempuan yang konsisten melakukan kampanye anti-poligami, anti-perkawinan dini, anti-perdagangan perempuan, dan anti-penjualan keperawanan, adalah musuh laten bagi para tuan tanah dan para pamong praja yang seringkali melakukan praktek demikian. Selain itu, Land Reform yang juga diperjuangkan oleh Gerwani membuat mereka harus berhadap-hadapan dengan para kiai tuan tanah. Masih menurut Ruth, sepertinya hal ini lah yang terbaca oleh sang penggagas skenario fitnah terhadap Gerwani. Skenario ini akan mudah dilakukan karena sudah banyak orang yang tidak suka dengan Gerwani. Kebencian ini dikuatkan lagi dengan sterotip yang melekat pada anggota PKI, yaitu ateis. Dengan status Gerwani yang secara organis dekat dengan PKI, para anggota Gerwani memperoleh dua stereotip sensitif: pelacur dan ateis. Oleh karena itu, massa yang terprovokasi menganggap bahwa darah Gerwani, dan para komunis lain, halal untuk ditumpahkan. Dan sebagaimana kita ketahui pula, pembantaian terbesar kedua setelah Perang Dunia terjadi, dan di atas mayat para korban lah orde baru berdiri dan bertahan selama 32 tahun.
D.    Kekurangan dan Kelebihan Buku
Buku yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia merupakan disertasi akademis Saskia E. Wieringa, untuk proyek penelitian di Indonesia mengenai “Gerakan dan Organisasi Kaum Perempuan dalam Perspektif Sejarah”, yang berlangsung Desember 1982 sampai Desember 1985. Buku ini layak dibaca oleh para aktivis, mahasiswa, dan para peneliti karena dapat mengungkap fakta sejarah tentang penghancuran gerakan perempuan di Indonesia yang dilakukan rezim Orde Baru.
Melalui buku ini, pembaca mendapat pencerahan tentang organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang sebenarnya turut membangun sejarah gerakan perempuan Indonesia, namun dicap sebagai perempuan bejat, tidak bermoral, dan organisasi komunis pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam peristiwa Oktober 1965 oleh rezim Orde Baru. Dalam perspektif penelitian Saskia, Gerwani ditempatkan sebagai korban peristiwa politik Oktober 1965. Penguasa rezim Orde Baru menggunakan simbol seksualitas perempuan (Gerwani) untuk menghancurkan gerakan PKI yang dianggap sebagai gerakan makar untuk merebut kekuasaaan rezim Orde Baru. 
Awal membuka buku ini, disuguhkan beberapa foto-foto bentuk relief mengenai sosok Gerwani yang digambarkan sebagai kelompok perempuan jahat,  penyiksa, pembunuh juga sebagai sundal. Buku hasil penelitian Wieringa ini adalah jawaban atas keheranannya pada organisasi perempuan yang kental dengan dominasi laki-laki, dimana pada Orde Baru, generasi-generasi yang ada mengetahui Gerwani sudah terbingkai dengan baik kisah buruknya, tanpa mereka tahu itu benar atau salah. Gerwani pada masa Orde Baru diabstraksikan sebagai wanita yang bejat moral, musuh ideologi negara dan agama karena menganut paham komunis. Gerwani ingin disingkirkan dari gerakan perempuan lain dalam upaya penguasaan komunis untuk menguasai gerakan perempuan karena mungkin gerakan ini menjadi lawan yang kuat bagi para komunis.
Dalam buku ini dipaparkan pula penjelasan mengenai wawancara Wieringa dengan beberapa anggota Gerwani yang masih tersisa saat itu. Diceritakan bagaimana bahagianya mereka ketika masuk menjadi anggota dan seketika saat peristiwa tahun 1965 berubah drastis, mereka menjadi buron yang difitnah, dan jika dari mereka tertangkap, mereka harus rela memberikan tubuhnya pada pria-pria hidung belang untuk memuaskan nafsu mereka di dalam penjara, bahkan mereka disetrum, dipukuli, disiksa, disulut dengan rokok dan sebagainya. Ketika mereka dibebaskan dari dalam penjara, mereka harus berusaha mempertahankan hidupnya kembali dari awal dengan daya upaya yang ada. tidak berhenti disitu pula kesengsaraan mereka, walaupun telah dibebaskan, mereka tetap menjadi tahanan rumah, dimana setiap ingin bepergian ke luar kota harus tetap meminta banyak cap yang membuktikan bahwa mereka seorang tahanan rumah dan harus melapor setiap waktu. Para anggota Gerwani juga menjelaskan bahwa kesedihan mereka bertambah ketika anak-anak mereka saat di sekolah diajarkan dan diceritakan hal-hal yang busuk mengenai Gerwani. Sampai-sampai mereka harus mengalami rasa tertekan saat ditanya oleh anak-anak mereka setibanya anak-anak mereka dari sekolah mengenai Gerwani dan pelacur.
Selain mengungkap bahwa sesungguhnya Gerwani adalah organisasi massa perempuan yang aktif dan militan, Saskia dalam buku ini juga berhasil menggali fakta sejarah gerakan perempuan. Gerwani merupakan kelanjutan perjuangan enam organisasi perempuan yang ada masa perjuangan kemerdekaan menuju revolusi nasional demokrasi, yakni Istri Sedar (Bandung), Rukun Putri Indonesia (Rupindo, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan). Pada masa revolusi nasional, para aktivis yang mendirikan Gerwani adalah pejuang gerakan bawah tanah yang terlibat dalam satuan-satuan gerilya melawan Jepang dan Belanda, sedangkan masa pemerintah Soekarno, Gerwani satu-satunya organisasi perempuan yang merambah ke pentas politik nasional.
Dibuku ini pula ditemukan beberapa perkumpulan perempuan istri-istri setelah Jepang Menyerah yakni Bhayangkari, Persit Kartika Chandra Kirana, Jalasenastri dan PIA Ardhya Garini serta menjelaskan dimana hubungan organisasi perempuan renggang manakala Soekarno melakukan poligami.
Meskipun buku ini telah dikelompokan berdasrkan bab namun penempatan urutan waktu atau kronologis tidak secara runtut. Yang tentunya hal ini akan memudahkan jika suatu saat ingin membaca kembali tulisan-tulisan yang diperlukan dalam buku ini. Selain itu, penggunaan kalimat terlalu fulgar seperti “mereka menari-nari bertelanjang bulat di depan para korban yang dibantai”. Sehingga untuk kalangan pembaca dibawah umur (-18 tahun) akan merasa risih.

Terlepas dari hal di atas buku ini saya rasa layak dibaca oleh mereka (aktivis, mahasiswa, dan para peneliti serta masyarakat umum) yang ingin mengenal lebih dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

4 SISWA SMPN 9 KAUR MEWAKILI KAB.KAUR DI IGORNAS TINGKAT PROVINSI BENGKULU

Siswa SMPN 9 Kaur kembali menorehkan prestasi di Kabupaten Kaur. Kegiatan IGORNAS yang akan diselenggarakan dari tanggal 22 Nove...